Rabu, 3 Jumadil Awwal 1446 H / 14 Februari 2018 15:59 wib
6.874 views
IMM: UU MD3 Lonceng Kematian Demokrasi
JAKARTA (voa-islam.com), Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM),Muhammad Solihin menilai pensahan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) adalah kematian demokrasi di Indonesia.
"Lonceng kematian demokrasi telah diperdengarkan dalam rapat paripurna yang resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3)," kata Solihin dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Menurut Solihin, pengesahan UU MD3 terkesan sangat terburu-buru dan menghasilkan suatu produk hukum yang cenderung prematur.
Hal itu, katanya, dibuktikan dengan munculnya berbagai penolakan dan perlawanan dari masyarakat, ormas, termasuk diantaranya oleh Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Lebih dari, lanjutnya, hasil rapat paripurna akan menjadikan DPR sebagai Lembaga super power yang sulit disentuh oleh proses hukum. Anggota DPR tidak dapat diperiksa tanpa adanya izin Presiden dan pertimbangan dari MKD. Hal itu tertuang dalam Pasal 245.
"Selain itu, kewenangan DPR diperkuat dalam Pasal 74 yang mengatur wewenang memberikan rekomendasi dan berhak melayangkan hak interpelasi, hak angket, serta hak menyatakan pendapat dan mengajukan pertanyaan bila rekomendasi itu tak dilaksanakan,"jelasnya.
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) juga bisa mengambil langkah hukum apabila ada yang merendahkan kehormatan Dewan atau anggotanya. Anggota, hal tersebut diatur dalam Pasal 122 huruf K. Berikut adalah kutipan pasal tersebut:
"Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR,"kutipnya.
Selain itu, sambung Solihin, DPR juga punya hak imunitas diatur dalam Pasal 224 ayat 1 UU MD3, yakni tidak bisa dituntut di depan pengadilan karena pernyataannya, pertanyaan, dan atau pendapat yang dikemukakan secara lisan atau tertulis di dalam rapat DPR atau di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
"Beberapa kewenangan di atas sangat bertentangan dengan prinsip negara demokrasi yang menjamin hak rakyat untuk menyampaikan pendapat dimuka umum,"tukasnya.
Solihin menegaskan, harus dipahami bahwa hukum yang efektif adalah hukum yang bersumber dari respon publik, dan salah satu respon publik dapat tersampaikan melalui kritik baik itu secara lisan ataupun tulisan.
Ia berpendapat revisi UU MD3 ini terkesan otoriter dan anti kritik, sehingga cenderung menggambarkan bahwa demokrasi telah mati di Republik Indonesia.
"Kriminalisasi terhadap masyarakat yang kritis, ketimpangan penegakan hukum, adalah fenomena yang akan terjadi dimasa yang akan datang seiring dengan disahkannya Undang-undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) pada rapat paripurna, Senin (14/2/2018),"bebernya.
Akhirnya, IMM mengajak kepada segenap masyarakat yang peduli terhadap bangsa ini agar mengambil langkah konkrit untuk diajukan ke Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk upaya pemenuhan rasa keadilan yang mulai dikebiri oleh para elit politik, mulai menutup ruang komunikasi dengan cara mengesahkan UU MD3.
Poin Substansi UU MD3
Berikut adalah 14 point substansi yang dimuat dalam hasil revisi UU MD3, yaitu:
1. Penambahan pimpinan MPR DPR dan DPD serta penambahan wakil pimpinan MKD.
2. Perumusan kewenangan DPR dalam bahas RUU yang berasal dari presiden dan DPR maupun diajukan oleh DPD.
3. Penambahan rumusan tentang pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap pejabat negara atau warga masyarakat secara umum yang melibatkan kepolisian
4. Penambahan rumusan penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak mengatakan pendapat kepada pejabat negara.
5. Menghidupkan kembali badan akuntabilitas keuangan negara.
6. Penambahan rumusan tentang kewenangan dalam Baleg dalam penyusunan RUU tentang pembuatan laporan kinerja inventarisasi masalah di bidang hukum.
7. Perumusan ulang terkait tugas dan fungsi MKD.
8. Penambahan rumusan kewajiban mengenai laporan hasil pembahasan APBN dalam rapat pimpinan sebelum pengambilan keputusan pada pembicaraan tingkat 1.
9. Pembahasan rumusan mekanisme pemanggilan WNI secara paksa dalam hal tidak memenuhi pemanggilan panitia angke
10. Penguatan hak imunitas anggota DPR dan pengecualian hak imunitas
11. Penamabahan rumusan wewenang tugas DPD dalam pantau dan evaluasi raperda dan perd/a
12. Penambahan rumusan kemandirian DPD dalam rumusan anggaran
13. Penambahan rumusan Badan Keahlian Dewan (BKD)
14. Penambahan rumusan mekanisme pimpinan MPR DPR dan alat kelengkapan dewan hasil pemilu 2014 dan ketentuan mengenai mekanisme penetapan. (bilal/voa-islam)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!