Rabu, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 16 Oktober 2019 06:17 wib
9.446 views
Mengkritisi Disertasi Milku Al-Yamin Abdul Azis
Oleh:
Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA*
BEBERAPA waktu lalu kita dihebohkan dengan disertasi Abdul Azis mahasiswa program doktoral UIN Sunan Kalijaga (Suka) Jogja yang berjudul "Konsep Milku al-Yamin Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital". Disertasi ini menyimpulkan bahwa hubungan seksual nonmarital (tanpa ikatan nikah) dalam batasan tertentu sah dan tidak melanggar syariat. Yaitu suka sama suka, dewasa, bukan mahram, tidak bersuami, dan dilakukan di tempat privasi (bukan tempat umum). Berita heboh ini menjadi viral di media sosial, media cetak dan televisi.
Disertasi ini diluluskan oleh para tim penguji dalam sidang disertasi terbuka yang diadakan pada tanggal 28 Agustus 2019 di kampus UIN Jogja dengan nilai sangat memuaskan. Tim penguji terdiri dari rektor UIN Jogja Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, PhD sebagai ketua sidang, Prof. Dr. Waryono Abdul Ghafur sebagai sekretaris sidang, Prof. Dr. H. Khoiruddin, MA dan Dr. Phil. Sahiron, MA sebagai promotor, Prof. Dr. Euis Nurlailawati, MA, Dr. H. Agus Moh Najib, M.Ag, dan Dr. Samsul Hadi, M.Ag sebagai penguji.
Dengan menggunakan metodologi hermeneutika, Abdul Azis menafsirkan kata “al-yamin” (budak wanita) dalam Alquran dengan makna partner atau teman wanita, agar sesuai dengan konteks zaman ini. Dengan alasan, konsep milk al-yamin dalam Alquran harus tetap diterapkan untuk zaman ini meskipun tidak ada perbudakan saat ini. Hubungan seksual ini sekedar melampiaskan nafsu, bukan untuk bertanggungjawab dan memperoleh keturunan. Maka tidak melanggar syariat. Dan ini hak asasi manusia, maka tidak boleh dikriminalkan.
Abdul Azis yang juga dosen Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta berharap disertasinya itu bermanfaat untuk pembaharuan hukum perdata dan pidana Islam di Indonesia. Dia menjelaskan bahwa disertasi itu muncul dari kegelisahan dan keprihatinannya terhadap beragam kriminalisasi hubungan intim non marital konsensual (hubungan seksual di luar pernikahan yang dilandasi persetujuan atau kesepakatan) sebagaimana terjadi rajam di Aceh pada tahun 1999 dan di Ambon pada tahun 2001. Menurutnya, kriminalisasi bertentangan dengan hak asasi manusia sebagaimana penjelasannya kepada media online tempo.co (30/8/2019), TV one (1/9/2019), dan media lainnya.
Disertasi ini mengkaji pemikiran Muhammad Syahrur asal Suriah tentang konsep milku al-yamin. Menurut Syahrur, hubungan seksual nonmarital dalam batasan tertentu tak melanggar syariat Islam. Batasan tertentu yang dimaksud oleh syahrur adalah suka sama suka, dewasa, bukan mahram, tidak bersuami, dan di tempat privasi (bukan tempat umum). Namun sayangnya, pemikiran syahrur ini disetujui oleh Abdul Azis. Dia tidak membantah pemikiran Syahrur. Bahkan, pemikiran Syahrur dipuji dan direkomendasikan untuk diterapkan di Indonesia. Inilah masalahnya. Seandainya dia mengkritisi dan “membantai” pemikiran syahrur tentu disertasinya bermanfaat dan memberi kontribusi bagi agama dan umat Islam.
Tentu saja disertasi ini telah menimbulkan keresahan umat Islam, sehingga muncul penolakan dan kecaman keras dari umat Islam. Hal ini dikarenakan pemikiran dalam disertasi ini telah menyimpang dan merusak ajaran Islam, bahkan dianggap melakukan penistaan agama. Maka, tulisan ini bertujuan untuk mengkritisi dan membantah disertasi Abdul azis untuk menjaga dan membela agama serta mengingatkan umat terhadap bahaya disertasi dan paham liberal.
