Senin, 27 Rabiul Akhir 1446 H / 8 November 2021 13:13 wib
6.385 views
Milenial Muda, Penerus Estafet Perjuangan Feminis?
Oleh: Erika Kartini
Generasi muda adalah penerus masa depan. Ditangannya diletakkan estafet perjuangan dan cita-cita perjuangan. Baik perjuangan yang membawa kebaikan bagi ummat manusia maupun sebaliknya membawa kerusakan. Semangat generasi muda juga masih membara. Dengan jiwa mudanya, kaum muda mampu menerobos segala rintangan dan mencari alternative baru bagi jalan cita-citanya. Dalam sepuluh atau lima belas tahun ke depan generasi muda akan menjadi penentu kebijakan baik local maupun internasional.
Potensi inilah yang menjadi incaran semua pihak termasuk pejuang feminis yang tidak akan berhenti untuk menyerukan ide kesetaraan gender selama laki-laki dan perempuan belum setara dalam versi mereka. Perjuangan feminisme yang panjang memerlukan regenerasi agar tidak lenyap dalam kancah kehidupan. Maka menjadi penting untuk menyasar millennial muda agar mereka mengadopsi ide-ide kesetaraan gender.
Jalan Panjang Perjuangan Feminis
Kaum Feminis tidak pernah menyerah dalam perjuangan kesetaraan gender. Meski melewati jalan perjuangan yang panjang, mereka tetap gigih memperjuangkan ide-ide yang bertentangan dengan Islam tersebut.
Diawali pada tahun 1948 yaitu pada saat deklarasi HAM, para perempuan barat terinspirasi untuk memperjuangkan kebebasan perempuan. Kemudian gerakan ini terus digaungkan dan dinaikkan secara politik dan secara sistemik. Maka terwujudlah CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) pada tahun 1979 yang diangkat oleh PBB. Pada tahun 1994 terselenggara konferensi internasional atau yang dikenal dengan ICPD (International Conference on Population and Development).
Berlanjut di tahun 1995, kali ini PBB meminta negara-negara untuk berkomitmen meratifikasi hasil pertemuan Beijing Platform for Action. Pertemuan ini menjadi titik tolak seluruh negara termasuk Indonesia yang menjadikan ide kesetaraan gender, kebebasan dan hak asasi manusia sebagai asas dalam memandang perempuan, asas dalam pemberdayaan perempuan dan asas memandang identitas perempuan. Sejak tahun ini, ada secerah harapan bagi kaum feminis. Sampai dengan tahun 2000 beberapa target equality atau kesetaraan telah tercapai. Hal ini terlihat pada program MDGs yang memiliki 8 goals dimana goals yang ketiga adalah mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Namun pada tahun 2015 atau tepat 20 tahun kemudian, para pejuang gender ini mengevaluasi bahwa rencana telah yang disusun tidak mencapai target. Dan yang paling parah pada tahun 2019 yaitu 25 tahun setelah Beijing Platform for Action terselenggara, mereka marah terhadap diri mereka sendiri karena targetnya tidak tercapai.
Aktivis Feminis dalam laporan kesenjangan capaian gender yang disampaikan dalam forum WEF (Word Economic Forum) menjelaskan bahwa butuh 132 tahun untuk mencapai kesetaraan laki-laki dan perempuan, 144 tahun untuk mencapai kesetaraan di bidang politik dan 250 tahun untuk mencapai kesetaraan di bidang ekonomi. Sungguh waktu yang tidak sebentar.
Maka di 2019 ada gagasan yang mereka sebut dengan “Generation Equality”. Hal ini karena target dari feminisme itu sendiri butuh ratusan tahun untuk mencapainya. Sementara umur mereka tidak sepanjang perjuangan yang mereka tempuh. Mereka menyadari bahwa hidup mereka tidak sampai ratusan tahun. Sehingga penting untuk melanjutkan perjuangan dengan mewariskannya ke generasi muda sekarang. Ide kesetaraan gender perlu ditransfer segera agar estafet perjuangan bersambung kembali. Itulah mengapa gagasan Generation Equality harus segera dimasifkan. Generation Equality adalah melibatkan seluruh generasi bahkan dari usia balita, remaja sampai perempuan muda untuk fokus dalam perjuangan kesetaraan ini.
