Selasa, 3 Jumadil Awwal 1446 H / 15 Desember 2015 06:05 wib
29.423 views
Solo Kembali Dipimpin Wali Kota Non-muslim, Ini Analisa Pengamat Politik Islam
SURAKARTA (voa-islam.com)--Pilkada serentak telah dilaksanakan 9 Desember 2015 kemarin. Dibeberapa daerah calon yang diusung umat Islam menang sehingga menjadi kabar gembira, akan tetapi tidak untuk kota Solo, Jawa Tengah.
Kali ini kota yang dikenal dengan seribu harokah itu kembali menelan pil pahit. Pada Pilkada kemarin Kota Solo kembali dipimpin oleh seorang wali kota non-muslim.
Banyak kalangan yang bertanya, adaapa dengan kota solo? Pasalnya dakwah di Kota Solo sangat menggeliat. Bahkan banyak dai atau ustadz kenamaan dari berbagai manhaj yang ada di Kota Solo. Baik dari kalangan jihadis, tarbiyah, maupun salafi. Bahkan habaib yang kondang pun juga ada di Kota Solo.
Berkaitan dengan itu, Dhenok Aji Murti, Reporter voa-islam daerah Solo Raya melakukan wawancara dengan Ustadz Zahrudin fanani, MA, pengamat dunia Islam yang aktif dalam forum diskusi di Solo dan sekitarnya, Sabtu (12/12/2015). Berikut petikannya.
Bagaimana tanggapan Anda dengan kembali dipimpinnya Kota Solo oleh wali kota non-muslim?
Nah inilah fenomena Muslim Solo, Umat Islam di Solo terpecah menjadi tiga kelompok. Pertama, golput, Kedua, Muslim yang mendukung pasangan pertama Muslim dan wakil Muslim. Ketiga, muslim yang mendukung pasangan kedua kafir tapi wakilnya Muslim.
Apa prediksi Anda sebelum Pilkada berlangsung?
Sebuah keniscayaan yang masih sangat jauh. Hal itu karena mereka tidak pernah sepakat dalam urusan pilih memilih pemimpin dengan landasan demokrasi. Sehingga minimal suara Muslim terpecah menjadi dua, yaitu Muslim yang mau memilih dan Muslim yang tidak mau memilih. Maka secara otomatis kemenangan Muslim masih terlalu jauh.
Kemudian apa lagi yang menjadi kendala atau kelemahan dalam tubuh umat Islam Solo?
Belum lagi bila diteliti jumlah Muslim yang mau memilih.Mereka terpecah menjadi dua bagian. Pertama, Muslim yang mengetahui bahwa memilih pemimpin itu wajib, sehingga mereka akan memilih pemimpin yang Muslim. Kedua, memilih pemimpin non-muslim itu moderat, sehingga mereka beranggapan bahwa pimpinan politik dan pemerintahan tidak harus berasal dari orang Islam.
Kemudian apa lagi persoalannya?
Belum lagi jika di teliti partai yang mengusung pasangan non-muslim tersebut. Kaum Muslimin yang berada dalam naungan partai-partai tertentu pastilah akan memberikan suaranya pada partai tersebut. Maka disimpulkan bahwa kemenangan orang Muslim di kotanya sendiri masih menjadi sebuah keniscayaan yang terlalu jauh.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!