Kritikan dan Bantahan terhadap Disertasi
Disertasi ini telah menyimpang dari Islam, karena telah menghalalkan zina yang telah diharamkan oleh Alqur'an, as-Sunnah, dan al-ijma'. Dengan kata lain, pemikiran dalam disertasi ini sesat dan menyesatkan. Dalam Islam, hubungan seksual tanpa ikatan (akad) nikah disebut zina. Islam mengharamkan zina berdasarkan alquran, as-Sunnah dan ijma’. Oleh karena itu, para ulama membuat suatu kaidah Fiqh terkait hukum zina yaitu “Al-Ashlu fii al-abdhaa’ at-tahriim” (Hukum asal pada masalah seks adalah haram). Maknanya, hukum asal hubungan seksual itu haram sampai ada sebab-sebab yang jelas dan tanpa meragukan bagi yang menghalalkannya yaitu adanya akad nikah dan milku al-yamin.
Perkataan Abdul Azis bahwa hubungan seksual tanpa ikatan nikah sah dan hak asasi manusia sehingga tidak boleh dikriminalkan itu menyesatkan umat. Perkataannya ini bertentangan dengan Islam. Islam tidak hanya mengharamkan zina, namun juga mengkriminalkan para pelaku zina dengan memberi hukuman tertentu. Bagi penzina yang sudah menikah hukumannya rajam (hukuman mati dengan cara dilempari batu). Adapun bagi penzina yang belum menikah hukumannya cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Jadi, zina dianggap sebagai suatu kriminal dalam Islam sehingga mesti diberikan hukuman. Adapun hak asasi manusia diakui dan dijaga oleh Islam selama tidak melanggar hukum Allah.
Adanya kriminalisasi bagi pelaku hubungan seksual non marital berupa hukuman rajam di Aceh pada tahun 1999 dan di Ambon tahun 2001 sehingga mendorong Abdul Azis menulis disertasinya seperti yang disampaikan kepada berbagai media itu tidak benar. Tidak ada hukuman rajam terjadi di Aceh pada tahun tersebut. Bahkan pada saat Aceh mulai memberlakukan syariat Islam secara resmi pada tahun 2002 sampai hari ini, belum pernah diberlakukan hukuman rajam. Meskipun masih ada pelanggaran syariat seperti zina, namun hanya diberi hukuman cambuk saja. Dengan demikian, Abdul Azis telah melakukan pembohongan publik. Pantaskah seorang peneliti itu memberikan data palsu? Tentu ini melanggar kode etik penelitian, bahkan melanggar agama. Maka disertasi ini tidak ilmiah.
Menghalalkan zina dengan sadar atau sengaja bisa mengakibatkan penulis disertasi dan orang-orang yang menyetujuinya dan meluluskannya (yaitu ketua sidang, ketua pasca sarjana, para promotor dan penguji) menjadi murtad (kafir). Karena, keharaman zina itu qath'i (jelas) dan shahih berdasarkan Alqur'an, As-Sunnah dan ijma'. Para ulama berijma' (sepakat) mengatakan bahwa menghalalkan apa yang diharamkan oleh Alqur'an dan hadits yang shahih yang telah disepakati keharamannya oleh para ulama atau sebaliknya hukumnya murtad. Silakan rujuk kitab-kitab Fiqh (bab murtad), dan aqidah (bab pembatal keimanan/keislaman).
Sepatutnya disertasi yang ditulis oleh seorang muslim sesuai dengan Islam dan memperkuat keimanannya serta bermanfaat bagi agama dan umat Islam, bukan merusak ajaran Islam dan membahayakan umat Islam. Ini menunjukkan bahwa aqidah penulis disertasi dan orang-orang yang terlibat dalam meloloskan dan meluluskannya itu “bermasalah” atau “bervirus”. Akibatnya, bisa “mematikan” keimanan mereka. Inilah bahaya paham liberal.
Persoalan keharaman zina ini termasuk persoalan aqidah, karena berdasarkan Al-Quran dan hadits shahih. Terlebih lagi, dalil keharaman zina itu qath’i dan shahih yang disepakati keharamannya oleh para ulama. Jadi, bukan persoalan khilafiah dan bukan pula ranah ijtihad. Maka persoalan menghalalkan zina seperti ini tidak bisa dianggap “persoalan biasa” dalam ranah pemikiran dan keilmuan. Ini persoalan aqidah yang ma’luman biddharuurah (sudah pasti diketahui). Seorang muslim wajib mengetahui dan meyakininya. Maka keislaman mereka ini patut dipertanyakan, apakah mereka benar muslim atau munafik?.
