Kamis, 3 Jumadil Awwal 1446 H / 6 Oktober 2016 23:21 wib
18.579 views
Genggam Tanganku, Tuntun Langkahku Menuju CintaNya
Bagi perempuan, memilih sosok imam dalam rumah tangganya bukan perkara main-main. Ada surga dan neraka di sana sebagai taruhannya. Di satu pihak, perempuan harus selektif dalam memilih tapi di pihak lain ia juga harus realistis terhadap pilihan yang ada.
Mencari sosok Muhammad di zaman ini, seolah mengajak diri berkaca ‘sudahkah diri menjadi Khadijah atau Aisyah’? Sementara tak bisa dipungkiri bahwa stok laki-laki salih semakin menipis. Lalu, akankah standard itu layak untuk diturunkan sehingga terpenuhi syarat minimalis saja? Misal, sesama muslim.
Bagaimana bila ia mengaku muslim tapi tak layak menjadi imam? Jangankan bagi istri dan keluarga kecilnya kelak, menjadi imam bagi diri sendiri saja ia tak mampu. Salat masih harus sering diingatkan, akhlak pun masih dipertanyakan. Lalu, bisakah laki-laki seperti ini diharapkan perannya untuk membimbing istri dan anak melangkah hingga ke Jannah?
Biarlah juga dibilang pemilih. Toh, yang kita pilih bukan semata duniawi atau materi. Tapi yang dipilih dan dinanti adalah sosok laki-laki salih. Bukan semata namanya, tapi akhlak yang tercermin dari perilakunya. Tanggung jawabnya dalam mengemban amanah yang nantinya akan ditanggung setelah akad nikah resmi terikrar, mampu ia tanggung dengan baik pula.
...Bagi perempuan, memilih sosok imam dalam rumah tangganya bukan perkara main-main. Ada surga dan neraka di sana sebagai taruhannya...
Tidak harus ia sosok sempurna, karena diri pun sangat jauh dari sebutan istimewa. Cukup ia laki-laki yang menjaga hubungan baik dengan Rabbnya. Karena bila hubungan baik dengan Penciptanya ia jaga, tentu hubungan baik dengan makhlukNya tidak akan disia-sia.
Bisa jadi ia memunyai banyak kekurangan sebagai manusia, yang itu merupakan lahan amal bagi istri untuk mengisinya. Tentu saja ia pun memunyai kelebihan yang akan menumbuhkan syukur tanpa kenal alpa. Begitu sebaliknya dengan kita.
Kekurangan diri bukan menjadi alasan untuk direndahkan. Kelebihan potensi bukan pula menjadi tempat untuk bersombong ria. Intinya satu sama lain ada untuk saling menopang, menguatkan dan mendukung dalam rangka taat padaNya. Bila poin penting ini tak ada dalam satu mahligai cinta, lalu untuk apa lagi tujuan seorang muslim dalam berumah tangga?
Kerasnya ombak yang mengayun biduk, seharusnya semakin menguatkan ikatan yang ada. Saling mengenggam tangan agar bisa melewati badai yang kencang. Tak peduli sedahsyat apa angin menerjang, tujuan awal jangan sampai surut ke belakang. Tetap fokus pada langkah dan terus berjuang tanpa kenal lelah.
Karena sungguh, tulusnya sang imam dalam memimpin mahligai akan memberikan kenyamanan yang indah. Fokus pada cita-cita untuk selalu lurus dalam meraih cintaNya. Ya...cintaNya saja yang menjadi tujuan segala amal, cita dan harapan. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!