Senin, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 17 Februari 2020 21:15 wib
9.707 views
Realisasi Kerukunan Beragama dalam Sistem Demokrasi, Berhasilkah?
Oleh: Hasrianti
Indonesia merupakan salah satu negara dengan keberagaman agama dan kepercayaan yang multikultural. Kerukunan beragama sebagai bentuk keserasian yang diupayakan agar saling memahami dan menghargai peran dan tugas masing-masing untuk membangun masyarakat dan negara yang harmonis. Namun, keberagaman tersebut tidak selalu berjalan dengan baik berbagai konflik dalam kerukunan beragama kerap terjadi.
Seperti yang terjadi di Medan, Masjid Al Amin di Jalan Belibis, Percut Sei Tuan, mengalami kerusakan pada sejumlah fasilitas Masjid. Selain di Medan, telah terjadi juga aksi perusakan terhadap Masjid Al Hidayah yang berada di Perum Agape Kelurahan Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Suawesi Utara. Hal ini memicu reaksi umat islam tak hanya Sulut, tetapi juga umat Islam di Poso (31/1/2020).
Aksi perusakan masjid di Minahasa bukanlah kasus pertama kalinya, melainkan salah satu dari deretan kasus yang pernah terjadi di Indonesia. Perusakan Masjid tersebut membuat Menteri Agama Fachrul Razi bersuara meskipun bernada biasa saja menanggapi masalah tersebut.
Ia mengatakan bahwa Indonesia sebagai mayoritas muslim memungkinkan untuk memiliki tempat ibadah yang jumlahnya banyak dan tersebar di berbagai wilayah. Meskipun yang dirusak hanya satu, lantas itu tidak harus dipermasalahkan. Selain itu sebetulnya kasus yang ada, kita bandingkan lah ya, rumah ibadah di Indonesia ada berapa juta sih? Kalau ada kasus 1-2 itu kan sangat kecil," kata Fachrul di Kota Bogor, sebagaimana dikutip oleh republika.co.id.
Pernyataan tersebut dinilai tidak tepat, kasus yang terjadi bukanlah melihat sedikit banyaknya jumlah pengrusakan yang dilakukan oleh minoritas atas tempat ibadah umat Islam, melainkan mereka lakukan merupakan hal yang menganggu kerukunan beragama dan mengikis toleransi dalam hal kebebasan melakukan aktivitas keagamaan.
Lemahnya Hukum Negeri
Berkaca dari beberapa kejadian pengrusakan tempat ibadah umat Islam hal ini menunjukkan ketidakmampuan sistem demokrasi dalam mewujudkan ketertiban kerukunan umat beragama. Pemerintah juga tidak mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku minoritas. Justru ketika pemerintah tidak tegas membuat hal serupa akan terus berulang.
Seharusnya hal ini ditindak tegas dengan memberikan hukuman yang bisa membuat para pelaku jera sehingga perbuatan yang sama tidak terjadi lagi. Namun, yang terjadi tidak demikian, hasilnya bisa kita lihat dengan semakin massifnya pengrusakan tempat ibadah umat Islam sampai hari ini. Bukti gagal sistem sekuler-demokrasi mewujudkan kerukunan beragama.
Toleransi dan HAM hanya Ilusi
Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Anton Tabah Digdoyo turut berkomentar. Ia Mengatakan bahwa terjadinya miskomunikasi antar umat agama menjadi penyebab sering terjadinya perusakan rumah ibadah. Kasus tersebut mesti membuka mata pemerintah, siapa yang intoleran dan radikal. Karena selama ini selalu menuduh umat Islam (intoleran). “Faktanya bagaimana? Siapa yang radikal? Siapa intoleran? Buktinya mereka merusak masjid yang sangat diperlukan umat Islam di tempat tersebut.”
Aneh tapi nyata di negeri ini ketika Islam menjadi objek, suara kecaman dari para tokoh Hak Asasi Manusia (HAM) seakan bungkam sama sekali tak terdengar. Akan tetapi jika yang menjadi objek perusakan rumah ibadah ialah nonmuslim dan aliran kepercayaan, mereka malah mati-matian memperjuangkan untuk mendapatkan keadilan. Alhasil, tuduhan tak berdasar tak jarang muncul untuk menyasar islam terkhusus pada beberapa gerakan Islam yang mereka anggap pelaku intoleran.