Disertasi ini juga telah melanggar maqashid asy-syariah. Dalam konsep ini, hukum Islam bertujuan untuk mendatangkan mashlahah (kebaikan) dan menolak mafsadah (keburukan). Islam menjaga adhruuriyat al-khamsah (lima pokok kehidupan manusia) yaitu agama, jiwa, harta, akal dan nasab. Sebahagian ulama menambahkan poin keenam yaitu kehormatan. Untuk menjaga nasab dan keturunan, maka Islam memerintahkan menikah dan mengharamkan zina. Inilah maqashid asy-syariah. Disertasi ini telah membuka jalan menuju seks bebas (free sex), nikah mut'ah (kawin kontrak), kumpul kebo, dan lainnya yang sejenis. Semua ini zina yang diharamkan dalam Islam, karena dapat merusak nasab dan keturunan.
Secara metodologi, disertasi ini juga bermasalah. Disertasi ini menggunakan pendekatan hermeneutika. Metodologi ini dipakai untuk menafsirkan Bible yang merupakan produk manusia yang disesuaikan dengan konteks tempat dan zaman. Metodologi ini sangat berbahaya jika digunakan untuk menafsirkan Al-Quran, karena bisa mengubah ajaran Islam yang sudah qath’i dan tsabit (permanen) yang tidak memerlukan ijtihad atau penafsiran baru.
Dalam kajian hermeneutika, Alquran harus dipahami secara kontekstual. Maknanya, Alquran harus disesuaikan dengan konteks zaman dan budaya setempat saat ini, sehingga kebenaran Alquran menjadi relatif. Akibatnya, ajaran Islam yang qath’i harus diubah dan ditafsir dengan makna lain, karena dianggap tidak sesuai dengan konteks tempat dan zaman ini. Ini sama saja menuduh Al-Quran tidak cocok untuk diterapkan untuk setiap zaman dan tempat. Dengan demikian, Al-Quran tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum atau petunjuk untuk setiap zaman dan tempat. Inilah bahaya hermeneutika dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran.
Secara akal sehat dan fitrah, pemahaman Abdul Azis tidak bisa diterima. Apakah Abdul Azis ini dan “guru”nya Syahrur serta orang-orang yang telah menyetujui dan meluluskan disertasi ini rela bila bila anak dan ibu mereka berhubungan seksual tanpa nikah atau zina? Jika mereka masih punya naluri kemanusiaan tentu tidak rela. Kecuali tidak ada lagi, dan yang ada naluri kebinatangan. Maka, disertasi ini melanggar akal yang sehat dan naluri kemanusiaan.
Selain metodologinya bermasalah, disertasi ini juga tidak ilmiah. Abdul aziz tidak merujuk kepada maraji' (referensi ilmiah) dari para ulama. Padahal, ulama merupakan pewaris nabi dalam keilmuan agama seperti disebutkan dalam hadits. Oleh karena itu, ulama merupakan pemegang otoritas dalam pemahaman agama. Maka, kita diperintahkan untuk mengikuti ulama sebagaimana perintah Alquran dan hadits. Namun, Abdul Aziz tidak merujuk kepada ulama. Akibatnya timbul kerancuan dalam berpikir yang menyimpang dari koridor Islam. Dikira ilmiah, padahal disertasinya ini sampah dan virus yang berbahaya bagi agama dan umat. Dengan kata lain, ini paham sesat berkedok ilmiah.
Anehnya, Abdul azis merujuk pemahaman agamanya bukan kepada ulama. Dia merujuk kepada Muhammad Syahrur seorang professor (emeritus) Universitas damaskus di bidang tehnik sipil yang belajar di Rusia dan Irlandia. Syahrur yang kelahiran Damaskus tahun1938 ini aktif menulis tentang keislaman, meskipun ngawur dan menyimpang dari Islam. Keahliannya di bidang tehnik, bukan agama. Jadi dia tidak paham agama dan tidak punya kapasitas ilmu syar’i. Selain itu, dia dikenal sebagai seorang tokoh liberal Suriah. Bahkan, para ulama menyebutkannya sebagai seorang syuyu'i (komunis) dan mulhid (atheis). Dengan demikian, Syahrur tidak bisa dijadikan sebagai rujukan dalam persoalan agama. Menjadikan Syahrur sebagai rujukan dalam persoalan agama merupakan kesalahan fatal dan kesesatan.
