Selasa, 27 Rabiul Akhir 1446 H / 8 November 2022 08:17 wib
5.724 views
Konsep “My Body is My Own”, Solusi untuk Perempuan?
Oleh:
dr.Habiba Mufida || Praktisi Kesehatan
KONSEP “My body is my own” terus diaruskan sebagai solusi terhadap berbagai macam problematika yang melanda perempuan. Konsep yang jika diterjemahkan sebagai hak otonomi tubuh atas perempuan terus digerakkam oleh aktivis kesetaraan gender dengan harapan akan memberikan ruang terbuka bagi perempuan. Beberapa isu yang dilontarkan berkenaan hal ini adalah kebebasan menentukan memakai alat kontrasepsi atau tidak, kebebasan perempuan untuk melanjutkan kehamilan atau tidak (aborsi), dan beberapa isu tentang kekerasan terhadap perempuan.
Pada 2021 lalu, “my body is my own” telah dijadikan tema yang diusung oleh Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA). Tema tersebut dalam rangka laporan tentang situasi kependudukan dunia (SWOP). Menurut UNFPA, tema ini merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM). Dalam kesempatan lainnya, laporan itu sering disebut sebagai hak otonomi tubuh atas perempuan. Kepala Perwakilan UNFPA Anjali Sen, mengungkapkan bahwa otonomi tubuh artinya kemampuan seseorang dalam memutuskan atas tubuh dan masa depannya tanpa intervensi orang lain.
Bagaimana Implikasi “My Body is My Own” di Masyarakat?
Beberapa negara ternyata mendukung isu ini. India misalnya, Mahkamah Agung India memutuskan perempuan mendapat hak prerogatif untuk melanjutkan atau menggugurkan janinnya hingga usia 24 minggu. Hal tersebut disetujui karena pihak mahkamah memandang banyak kasus pasangan yang belum siap untuk memiliki anak. Selain juga, banyak muncul kehamilan tidak diinginkan (baik di dalam maupun di luar pernikahan). (Kompas, 29/09/2022).
Di Indonesia sendiri, meskipun legalisasi aborsi belum disahkan, tetapi praktiknya sudah berkembang di kalangan masyarakat. Sebagaimana kita ketahui beberapa tempat aborsi terkuak beberapa waktu lalu. Mirisnya, para pelaku aborsi mayoritas perempuan yang belum menikah. Dengan kata lain, mereka telah melakukan seks di luar nikah.
Selain aborsi, hak otonomi tubuh juga berkaitan erat dengan aktivitas penggunaan alat kontrasepsi. Jadi, perempuan berhak memakai atau tidak saat berhubungan dengan lawan jenis. Tentunya ini berlaku umum baik sudah menikah atau belum. Semua diberikan kebebasan untuk memanfaatkannya.
Masalah lain yang berhubungan erat dengan hak otonomi tubuh adalah hak untuk menentukan sendiri perempuan tersebut mau pakai apa. Siapa pun tidak boleh dipaksa untuk berkerudung, menutup aurat, dsb. Jika terjadi pemaksaan, dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak otonomi perempuan. Kesimpulannya, perempuan bebas untuk menentukan busananya, bahkan memakai selembar kain pun tak boleh dipermasalahkan.
Apakah “My Body is My Own”Memberikan Solusi bagi Perempuan?
Konsep Hak otonomi atas tubuh perempuan ini seolah-olah memberikan ruang bagi perempuan. Pejuang konsep ini menganggap bahwa akan bisa mengeluarkan perempuan dari cengkaman laki-laki. Ketika mereka bisa menentukan tubuhnya, maka teah terbuka ruang berekspresi bagi mereka. Hasil akhirnya adalah bisa terwujud kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Pada faktanya, memang tidak bisa dielakkan banyak kasus yang menimpa kaum hawa. Pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kematian yang menimpa ibu dan bayi karena aborsi yang tidak aman. Namun, jika ditelisik lebih mendalam, berbagai masalah tidak muncul hanya karena anggapan perempuan selalu di bawah kendali lelaki, melainkan ada permasalahan lain yang menyebabkannya.
Saat ini, para kapitalis memanfaatkan tubuh perempuan sebagai objek dagangan. Mereka menjual kemolekan perempuan demi mengumpulkancuan. Wajar jika mereka dijadikan sebagai target konsumen. Produk kecantikan dan alat kontrasepsi diproduksi sebanyak-banyaknya dan dijual secara umum kepada masyarakat termasuk perempuan.
