LAHIRNYA SKB 3 Menteri ini merupakan upaya untuk mencari titik persamaan dari berbagai perbedaan yang ada di masyarakat. Ia mengatakan, SKB 3 Menteri bukan memaksakan agar sama, tetapi masing-masing umat beragama memahami ajaran agama secara substantif, bukan hanya simbolik. (kompas.com, 05/02/2021)
Masih dari sumber yang sama, Mendikbud Nadiem Makarim menekankan hak untuk memakai atribut keagamaan adanya di personal bukan keputusan sekolah.
SKB yang dipolemikkan ini mengatur sekolah negeri yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Dan terbit pasca kasus jilbab terhadap siswi non muslim di SMKN 2 Padang mencuat. Pihak yang kontra mengkritisi SKB 3 menteri itu justru menghilangkan keberagaman di Indonesia.
Ketua MUI Pusat Dr. Cholil Nafis memberikan pandangannya berupa peninjauan ulang atau pencabutan karena tidak mencerminkan lagi adanya proses pendidikan. Pada usia sekolah itu memang perlu dipaksa melakukan yang baik dari perintah agama (hidayatullah.com, 06/02/2021)
Mantan Wali Kota Padang Fauzi Bahar menilai SKB ini akan menghilangkan ciri keberagaman di Indonesia.
Sebagian yang setuju dengan penerbitan SKB 3 Menteri itu diharapkan menjadi landasan bagi sekolah untuk tidak memaksakan penggunaan atribut keagamaan tertentu kepada murid dan guru di sekolah negeri. Dalam aturan ini disebut sekolah tidak boleh melarang atau mewajibkan atribut keagamaan tertentu pada siswa atau tenaga pendidik.
Sangat disayangkan fenomena yang tidak menghormati hak asasi siswa sering terjadi jauh sebelum ini dengan objek yang berbeda. Kejadian pelarangan siswa muslim mengenakan jilbab misalnya pernah terjadi di SMAN 1 Maumere 2017 dan di SD Inpres 22 Wosi Manokwari tahun 2019. Bahkan pada 2014, tak kurang dari 40 sekolah di Bali melarang penggunaan kerudung (Dalam catatan Bidang Advokasi P2G ).
Bukanlah kasus baru, tapi kasus ini seakan-akan paling intoleran sampai melahirkan SKB 3 Menteri, sehingga menafikan kasus yang serupa sebelumnya.
Jangan pula SKB ini memunculkan regulasi daerah yang melarang memakai identitas agama. Karena harapan adanya kebebasan berjilbab bagi siswi Muslimah di daerah minoritas akan semakin jauh.
Sebagaimana ditekankan Pak Nadiem Makarim bahwa hak untuk memakai atribut keagamaan adanya di individu. Individu itu adalah guru, murid, dan orang tua, bukan keputusan sekolah. Artinya keleluasaan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk memilih antara seragam dan atribut tanpa kekhususan agama, atau dengan kekhususan agama. Keleluasaan ini bermakna bahwa Pemerintah Daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
Aturan yang mewajibkan siswa nonmuslim memakai jilbab atau aturan melarang siswa muslim menggunakan jilbab adalah sama-sama melanggar dan menyalahi prinsip toleransi dilingkungan sekolah.
Mari bahu membahu untuk menjadikan sekolah sebagai tempat menyemaikan semangat toleransi. Dengan keragaman suku, agama, dan ras. Semangat saling menghormati dan menghargai harus dimulai sejak dini.
Mia Fitriah el Karimah