Terlebih lagi ketika wabah virus COVID-19 melanda dunia, target mereka semakin mundur. Disampaikan dalam forum WEF tahun 2020 bahwa pencapaian kesetaraan gender mundur satu tahun akibat pandemic. Hal ini semakin menguatkan bahwa feminisme harus diaruskan ke kaum muda atau generasi milenial serta generasi Z. Mereka berupaya agar ide feminisme diemban serta disuarakan oleh kalangan muda, sekalipun mereka tidak menjadi aktivisnya atau tergabung dalam organisasinya.
Generation Equality menjadi topik pada perayaan Hari Perempuan Dunia 2021. Topik ini ditetapkan sebagai perayaan luar biasa bagi perempuan dan anak di seluruh dunia untuk menjadikan masa depan dan pemulihan pandemic COVID-19. Para pemimpin, semua elemen dan aktivis dari seluruh dunia diseru untuk mempromosikan ide generation equality ini.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh aktivis feminis untuk mempengaruhi generasi muda sedikit banyak telah berhasil. Saat ini kaum millennial mendukung isu kesetaraan perempuan meskipun mereka bukan feminis atau feminis tapi tidak tergabung dengan gerakan feminis. Hal ini berdasarkan survey yang diadakan oleh Tirto.id. Survey ini menanyakan enam pertanyaan yang mengukur pandangan millennial terhadap berbagai isu perempuan, mulai dari kesetaraan gender sampai dengan kekerasan seksual. Hasilnya sebanyak 51,13 % responden perempuan menganggap dirinya seorang feminis tapi tidak aktif mengikuti gerakan feminisme. Kemudian 35,18 % mengatakan mereka bukan seorang feminis. Namun mayoritas responden setuju dengan pernyataan kebebasan yang pro perempuan.
Selain itu Komnas Perempuan giat melibatkan kaum muda dalam kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan termasuk mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Komnas Perempuan juga mencatat prakarsa mandiri untuk terlibat secara aktif mendukung pengesahan RUU PKS di kampus-kampus, organisasi kepemudaan dan di media sosial. Generasi muda mulai menjadikan ruang digital sebagai medan perjuangan untuk mendukuing korban dengan memberikan solidaritas dan bantuan untuk korban mendapatkan keadilan dan pemulihan.
Pada saat yang sama, Gerakan feminisme Muslim terus berkembang dan memberikan ruang penting bagi organisasi-organisasi di tanah air untuk memperluas jaringan akar rumput mereka seiring berjuang untuk keadilan gender dalam Islam. Pada tahun 2017, tiga organisasi Muslim bernama Alimat, Rahimah, dan Fahmina (ARAFAH) memprakarsai Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Cirebon, Jawa Barat yang menyatukan 2000 ulama dan akademisi dari berbagai penjuru Indonesia.
Aktivis Feminise menyadari bahwa untuk Indonesia, ide feminisme tidak bisa masuk ke negeri muslim dengan format feminism yang liberal atau radikal. Bahkan kata feminis itu sendiri susah diterima. Maka perlu digencarkan Gerakan feminisme Islam agar bisa masuk ke masyarakat Indonesia.
Untuk sekarang model yang diaruskan adalah yang lebih dekat dengan life style millennial. Lebih modern dan keren seperti para youtuber dan artis yang beragama Islam. Mereka adalah profil feminis muda muslim yang ideal. Cerdas, cantik, stylish, kerudungan, tinggal atau sekolah di luar negeri serta mandiri secara finansial. Bahkan memberikan banyak donasi untuk membantu orang lain.
Substansi ide feminise muslim ini menurut Taqiyyudin An Nabhani ialah menjadikan kesetaraan (al-musawamah/equality) sebagai batu loncatan atau jalan untuk meraih hak-hak perempuan. Dengan kata lain, feminisme itu ide dasarnya adalah kesetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan. Sementara ide cabang yang dibangun atas dasar itu adalah kesetaraan hak-hak antara laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan konsep kesetaraan hak itulah, para feminis muslim membatalkan dan mengganti banyak ide dan hukum Islam yang mereka anggap tidak sesuai dengan konsep kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Namun mereka tidak menyebutnya sebagai penggantian atau pembatalan hukum Islam, melainkan penafsiran ulang atau bahkan pelurusan dan koreksi. Jadi seolah-olah hukum-hukum Islam itu keliru atau ditafsirkan secara keliru sehingga perlu diluruskan oleh para feminis muslim. Misalnya menolak konsep kepemimpinan rumah tangga bagi laki-laki, hukum kesaksian, hukum waris,kewajiban menutup aurat, kebolehan poligami dan sebagainya. Mereka juga menolak hukum haramnya perempuan menjadi penguasa.