Belum lagi, ide untuk memisahkan agama dari kehidupan (sekulerisme) telah menyumbang pemahaman bahwa perempuan tidak perlu mengikuti ajaran agama. Perempuan dibebaskan menentukan seluruh aktivitasnya tanpa paksaan. Akibatnya, mereka merasa boleh melakukan seks di luar nikah, aborsi dengan alasan belum siap memiliki anak, ataupun memakai baju semaunya.
Contoh lainnya adalah seorang perempuan bebas menentukan pilihannya mau aborsi atau tidak. Ini pun mengisyaratkan bahwa membunuh janin yang tidak diinginkan itu dibenarkan. Pasangan yang belum menikah juga boleh berhubungan jika suka sama suka. Jika punya anak boleh digugurkan. Maksud lainnya adalah pasangan yang telah menikah boleh tidak punya anak jika tidak siap. Sebagaimana berkembang ide “childfree” yang belakangan santer beredar.
Jika dianalisa lebih mendalam, sejatinya ide hak otonomi atas tubuh sendiri ini justru merendahkan martabat perempuan. Ketika mereka semaunya mengumbar kecantikan tubuh maka akan memicu adanya kekerasan seksual terhadap mereka. Begitu juga, Ketika mereka membiarkan tubuhnya dinikmati orang-orang yang tidak berhak maka sejatinya dia telah merendahkan kehormatan mereka sendiri.
Lebih dari itu, keputusan aborsi yang mengatasnamakan ketidaksiapan menjadi ibu juga memperlihatkan bahwa secara prinsip dirinya lemah dan murahan. Mereka mau saja melakukan hubungan di luar nikah berarti telah menghargai diri mereka dengan sangat murah. Begitu pula Ketika mereka suda menikah, tetapi tidak mau punya anak berarti mereka menilai dirinya lemah terhadap tanggung jawab. Dengan kata lain perempuan hanya ingin mengambil kenikmatan, tetapi enggan menerima tanggung jawab. Padahal, kemulian menjadi ibu adalah kemuliaan yang tidak ada bandingnya
Bagaimana Islam Memuliakan Perempuan?
Islam memandang perempuan adalah partner bagi lelaki. Kedudukan mereka sama di hadapan Allah SWT. Hanya saja, Allah SWT menciptakan masing-masing laki-laki dan perempuan dengan fitrahnya. Konsekuensinya, perempuan memiliki tugas mulia sebagai ibu, pendidik utama anak-anak, dan pengatur urusan rumah tangga mereka. Sebagaimana laki-laki juga memiliki tugas utama sebagai pemimpin rumah tangga, dan berkewajiban di dalam nafkah untuk keluarganya. Terlebih jika didukung dengan penerapan Islam secara sempurna, maka negara Islam akan menjamin laki-laki melaksanakan tugasnya tersebut.
Meskipun perempuan memiliki tugas utama sebagai ibu dan pendidik generasi, namun bukan berarti Islam membatasi aktivitas perempuan di lingkup domestik saja. Namun, lebih dari itu perempuan juga memiliki kewajiban yang sama untuk berdakwah di tengah masyarakat. Perempuan juga memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu tersebut di tengah masyarakat. Terlebih, di bidang tertentu yang memang memerlukan perempuan seperti di bidang Kesehatan, kebidanan, Pendidikan, dll.
Hanya saja, ketika mereka dibolehkan beraktivitas di lingkungan publik , maka bagi mereka juga terwujud adanya seperangkat aturan Allah SWT. Aturan tersebuh sebagai bentuk penjagaan bagi perempuan, seperti perintah menutup aurat secara sempurna, larangan untuk berkhalwat dan ikhtilat, memerintahkan untuk berlaku sopan dan menghindari berbagai perkara yang syubhat.
Semua itu dilakukan untuk melindungi dan memuliakan perempuan. Mereka tidak akan seenaknya dijadikan objek pemuas nafsu atau objek kapitalis. Mereka akan dilindungi oleh Islam, bahkan mereka menduduki posisi yang penting, yakni sebagai pencetak generasi yang unggul. Maka, jelaslah isu hak otonomi atas tubuh perempuan sejatinya bukan solusi untuk perempuan, sebaliknya justru dapat merendahkan martabat mereka. Sesungguhnya hanya Islamlah yang dapat memuliakan manusia, termasuk perempuan. Wallahu a’lam bi shawab.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!