Teriakan intoleransi hanya menohok kepada Islam sebagai mayoritas yang seolah tidak memberikan ruang kebebasan bagi minoritas. Sementara jika mereka yang minoritas sebagai pelakunya tidak ada sebutan intoleransi, hanya disebut terjadi kesalahpahaman umat beragama.
Ketidakberdayaan negara dalam menyelesaikan berbagai kasus perusakan rumah ibadah, menjadi gambaran bahwa penguasa saat ini gagal memberi rasa aman secara total bagi setiap warga negaranya dalam menjalankan kewajiban sebagai umat beragama.
Masih ingatkah kita kasus pembakaran Masjid di Tolikara, Papua? Pengrusakan ini dilakukan oleh kelompok nonmuslim dengan tujuan melarang umat Islam beribadah. Tindakan intoleran ini anehnya justru mendapat sambutan luar biasa di istana.
Indonesia disebut sebagai negara yang mengagungkan demokrasi dan hak asasi manusia, benteng Islam moderat, dan role model demokrasi di dunia Muslim. Faktanya, justru Indonesia menuju pada kehancuran karena senjatanya sendiri yakni demokrasi. Demokrasi Indonesia sedang dalam keadaan sakit dan mendekati bunuh diri. Penguasa tak menyadari bahwa kerusakan terus dihasilkan karena bobroknya sistem demokrasi.
Sesungguhnya HAM tak lain berasal dari Barat, mereka memoles HAM dengan penjabaran bahwa keberadaan HAM akan melindungi setiap hak rakyat. Lagi-lagi penguasa membuka ruang lebar, dan umat tidak menyadari akan tipu daya tersebut. Namun, sesuatu yang mudharat tetap akan melemah dengan sendirinya, Barat di satu sisi ingin mengekspor ide HAM ke negeri-negeri muslim, di sisi lain justru mereka yang menginjak-injak HAM mereka sendiri.
Saat ide ini dijajakan di negeri-negeri Islam, tidak lebih dari sekadar untuk menghancurkan entitas masyarakat muslim yang memiliki identitas islam yang khas, sekaligus sebagai legitimasi untuk mempercantik ide-ide Barat yang sebenarnya sudah rusak. Maka dengan keberadaan HAM, mustahil konflik antar agama dapat selesai secara total. Masihkah kita mau dilenakan dengan ide-ide Barat?
Sistem Islam Menjaga Kerukunan Beragama
Islam dengan segala aturannya yang bersifat komperhensif mampu menjaga kerukunan beragama. Kaum muslim justru pernah mencetak sejarah gemilang yang mencatat kerukunan umat beragama selama 14 abad lamanya. Di bawah naungan Khilafah ribuan bahkan ratusan ribu suku, agama, kepercayaan dan kabilah hidup dengan damai, rukun, dengan toleransi yang luar biasa dan belum pernah ada dalam sejarah peradaban mana pun kecuali peradaban Islam.
Salah satunya di Spanyol, lebih dari 800 tahun lamanya pemeluk Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan dengan damai dan tenang selama era Khilafah Bani Umayyah.
Sejarah Islam yang panjang, tidak ditemukan kasus penindasan yang dilakukan oleh umat Muslim terhadap umat lainnya. Bahkan ketika umat Muslim berkuasa melalui sistem Kekhilafahan di dunia, tidak ada pemaksaan terhadap umat lainnya untuk memeluk Islam. Umat non-Muslim tetap dilindungi untuk melaksanakan aktivitas ibadah sesuai agama mereka. Pun ketika ada penindasan maka penguasa akan segera menyelesaikannya, dan tidak akan terjadi berulangkali.
Sejarah juga mencatat di masa Khalifah Umar bin al-Khaththab pada tahun 636 M menandatangani Perjanjian Aelia dengan kaum Kristen di Jerusalem. Sebagai pihak yang menang perang, Khalifah Umar tidak melakukan pembantaian terhadap umat Kristen. Khalifah Umar telah memimpin suatu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Jerusalem. Ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana maupun penghancuran bangunan, pembakaran simbol-simbol agama lain, dan pengusiran ataupun perampasan hak.Tidak ada pemaksaan terhadap penduduk Jerusalem untuk memeluk Islam.
Maka, selama negeri-negeri kaum muslimin termasuk Indonesia masih menerapkan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya, kerukunan umat beragama sulit untuk diwujudkan. Hanya Islam satu-satunya yang telah terbukti mampu menjaga kerukunan umat beragama dalam naungan sistem islam. Wallahualam bishowab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!