Feminisme: Racun Berbalut Madu
Perjuangan kesetaraan perempuan dengan laki-laki telah banyak menyihir para perempuan termasuk Muslimah. Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh feminis adalah membantu para perempuan seperti korban pelecehan seksual, KDRT, tuntutan kesamaan upah, kesamaan dalam akses pendidikan dan dalam kekuasaan atau politik. Hal ini tentu saja merebut simpati para perempuan. Para perempuan merasa terbantu dan mendapatkan jalan keluar. Lama-kelamaan akhirnya mendukung meski tidak menjadi aktivis feminis atau tergabung dalam gerakan feminisme.
Sebenarnya jika kita menelaah ide-ide kesetaraan gender ini dengan benar dan jujur maka akan didapati bahwa landasan perjuangan mereka adalah kebebasan dan hak asasi manusia. Landasan ini yaitu kebebasan atau liberalism dan HAM bertentangan dengan Islam. Dalam Islam setiap manusia termasuk di dalamnya perempuan adalah hamba Allah Swt. yang wajib taat terhadap syariat. Sehingga harusnya perjuangan untuk mensejahterakan serta memuliakan perempuan dilandasi oleh Islam bukan mengambil ide yang berasal dari luar Islam.
Liberalisme dan HAM jika diadopsi pasti akan menabrak hukum Islam. Contohnya seperti perempuan dalam Islam harus taat kepada suami. Sementara dalam konsep kebebasan para perempuan boleh melakukan apa saja dan menjadi apa saja tanpa harus berada dibawah dominasi laki-laki (suaminya). Kemudian terkait pakaian, dalam konsep liberal tidak boleh seseorang dipaksa memakai jilbab dan kerudung. Para perempuan bebas memakai apa saja sesuai kemauan dia. Yang lebih ekstrim lagi adalah terkait orientasi seksual yang menyimpang. Seseorang tidak boleh disalahkan ketika suka kepada sesama jenis. Hal itu adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh kesepakatan dunia. Padahal dalam Islam jelas bahwa suka kepada sesama jenis tidak dibolehkan.
Selain itu, para feminis dalam bidang ekonomi juga mengarahkan para perempuan untuk memperjuangkan kesejahteraannya dengan menuntut kesetaraan. Padahal akar permasalahan ekonomi yang menyengsarakan perempuan adalah akibat diterapkannya Kapitalisme. Maka yang harus dilakukan oleh para perempuan termasuk millennial adalah membuang kapitalisme dan mengambil Islam sebagai solusi. Perempuan dalam kapitalisme hanya diukur dengan materi saja. Perempuan akan berharga dengan banyaknya materi. Padahal faktanya meningkatnya ekonomi perempuan tidak diikuti oleh selesainya masalah perempuan. Mereka tetap menderita dan tidak terjamin haknya.
Ketika para perempuan keluar dari rumahnya untuk mengejar materi dalam rangka meraih kesetaraan, banyak masalah bermunculan. Dari mulai krisis generasi, kenakalan remaja, anak-anak yang terpapar pornografi dan kekerasan dari gadget serta penyakit mental yang banyak melanda anak muda saat ini. Mereka kehilangan ibu mereka. Ibu mereka telah menjelma menjadi pejuang materi dan kekuasaan politik demi meraih cita-cita kesetaraan gender yang semu.
Oleh karena itu millennial muda tidak boleh dibiarkan menjadi penerus perjuangan feminis. Mereka harus kembali kepada jati diri mereka sebagai hamba Allah Swt. Mereka harus menjadi pejuang tegaknya Islam Kaffah. Karena dengan Islam, millennial muda akan mendapatkan masa depan yang hebat dan luar biasa. Mereka tetap bisa berkreasi dan berinovasi serta bermanfaat bagi ummat manusia tanpa menabrak syariat, sbagaimana dulu ketika Islam pernah berkuasa di muka bumi. Wallahu a’lam bisshowwab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!