Jum'at, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 12 Januari 2018 10:25 wib
4.432 views
Sebuah Catatan tentang Munas Perdana FORJIM
Shodiq Ramadhan
Redpel Suara Islam Online/Ketua SC Munas I Forjim
(voa-islam.com), Saya ditunjuk teman-teman menjadi Ketua Steering Committee (SC) Musyawarah Nasional Forum Jurnalis Muslim (Forjim) perdana. Sebelumnya, pengurus transisi telah membentuk kelompok kerja (Pokja) yang bertugas menyiapkan segala perangkat Munas, mulai dari draft tata tertib persidangan, draft AD/ART, draft kode etik, dan draft rekomendasi Munas.
Dihitung secara keseluruhan, persiapan Munas pertama Forjim ini sekitar tiga bulan. Persiapan materi-materi sidang yang membutuhkan waktu paling lama. Di tengah-tengah kesibukan para jurnalis, menyiapkan perangkat-perangkat Munas itu merupakan sebuah pekerjaan tambahan yang luar biasa.
Pelaksanaan Munas I sendiri dijadwalkan akan dilakukan pada akhir Desember 2017 di Jakarta. Sekaligus bertepatan dengan "hari jadi" Forjim, yang menurut catatan dilahirkan pada 16 Desember. Tetapi, karena akhir Desember bersamaan dengan libur sekolah dan sebagian anggota Forjim harus memenuhi keinginan keluarganya untuk berlibur, maka kami ngalah. Munas diundur sedikit menjadi awal Januari 2018. Tepatnya pada 5-6 Januari, tempatnya di Wisma PKK Melati, Kebagusan, Jakarta Selatan.
Sebagai Ketua SC, saya menyiapkan Munas I Forjim ini betul-betul layaknya sebagai Munas. Bukan sekadar ngumpul-ngumpul, mengesahkan AD/ART dan lalu menerima begitu saja keputusan-keputusan strategis. Peserta Munas, sekitar 40 orang dari berbagai media (umum dan Islam) dan daerah, juga diberikan bekal materi melalui Dialog Nasional Jurnalis Muslim. Kami hadirkan dalam kesempatan ini mantan Pemred Majalah Sabili Zaenal Muttaqin, mantan wartawan Gatra Ahmad Husen dan Wakil Ketua Dewan Pers Ahmad Djauhar.
Mas Zaenal kami minta bicara tentang sejarah pers Islam, Mas Husen bicara tentang peran jurnalis sebagai agen perubahan sesuai tema besar Munas dan Pak Djauhar membawakan materi membangun kompetensi jurnalis muslim.
Tentang kehadiran Pak Djauhar, bagi kami terasa istimewa. Sebab beliau mengaku, setelah mendapatkan surat permohonan narasumber dari Forjim, sejumlah koleganya di Dewan Pers menyarankan supaya tidak menghadiri undangan ini. DP, kata Pak Djauhar, mem-blacklist sebuah organisasi jurnalis yang mereka dengar pernah mewacanakan adanya DP tandingan. "Ah, mereka (Forjim, red) berani mengundang Dewan Pers berarti mereka orang-orang yang terbuka," kata Pak Djauhar pada kawan-kawannya.
Sebelum Dialog Nasional, kami juga menghadirkan Usamah Hisyam sebagai keynote speaker. Bos Obsession Media Group (OMG) yang juga Ketua Umum Pengurus Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) ini di awal reformasi adalah anggota Fraksi PPP DPR yang terlibat dalam pembahasan RUU Pers yang menjadi UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Di luar rangkaian acara resmi, yang dalam pembukaan juga dihadiri sejumlah kolega dan partner di lapangan, ucapan selamat kepada Forjim juga disampaikan melalui video. Di antaranya mubaligh kondang Dr Zakir Naik, Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat KH Cholil Nafis, Pimpinan Perguruan Islam As-Syafiiyah KH Abdul Rasyid AS, dan Plt Ketua DPR Fadli Zon. Ucapan tertulis melalui WhatsApp disampaikan Pimpinan Majelis Az-Zikra Ustaz Muhammad Arifin Ilham.
*
Anggota Forjim sejauh ini sangatlah majemuk. Bukan hanya dari media Islam, tetapi juga dari media-media umum. Dengan beragam latar belakang dan afiliasi ormas. Karena itu, jalannya persidangan-persidangan Munas juga terasa dinamis. Berbagai pemikiran konstruktif dihadirkan demi membangun Forjim sebagai organisasi yang modern. Ada perdebatan-perdebatan kecil, tetapi segera bisa ditemukan titik temu.
Pembahasan AD/ART yang kurang lebih 13 halaman pun bisa selesai tepat waktu. Pembahasan kode etik yang menjadi amanah AD/ART juga bisa diselesaikan, meskipun menyisakan PR bagi Majelis Etik untuk menyempurnakannya.
