Ahad, 3 Jumadil Awwal 1446 H / 30 Oktober 2016 21:26 wib
12.042 views
Alizia Kim: Belajar Nabi-nabi dalam Islam seperti Mengenal Nabi-nabi dalam Kristen (Bagian 2 dari 2)
Bismillah. Setelah melewati sekian banyak kesulitan hidup yang akhirnya membawaku kepada kesuksesan duniawi, aku masih merasa kosong. Aku ingin memiliki kehidupan yang tenang, damai, dan patuh kepada Tuhan. Tapi Tuhan seperti apakah yang harus kupatuhi?
Pertanyaan inilah yang mengantarkanku kepada proses mendalami agama Kristen dengan lebih tekun. Berbagai aliran dan sekte Kristen aku pelajari. Nihil. Selain banyak hal tak masuk akal, banyak hal pula yang membuatku semakin ragu terhadap agama yang kucintai dan kupeluk sejak lahir ini. Hingga satu hari, salah satu teman bertanya padaku, “Sudahkah kamu mempelajari Islam?”
Inilah pertanyaan menggelitik yang kemudian menuntun langkahku untuk mempelajari Islam. Sebelumnya aku telah mempelajari Kristen dan sedikit tentang Yudaisme, kenapa tidak Islam sekalian? Bukankah Islam juga agama samawi yang memunyai akar yang sama dengan Kristen dan Yudaisme?
Aku pun mulai membaca tentang Islam terus-menerus seolah tak mampu untuk berhenti. Kesimpulanku adalah Islam itu agama penyerahan diri total kepada satu Tuhan. Menjadi Muslim adalah menjadi orang yang menyerahkan dirinya total kepada satu-satunya Tuhan, tak ada yang lain. Itu artinya Ibrahim, Yesus dan semua Nabi adalah Muslim karena mereka menyerahkan dirinya kepada satu Tuhan. Hmmm...bila penekanan terhadap penyembahan satu Tuhan ini begitu kuat di dalam Islam, artinya harus ada satu-satunya cara yang benar untuk menyembah satu Tuhan ini, kan?
Wow...ini sepertinya mengarah kepada apa yang kucari.
Berikutnya aku membaca banyak tentang Nabi-nabi dalam Islam. Dan sosok mereka begitu akrab denganku karena tidak berbeda jauh dengan apa yang ada di dalam ajaran Kristen. Uniknya, tak butun waktu lama bagiku untuk langsung bisa memahami dan menerima cara Muslim menyembah Tuhannya.
...Rasanya ada yang menyayat hatiku saat ada yang menolak mengakui bahwa aku adalah seorang Muslim. Saat itulah aku baru tahu bahwa untuk menjadi Muslim itu tidak cukup hanya dengan menerima dalam hati saja...
Ada sekitar 12 buku yang kubaca dalam proses pencarianku ini. Dua buku yang terakhir sebelum aku memutuskan bersyahadah adalah buku tentang Universalitas Islam (Islam ternyata cocok dan sesuai untuk semua ras, budaya, dan panduan hidup bagi semua), dan kumpulan kisah orang-orang yang menemukan jalan kebenaran Islam. Ketika aku membaca kisah mereka, aku merasa seolah bercermin. Saat itu airmata turun begitu deras membersamai kisah mereka dalam menemukan hidayah Islam. Itulah titik dimana aku tahu bahwa aku telah menemukan apa yang kucari selama ini.
Baiklah, kebenaran itu telah kutemukan. Lalu apa selanjutnya?
Tak ada keraguanku tentang Islam. Tapi aku memunyai banyak masalah yang harus kuhadapi bila mengambil keputusan sebesar ini. Orang tua, teman-teman, lingkungan sosial, bahkan pekerjaanku. Siapkah aku dengan reaksi dan konsekuensinya apabila aku masuk Islam secara formal?
Darimana aku dapat uang bila aku masuk Islam dan memakai hijab karena memang itulah yang seharusnya dipakai seorang muslimah? Tapi bila memang Tuhan telah menunjukkanku jalan kebenaran ini, Dia pasti akan menjaga dan memeliharaku. Lagipula, bila keputusan masuk Islam ini akan menjadikanku sosok yang lebih baik entah sebagai seorang anak, seorang teman, atau sebagai pribadi maka masa iya mereka tidak mau menerimaku?
Keyakinan untuk menjadi Muslim semakin menguat, aku pun merasa membutuhkan Al Quran yang berbahasa Inggris. Saat ngobrol dengan salah satu ustadz yang memberiku Al Quran itulah, aku kembali menangis dengan hati yang ‘luka’. Tapi hati yang ‘luka’ itulah yang membawaku untuk bersyahadat secara formal saat itu juga.
Begini ceritanya. Ustadz ini tahu bahwa aku telah mempelajari Islam dengan mendalam. Ketika memberiku Al Quran, ustadz itu bilang padaku, “Kenapa kamu tidak sekalian saja masuk Islam?”
Karena makna Islam adalah penyerahan diri yang total kepada satu Tuhan dan aku mempercayainya, maka aku merasa bahwa aku sudah masuk Islam dan menjadi Muslim. Maka aku pun menjawab, “Saya sudah masuk Islam.”
“Kamu belum masuk Islam.”
Kata-kata inilah yang membuatku terpukul dan kemudian menangis. Rasanya ada yang menyayat hatiku saat ada yang menolak mengakui bahwa aku adalah seorang Muslim. Saat itulah aku baru tahu bahwa untuk menjadi Muslim itu tidak cukup hanya dengan menerima dalam hati saja. Dibutuhkan pelafalan berupa ikrar syahadat untuk masuk Islam sebenarnya. Akhirnya, satu jam kemudian aku pun berikrar syahadat dan resmi menjadi Muslim.
Setelah bersyahadat itulah, aku merasakan sensasi yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku merasa telah melewati proses pembersihan. Aku merasa suci, ringan, damai dan bahagia yang tulus. Perpaudan rasa yang sedari dulu kurindukan. Aku tahu bahwa rasa ini akan menjadi milikku mulai hari ini dan seterusnya bahkan hingga aku mati, insya Allah. Alhamdulillah untuk hidayah ini, ya Allah. (riafariana/dbs/voa-islam.com)
Baca juga: http://www.voa-islam.com/read/muslimah/2016/10/24/46907/mualaf-alizia-kim-kesuksesan-membuat-jiwaku-kosong-bagian-1-dari-2/
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!