Selasa, 27 Rabiul Akhir 1446 H / 18 Juli 2023 21:55 wib
46.302 views
Dibalik Pembatalan Pertemuan LGBTQ se-Asean
Oleh : Desti Ritdamaya
Tak patah arang. Walaupun pertemuan komunitas LGBTQ ( se-ASEAN (17-21 Juli) tak jadi di Jakarta, panitia tak membatalkannya, hanya direlokasi. Penyebabnya adalah menggemanya penolakan masyarakat, serupa saat utusan Amerika Serikat urusan LGBTQI+ batal datang tahun lalu. Selalu ada penolakan masyarakat tapi mereka tetap nekat mengadakan agenda/acara LGBTQ, test the water kah? Yang jelas hal ini mengindikasikan bahwa aktivis LGBTQ semakin berani dan agresif menunjukkan eksistensinya.
Sungguh akal sehat dikalahkan hawa nafsu liar. Bagaimana tidak, bukti nyata destruktifnya LGBTQ terhadap keselamatan jiwa dan sosial masyarakat, tak berefek pada aktivis dan pendukungnya. Berbagai isu, diskusi dan kegiatan advokasi yang menyuarakan LGBTQ semakin massif digencarkan.
Penyakit menular nan mematikan HIV AIDS berkembang cepat setiap tahunnya. Data UNAIDS menyatakan 38,4 juta jiwa terpapar HIVAIDS akhir tahun 2021 dan 650.000 orang yang meninggal. Mirisnya 95,6 % pengidapnya adalah usia produktif (www.unaids.org). Linear kasusnya di tingkat nasional. Data Kemenkes tahun 2021 menyatakan 526.841 jiwa terpapar HIV AIDS, dengan 51 % kasus baru dari kalangan remaja (www.kemenkes.go.id). Menakutkan lagi dalam 5 tahun terakhir, terjadi juga peningkatan kasus penyakit turunan HIV AIDS dan se‘marga’ dengannya. Seperti sifilis, tuberkulosis, toksoplasmosis, meningitis kriptokokus, sitomegalo, infeksi CMV, ko-infeksi virus hepatitis, kanker dan lain sebagainya. Semua terkategori penyakit menular yang disebabkan kebiasaan seks tak sehat, 50 % lebih bersumber dari LGBTQ. Setiap pengidapnya tak berdaya menahan sakit dan berakhir dengan kematian yang mengenaskan.
LGBTQ pun membawa permasalahan kompleks terhadap pranata sosial. Dari sisi institusi keluarga, seks bebas LGBTQ semakin mengurangi pasangan pernikahan heteroseksual. Hal ini akan berdampak pada pengurangan angka kelahiran generasi ke depan (depopulasi). Tak hanya itu, ternyata perselingkuhan pasangan yang terindikasi LGBTQ menyumbang tingginya angka perceraian. Bahkan perceraian tersebut menimpa rumah tangga yang tak lagi tergolong baru dan sudah memiliki anak.
LGBTQ, ‘pupuk’ suburnya kriminalitas. Angka pembunuhan dari kalangan LGBTQ terhadap ‘pasangan’nya semakin tinggi. Tak jarang pembunuhan dilakukan secara sadis dengan memutilasi atau membakar pasangannya. LGBTQ pun memiliki angka tinggi dalam menggunakan narkoba dan miras. Wajar karena pelarian konflik dan depresi ‘mental’ mereka adalah zat-zat terlarang dan alkohol. Relevan juga dengan tingginya angka bunuh diri dari LGBTQ.
Jelas LGBTQ tak hanya menyimpang dari fitrah tapi juga penyakit sosial dan perilaku kriminal. Tak bisa dipungkiri bahaya laten LGBTQ dalam kehidupan. Tapi mengapa perkembangan statistik LGBTQ dewasa ini justru meningkat? Mengapa tak ada ketegasan hukum terhadap pelaku LGBTQ?
Liberalisme Menyuburkan LGBTQ
Harus diakui yang menjadi standar kebenaran dalam masyarakat hari ini bukanlah syari’at Islam. Tapi aturan-aturan yang lahir dari sistem sekuler. HAM dan liberalisme (kebebasan) sebagai turunan ‘genetik’ sekulerisme merasuki pikiran dan tingkah laku generasi serta mewarnai setiap sendi kehidupan publik.
Wajar muncul klaim-klaim ‘keramat’, seperti LGBTQ bagian dari HAM yang harus dihargai; diskriminasi pada LGBTQ pelanggaran HAM; penentang LGBTQ adalah intoleran dan sebagainya. Klaim-klaim tersebut dipromosikan secara sistematis dan massif melalui gerakan politik dan sosial dalam masyarakat.
Dalam gerakan politik, para aktifis LGBTQ bergerak atas nama organisasi untuk menginjeksi ide-ide mereka. Di tingkat internasional terdapat ILGA yang menaungi ratusan organisasi serupa di berbagai negara. Termasuk di Indonesia seperti gaya nusantara, institute pelangi perempuan, arus pelangi, Ardhanary Institute, GWL INA. Berbagai organisasi ini bernaung di bawah payung PBB yang memang berkomitmen melindungi dan mempromosikan LGBTQ.