Sebagaimana Munas-munas pada umumnya, Munas I Forjim juga melahirkan sejumlah rekomendasi. Ada rekomendasi internal dan eksternal. Khusus rekomendasi eksternal, ini yang menarik, Munas I Forjim menyapakati bahwa gaji layak untuk Jurnalis (Muslim) pemula di Jakarta tahun 2018 adalah senilai Rp6,9 juta. Perhitungannya, berdasarkan survei kelayakan hidup bagi jurnalis yang hidup di tengah kota Jakarta.
Angka Rp6,9 juta sejatinya masih kecil. Sebab Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk tahun 2017 saja sudah merilis gaji layak jurnalis sebesar Rp7,5 juta. Pertimbangannya, jurnalis tidak bisa disamakan dengan "buruh" pada umumnya. Jurnalis adalah profesi yang membutuhkan keahlian tertentu dan alat-alat penunjang khusus. Tentu saja, dengan standar gaji sebesar itu, jurnalis harus memenuhi standar-standar kompetensi dan target perusahaan media tempat ia bekerja.
Rekomendasi lainnya, Forjim menolak segala bentuk pemblokiran terhadap media Islam, menolak kriminalisasi tokoh dan ulama, mengusahakan terjalinnya kerja sama media Islam dan jurnalis Musim dengan lembaga-lembaga Islam, serta menyerukan umat Islam untuk merebut kepemimpinan dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Musyawarah Mufakat untuk Ketum
Hal yang menarik dari perhelatan Munas I Forjim adalah pemilihan Ketua Umum untuk periode tiga tahun ke depan. Dalam Tata Tertib Munas dan AD/ART disepakati bahwa Munas hanya akan memilih Ketua Umum saja. Selanjutnya Ketum terpilih dipersilahkan untuk memilih Sekum, Bendum dan para Ketua Bidang.
Teknik pengambilan keputusan disepakati, pertama dilakukan secara musyawarah mufakat. Kedua, jika tidak tercapai permufakatan maka dilakukan pengambilan suara terbanyak.
Sejak awal Munas, nama-nama anggota Forjim yang digadang menjadi calon Ketum sudah mengemuka. Bahkan The Forjim Institute -lembaga think tank- pun sempat melakukan survey. Hasilnya, ada lima nama anggota Forjim yang dinilai layak menjadi Ketum.
Kebetulan, saya adalah Ketua Sidang Pleo pemilihan ketua umum. Karena kita tahu, tidak bakal ada yang mau "dengan sadar" mencalonkan diri sendiri untuk jadi Ketum, maka saya sampaikan kepada para peserta Munas bahwa berdasarkan hasil survei ada sejumlah nama yang dinilai layak menjadi Ketum, saya sebut satu per satu namanya. Tetapi ini sekadar hasil survei, yang tidak mengikat dan tidak mempengaruhi suara peserta sidang.
Karena Munas ini adalah yang pertama, disepakati pula jika semua anggota Forjim yang hadir dalam Munas berhak untuk dipilih dan memilih. Tak ada syarat khusus, Semua berhak mencalonkan dan dicalonkan. Tersebutlah enam nama yang ditunjuk peserta sidang: Bilal Muhammad (Voa Islam), Edy Susanto (Panjimas), Nuim Hidayat (Warta Pilihan), Shodiq Ramadhan (Suara Islam), Ibnu Syafaat (Voa Islam), dan Dudy Sya'bani (Ahad).
Saya sendiri sedari awal sudah menyatakan tidak maju, baik sebagai Ketum maupun Sekum. Karena itu saya mundur dari pencalonan. Dua nama lagi, Mas Nuim dan Mas Syafaat juga menyatakan mundur. Tinggallah tiga calon yang maju. Ketiganya lalu diminta secara singkat mengenalkan diri dan menyampaikan gagasan besarnya untuk Forjim.
Sesuai Tatib Sidang, keputusan dengan dua cara: musyawarah mufakat dan suara terbanyak. Maka untuk kelancaran sidang, kertas suara pun saya minta dibagikan. Papan penghitungan juga disiapkan.
Lalu saya tanyakan kepada peserta, bagaimana teknis terbaik untuk pengambilan keputusan agar bisa dilakukan musyawarah mufakat terlebih dahulu. Salah seorang peserta mengusulkan, agar tiga calon tersebut keluar dari ruangan, lalu kami bermusyawarah menyampaikan pandangan satu persatu. Sidang pleno kali ini diikuti 27 peserta. Singkat cerita, peserta musyawarah menyepakati Dudy Sya'bani Takdir sebagai Ketua Umum Forjim.
Plong rasanya, lega, syukur alhamdulillah, saya bisa mengantarkan dan turut menyiapkan Forjim menjadi organisasi yang akan dijalankan dengan prinsip: independen, transparan, akuntabel, ta’awun, amar ma’ruf nahi munkar dan fastabikhul khairat. Selamat untuk Dudy dan pengurus baru Forjim 2018-2021, selamat bekerja!. (voa-islam)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!