Senin, 27 Rabiul Akhir 1446 H / 4 Juni 2018 10:54 wib
8.657 views
Persekusi Pers
GARA-GARA memuat berita menyinggung Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri yang berjudul ‘Ongkang-ongkang Kaki Dapat Rp112 juta', kantor Radar Bogor digeruduk ratusan massa PDIP. Dengan luapan emosi, mereka melakukan intimidasi kepada kru Radar Bogor yang dianggap telah menyerang Megawati.
Hal ini diperparah dengan pernyataan beberapa pimpinan partai banteng moncong putih yang terkesan merestui aksi penggerudukan tersebut. Pernyataan pimpinan PDIP yang mengatakan kalau kantor Radar Bogor yang memuat berita menyinggung Ketum mereka ada di Jawa Tengah maka bisa dipastikan bisa rata oleh tanah merupakan bentuk premanisme verbal. Ini patut disayangkan keluar dari lisan petinggi partai yang mengaku sebagai pejuang demokrasi dan Pancasila.
Entah apa yang ada di benak beberapa petinggi PDIP tersebut sehingga terkesan gagap menyelesaikan permasalahan ini secara konstitusional. Mereka malah mengeluarkan pernyataan provokasi dan kontroversional. Dalam menyelesaikan keberatan pemberitaan media massa sudah diatur pada UU Pers Nomor 40 tahun 1999. Jalur yang seharusnya ditempuh pihak yang merasa dirugikan adalah meminta hak jawab atau mengadukannya ke Dewan Pers.
Kita akui, karya jurnalistik bukanlah produk yang tanpa celah. Karena itu, suatu kewajiban bagi setiap media massa menyediakan ruang untuk hak jawab. Tak hanya itu, kalau dirasa tidak puas, masyarakat juga bisa mengadukan media massa yang dianggap melanggar ke Dewan Pers. Di sinilah peran Dewan Pers menilai salah benarnya produk jurnalistik yang diadukan tersebut.
Dalam catatan, ini bukan pertama kalinya massa PDIP melakukan penggerudukan ke kantor media massa. Pada 2 dan 3 Juli 2014, massa PDIP melakukan penggerudukan ke kantor redaksi TVOne di Yogyakarta dan Jakarta. Bahkan kantor TVOne Biro Yogyakarta disegel oleh massa banteng tersebut. Ketika itu TVOne menayangkan berita menyinggung PDIP yang condong kepada komunisme.
Tentu peristiwa penggerudukan dapat menganggu iklim kemerdekaan pers di Indonesia. Bahkan menurut Pengacara Publik LBH Jakarta Ahmad Fathana Haris mengatakan penggerudukan yang dilakukan kader PDIP merupakan persekusi pertama yang dilakukan institusi partai politik terhadap lembaga pers. Biasanya, persekusi semacam itu dilakukan oleh oknum perseorangan atau organisasi kemasyarakatan (ormas).
Kasus penggerudukan Radar Bogor juga dapat mencoreng wajah kemerdekaan pers Indonesia di mata internasional. Karena, sejauh ini praktek kemerdekaan pers di Indonesia selalu dijadikan model bagi para praktisi pers di ASEAN.
Hal ini seperti diungkapkan Wakil Presiden Konfederasi Wartawan ASEAN (CAJ) Teguh Santosa. "Selama ini, terutama pasca Orde Baru, ada semacam "kecemburuan" di kalangan teman-teman wartawan ASEAN melihat kemerdekaan pers di Indonesia. Terlepas dari indeks kemerdekaan pers yang dirilis Reporters Without Borders setiap tahun, paktik kemerdekaan pers di Indonesia dinilai cukup asyik dan cukup baik. Prinsip self regulation yang dianut masyarakat pers nasional menjadi contoh yang diidam-idamkan dan coba ditiru di negara-negara ASEAN lainnya," ujar Wakil Presiden CAJ Teguh Santosa dalam keterangan yang diterima redaksi Voa Islam, Senin (4/6/2018).
Lebih jauh, Teguh mengkhawatirkan penggurudukan ini kedepannya bisa dijadikan pemicu kekerasan kepada wartawan. "Saya khawatir ini bisa memicu kekerasan terhadap wartawan dan media hingga ke level yang sangat sadis dan tak terbayangkan sebelumnya," ujar Teguh sambil mencontohkan pembantaian Ampatuan di Provinsi Maguindanao, Filipina, tahun 2009 yang menewaskan 58 orang, termasuk 34 wartawan.
Agar kasus serupa tak kembali terulang, tentu peristiwa penggerudukan Radar Bogor ini tentu harus diselesaikan melalui proses hukum yang adil. Namun, kelihatannya pihak kepolisian sudah buru-buru mengeluarkan pernyataan bahwa peristiwa ini tak ada masalah pidana.* []
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!