Jum'at, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 5 Juni 2020 22:22 wib
10.960 views
Jebakan Imperialisme di Balik Istilah New Normal
Oleh: Majiidah Ummu Rizieq
Presiden Joko Widodo (7/5/2020) melalui akun resmi media sosial Twitternya mengajak hidup berdamai dengan Covid-19 sampai ditemukannya vaksin yang efektif untuk beberapa waktu ke depan. Maksud ini dipertegas Deputi bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, “Ya, artinya jangan kita menyerah, hidup berdamai itu penyesuaian baru dalam kehidupan. Ke sananya yang disebut “the new normal”, tatanan kehidupan baru.”
Pernyataan ini menimbulkan sejumlah reaksi dari masyarakat tidak terkecuali dari para nakes yang kemudian melahirkan #IndonesiaTerserah sebagai simbol kekecewaan. Sejumlah para ahli kesehatan pun telah bersuara. Khususnya melihat kurva epidemiologi yang jangankan melandai, menunjukkan titik puncak (peak) pun belum. Namun pemerintah telah membuat timeline bagi aktivitas ekonomi.
Wakil ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan, “Saat ini terlalu cepat untuk mengambil langkah new normal. Untuk masuk new normal, pemerintah harus memiliki indikator dan kriteria berbasis data penanganan corona secara medis dan epidemiologis.” (kompas.tv)
Tidak hanya di Indonesia, sejumlah negara bahkan telah lebih dulu menerapkan new normal, seperti China, Australia, Jerman, Singapura, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Ahli kesehatan AS, seperti Anthony S Fauci, dokter ahli penyakit menular dan direktur National Institute of Allergy and Infectious Disease. Menentang langkah Trump yang membuka kembali sekolah dan ekonomi saat wabah sedang mengganas, dan menyatakan kepada sejumlah gubernur negara bagian, “Ada risiko nyata bahwa Anda akan memicu wabah yang mungkin tidak dapat anda kendalikan.”
China sendiri, belum bisa bernafas lega meski tren penularan virus menurun dalam satu bulan terakhir Sejak angka penularan corona terkendali dan stabil hampir di seluruh daerah, China menurunkan peringkat darurat kesehatan pada awal Mei ini.
Jika negara-negara lain saja yang sigap bahkan berhasil menurunkan angka korban virus corona ini masih gagal dalam menerapkan new normal. Bagaimana dengan negara kita? Yang seolah-olah sudah benar-benar siap menghadapi tantangan berikutnya, termasuk peluang gelombang kedua corona, padahal di ronde awal saja sudah babak belur. Dengan demikian, wacana dan tindakan “new normal” semacam inilah yang justru abnormal.
New Normal, Jebakan Imperialisme
Sudah bukan rahasia, bahwa gurita kapitalisme global memang berkepentingan membuat kesehatan masyarakat tak benar-benar terjaga. Bahkan ada yang curiga, di balik keputusan Lembaga Kesehatan Dunia WHO soal darurat kesehatan global akibat corona, ada kepentingan “Big Farma” dan “Big Money” yang menyetirnya.
Mirisnya, sebagai negara pengekor, Indonesia dengan mudah ikut termakan propaganda. Narasi berdamai dengan corona seolah-olah menjadi satu-satunya pilihan. Padahal sejatinya, narasi ini adalah sebuah jebakan, yang menutup mata rakyat, bahwa ada begitu banyak persoalan, yang berujung pada kerusakan sistem yang dijalankan dengan tak berperasaan.
Tegaknya peradaban Barat di atas landasan pemisahan agama dari kehidupan, serta gambarannya tentang kehidupan sebagai manfaat semata, merupakan dua hal yang menjadikan peradaban Barat memiliki karakter hina dan buruk, yakni penjajahan atau imperialisme.
Selain berkarakter imperialisme, karakter peradaban kapitalisme yang tidak kalah buruk dan berbahaya adalah mengakui nilai materi semata. Sistem ekonominya hanya membahas aspek materi dan manfaat, bahkan menjadi fokus mengatasi urusan kesehatan dan nyawa manusia. Yang lebih parah, urusan kesehatan dianggap sebagai jasa yang harus dikomersialkan. Ini terlihat pada konsep “new normal life”. Demi hasrat meraih nilai materi, rezim berkuasa berlepas tangan dari mengatasi pandemi Covid-19 yang tengah berkecamuk. Kendati untuk itu kesehatan dan nyawa miliaran manusia taruhannya.
New Normal hanya terwujud dalam Peradaban Islam
Wabah corona memang telah memberi kita banyak pelajaran. Salah satunya bahwa kekuasaan yang tak berbasis pada akidah Islam hanya akan melahirkan kerusakan. Saat ini, kita hidup di tengah sistem yang abnormal karena tidak diterapkannya hukum Islam untuk mengatur segala urusan manusia, karena itu kehidupan new normal hanya akan kita rasakan jika hukum Islam itu dijalankan ditengah-tengan umat oleh seorang khalifah yang melaksanakannya dalam sistem khilafah.
Peradaban Islam adalah satu-satunya peradaban berkarakter mulia, pemberi rasa tenteram dan ketenangan bagi kehidupan umat manusia. Karakter yang begitu sempurna sebagimana telah ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya, “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan penyejahtera bagi seluruh alam.” (TQS Al Anbiya [21]: 107).
Lebih dari pada itu, keberadaan peradaban Islam yang berdasarkan akidah Islam menjadikannya sebagai satu-satunya peradaban yang sesuai fitrah bagi manusia. Di samping karena gambarannya tentang kehidupan sebagai aktivitas yang berjalan sesuai dengan perintah dan larangan Allah dan arti kebahagiaan berupa ridha Allah SWT.
Semua hal ini meniscayakan dalam peradaban Islam terwujud nilai materi, spiritual, kemanusiaan, dan moral secara serasi. Ini di satu sisi, di sisi lain menihilkan aspek hegemoni bersamaan dengan terwujudnya fungsi negara yang sahih. Sehingga, manusia berada pada posisi mulia di tengah pesatnya kemajuan sains dan teknologi. Buah manis keharmonisan peradaban Islam dengan kebenaran sains.
Tidak sekadar konsep, peradaban Islam dengan karakternya yang mulia sebagai pewujud kesejahteraan seluruh alam, benar-benar telah teruji selama puluhan abad dan di dua per tiga dunia. Ini semua telah diukir oleh tinta emas peradaban sejarah.
Hari ini, dengan karakternya yang begitu sempurna, peradaban Islam adalah satu-satunya harapan dunia. Pembebas dari wabah Covid-19 yang berlarut-larut. Juga pembebas dunia dari agenda hegemoni. Baik di Timur oleh Cina dan sekutunya, maupun di Barat oleh AS dan sekutunya. Berikut dengan lembaga internasional seperti WHO, PBB, WB, IMF, dan korporasi raksasa dunia yang menjadikan kesehatan dan nyawa manusia sebagai objek hegemoni.
Pada gilirannya, peradaban Islam akan membawa dunia pada puncak kesejahteraan untuk kedua kalinya dengan izin Allah SWT. “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan din yang benar agar dimenangkan-Nya atas semua din. Dan cukuplah Allah sebagai saksi…” (TQS Al Fath[48]: 28). Wallahu a’lam bissawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!