PBB telah membuat program dan mengucurkan dana besar untuk komunitas LGBTQ.Misalnya program Being LGBT in Asia, UNDP mengucurkan 8 juta dolar untuk Cina, Filipina, Indonesia, Kamboja, Mongolia, Nepal, Thailand dan Vietnam. Masih banyak program yang serupa, misal #WeBelongAfrica, Being LGBTI in The Carribean, LGBTI Inclusion Index, UN-GLOBE. Tak hanya itu PBB meminta negara anggota untuk meratifikasi konvensi internasional terkait penghapusan dikriminasi terhadap LGBT. Semua ini memobilisasi upaya dukungan, penguatan dan pelegalan LGBTQ di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Dalam gerakan sosial, peran dunia entertainment berpengaruh signifikan terhadap penetrasi ide dan gaya hidup LGBTQ. Musik, film, agensi, podcast pada televisi dan media sosial (facebook, instragram, twiter, youtube) menampilkan tren kekinian konten LGBTQ. Bahkan phobia-LGBTQ tak diberi tempat dalam media sosial. Banyak kasus individu dan organisasi yang mengecam LGBTQ di media sosial dibekukan akunnya. Tak ayal, penerimaan, dukungan dan kuantitas LGBTQ pada generasi muda merebak bak jamur di musim hujan.
Hal inilah yang akhirnya ‘memenjarakan’ masyarakat untuk menentang dan mengisolasi LGBTQ. Bahkan lembaga hukum pun tak berkutik menghadapinya. Masih segar dalam ingatan, tahun 2017 Mahkamah Agung menganulir permohonan uji materi yang ingin memasukkan LGBTQ dalam tindak pidana. Sampai detik ini belum ada pasal pidana LGBTQ dalam KUHP. Wajar, maraknya pesta gay lesbi tak ditindak tegas oleh aparat hukum.
Islam Solusi Paripurna
Massif dan sistematisnya kampanye LGBTQ, hanya Islam yang mampu meredam dan membendungnya. Syaratnya penanganan preventif dan kuratif LGBTQ dalam Islam dilaksanakan di level keluarga, masyarakat maupun negara.
Dalam keluarga, orang tua wajib menanamkan aqidah Islam kepada anak-anak sehingga syari’at Islam menjadi standar perbuatannya. Anak harus paham bahwa Islam mengharamkan pemenuhan gharizah na’u melalui hubungan sejenis, seperti dilakukan kaum Nabi Luth. Al Quran (Surat An Naml ayat 54-58) menyebut LGBTQ sebagai alfaahisyah (keji dan hina). Allah SWT pun memberikan sanksi berat pada pelakunya. Hal ini disampaikan lewat lisan Rasulullah SAW yang mulia
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
Artinya : Siapa menjumpai orang yang melakukan perbuatan homo seperti kelakuan kaum Luth maka bunuhlah pelaku dan objeknya (HR. Ahmad 2.784, Abu Daud 4.462)
Secara teknis orang tua membiasakan anak menutup aurat disertai penjelasan batasan aurat; mendidik anak sesuai fitrah gendernya; memisahkan tempat tidur anak untuk menghindari tidur dalam tempat dan selimut yang sama; menjauhkan anak dari media massa dan sosial berkonten LGBTQ dan sebagainya.
Dalam masyarakat wajib dikencangkan amar ma’ruf nahi munkar. Peran ulama dan tokoh mengedukasi masyarakat terkait keharaman LGBTQ. Tenaga kesehatan menjelaskan bahaya penyakit yang ditimbulkan LGBTQ. Struktur masyarakat lain pun turut aktif untuk menyuarakan penolakan terhadap LGBTQ di lingkungan sekitar dan berbagai media. Melalui cara ini aktivitis dan pendukung LGBTQ akan tak nyaman atau malu untuk mengekspos diri di ruang publik.
Negara adalah benteng paling kokoh karena memiliki kebijakan dan perangkat hukum. Negara bertanggung jawab mencegah, membatasi dan menghentikan setiap upaya yang mempromosikan LGBTQ di ruang publik. Negara harus tegas menolak UU atau konvensi internasional yang mendukung LGBTQ. Menutup setiap sarana dan prasarana promotor LGBTQ. Menyediakan sarana dan prasarana untuk menyadarkan dan menyembuhan aktivis LGBTQ agar kembali ke fitrahnya. Memberlakukan sanksi bagi aktivis, penggiat dan pendukung LGBTQ. Yaitu hukuman mati bagi aktivisnya agar terputus mata rantai LGBTQ. Hukuman ta’zir bagi penggiat dan pendukung LGBTQ. Mengedukasi masyarakat dengan aqidah dan syari’at Islam sehingga tumbuh kesadaran untuk menolak LGBTQ.
Jika hanya Islam yang mampu mematikan LGBTQ hingga ke akarnya, masihkah ragu dengan penerapan sistem Islam kaffah? Wallahu a’lam bish-shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!