Sebenarnya, dari sisi kepatutan sumber referensi dikaitkan dengan Syahrur yang tidak memiliki otoritas ilmiah, maka jangankan untuk disertasi, untuk skripsi saja harusnya sudah gugur, mengingat seharusnya UIN merupakan lembaga akademik. Jika yang dasar saja runtuh, maka runtuhlah semua produk akademik dari UIN, minimal UIN Sunan Kalijaga di periode ini. Jadi, tidak membahas wilayah pendapat pun, konsekuensinya seluruh produk pemikirannya pun batal. Tidak dapat diterima.
Alquran menyebutkan konsep milku al-yamin dalam banyak ayat, di antaranya dalam surat Al-Mukminun ayat 5-7 dan al-Ma’aarij ayat 29-31. Secara epistimologi, milku al-yamin berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari kata milku berarti memiliki atau kepemilikan dan Al-Yamin berarti budak wanita yang diperoleh dari peperangan. Ulama telah ijma’ (sepakat) dengan makna ini. Jadi milku al-yamin berarti kepemilikan budak wanita. Dalam konsep milku al-yamin, seorang tuan dibolehkan melakukan hubungan seksual dengan budak wanitanya tanpa akad nikah. Dan hanya berlaku bagi seorang tuan laki-laki.
Konsep ini diberlakukan pada awal Islam ketika adanya perbudakan saat itu, di mana perbudakan itu telah ada sebelum Islam datang. Namun, konsep ini tidak bisa diberlakukan untuk saat ini karena perbudakan telah dihapuskan oleh Islam. Begitu pula semua negara-negara sedunia saat ini menghapus perbudakan mengikuti Islam. Kecuali, jika perbudakan muncul pada suatu saat nanti dari musuh-musuh Islam akibat peperangan terhadap umat Islam maka konsep ini diberlakukan. Maka, memaksakan mencopot dalil dari Alquran tentang konsep milku al-yamin untuk menjustifikasi bolehnya hubungan seksual di luar nikah atau zina adalah sebuah kecerobohan dan kebodohan serta kesesatan.
Menqiyaskan milku al-yamin dengan patner atau teman wanita dalam kebolehan hubungan seksual tanpa ikatan nikah merupakan qiyas ma’a al-fariq (analogi yang berbeda), maka qiyas ini batil, karena tidak terpenuhi rukun qiyas yaitu kesamaan illat. Oleh karena itu, qiyas ini tidak bisa diterima. Dengan kata lain, qiyas ini mesti ditolak. Karena, milku al-yamin adalah budak wanita yang dimiliki dengan cara peperangan. Berbeda dengan patner atau kawan merupakan wanita merdeka (bukan budak).
Konsep milku al-yamin itu sendiri punya hukum khusus seperti kepemilikan budak dengan sebab peperangan, hubungan seksual dengan budak wanita itu hanya dibolehkan bagi tuan laki-laki saja, jika si budak itu melahirkan maka dia menjadi ummul walad (ibu anak tuan) dan anaknya merdeka, jika tuannya meninggal maka status budak dan anaknya dari suaminya menjadi merdeka, dan sebagainya. Inilah perbedaan antara milku al-yamin dengan partner atau teman wanita. Maka tidak bisa diqiyaskan. Ini menunjukkan bahwa Abdul Azis dan gurunya Syahrur tidak paham ilmu Ushul Fiqh sebagai metodologi istimbath hukum Islam yang diajarkan oleh para ulama dan disepakati oleh umat Islam.
Dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh, para ulama telah menjelaskan konsep tahqiq al-Manath. Dengan konsep tahqiq al-manath ini, argumentasi Abdul azis bisa kita bantah dengan mudah. Berdasarkan konsep tahqiq al-manath, milku al-yamin itu ‘illat (sebab) dibolehkan hubungan seksual seorang tuan denga budak wanitanya tanpa akad nikah. Jika tidak ada milku al-yamin berati tidak ada ‘illat. Jika ‘illat tidak ada, maka tidak ada hukum. Kaidah Fiqh mengatakan: “Al-hukmu yaduuru ma’a illatihi wujuudan wa ‘adaman” (Hukum itu ada atau tidaknya sesuai dengan ‘illatnya). Maksudnya, hukum itu ada jika ‘illatnya ada. Sebaliknya hukum itu tidak ada, jika ‘illatnya tidak ada. Karena milku al-yamin tidak ada saat ini, maka hukumnya tidak ada. Maka, konsep milk al-yamin tidak bisa diterapkan saat ini. Namun, jika ada muncul perbudakan kembali, maka hukum milku al-yamin dapat diterapkan.
Pemahaman Agama Wajib Merujuk kepada Ulama
Berbicara mengenai agama, seharusnya Abdul Azis merujuk kepada ahlinya yaitu ulama, sesuai dengan perintah Allah Swt: “Maka tanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui” (An-Nahl 43 dan An-Anbiya’:7). Belajar agama dari orang yang bukan ahlinya, maka sama saja menjerumuskan diri kepada kesesatan dan menyesatkan orang lain. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu begitu saja, namun Allah mencabut ilmu dengan mematikan para ulama. Jika tidak ada seorangpun ulama yang tersisa, maka orang-orang menjadikan orang-orang bodoh sebagai rujukan. Maka ketika mereka ditanya (suatu persoalan agama) maka merekapun memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka telah tersesat dan menyesatkan.” (HR. Muslim).
Untuk menafsirkan Al-Quran, kita harus mengunakan metodologi yang benar yang telah dibuat dan diajarkan oleh para ulama yaitu ilmu tafsir. Ilmu tafsir telah diterima secara ijma’ oleh para ulama sebagai metodologi yang otoratif dalam menafsirkan Al-Quran. Kita harus mengetahui berbagai disiplin ilmu yang mendukung metode ilmu tafsir seperti ilmu Tauhid, Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, I’rab (gramatika), Tarikh (sejarah), dan lainnya. Standar ketentuan semacam itu akhirnya akan melahirkan tafsir Al-Quran yang benar dan dipertanggungjawabkan. Dan produk tafsir itu sendiri tidak akan keluar dari ajaran Islam, sehingga Al-Quran shaalih li kulli zamaan wa makaan (sesuai untuk setiap zaman dan tempat) tanpa harus mengubah hukum-hukum yang telah qath’i dalam Al-Quran.
Disertasi ini merupakan bukti dan contoh paham sesat liberal berkembang di UIN Jogja. Kita sangat menyayangkan dan menyesalkan pihak UIN Jogja, khususnya para promotor dan penguji disertasi, yang telah meloloskan dan meluluskan disertasi ini sejak awal ujian proposal sampai ujian disertasi (sidang munaqasyah) dengan nilai sangat memuaskan. Sepatutnya disertasi ini ditolak dan tidak diluluskan sejak dari awal ujian proposal, karena tidak ilmiah dan menyimpang dari hukum Islam serta merusak moral. Selain itu, membahayakan kehidupan individu muslim, rumah tangga, masyarakat bahkan bangsa kita. Ini kesalahan dan tanggung jawab pihak UIN Jogja, khususnya para promotor dan penguji, yang telah meloloskan dan meluluskan disertasi yang menghalalkan zina.
Akhirnya, penulis mengajak umat Islam untuk mewaspadai dan menolak pemikiran atau paham yang menyimpang dari Islam seperti paham Liberal, Syi'ah, Komunis, dan paham-paham sesat lainnya. Selain itu, memperkuat pemahaman dan aqidah Islam yang benar yaitu aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang bersumber dari Alqur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman para ulama salafush shalih yaitu para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in (para imam mujtahid mazhab ahlus sunnah, termasuk para imam mazhab empat). Semoga kita selalu diberi petunjuk dan dijaga oleh Allah Swt dari paham sesat liberal dan lainnya. Amin!
Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, doktor bidang Fiqh & Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh & Ushul Fiqh Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan anggota Ikatan Ulama dan Da'i Asia Tenggara.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!