Kamis, 17 Jumadil Akhir 1446 H / 11 Mei 2017 11:01 wib
6.276 views
Hima Persis: Pembubaran HTI Politis
JAKARTA (voa-islam.com)--Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (HIMA PERSIS) menyayangkan tindakan pemerintah yang membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) secara sepihak.
"Sikap pemerintah yang secara resmi membubarkan HTI adalah sikap yang disesalkan, seolah hidup di zaman orde baru yang dikooptasi oleh kepentingan Pemerintah belaka," kata Ketua Umum PP Hima Persis, Nizar Ahmad Saputra dalam keterangannya kepada Voa Islam, Selasa (9/5/2017).
Menurut Nizar, Pemerintah seharusnya tidak gegabah dengan lebih dulu menempuh langkah persuasif. Kemudian baru menempuh langkah hukum untuk membubarkannya.
"Sehingga pernyataan ini sangat tidak berlandaskan hukum dan juga terkesan tidak edukatif dan tidak demokratis dalam memberikan ruang kebebasan terhadap masyarakat," ujarnya.
Nizar mepertanyakan, seandainya HTI dianggap sebagai anti-Pancasila, anti NKRI, dan bertentangan dengan UUD 45, mengapa pemerintah baru membubarkan HTI sekarang? Padahal dakwah dan ideologi mereka sudah sejak lama hidup di negeri ini?
"Untuk itu, HIMA Persis memandang bahwa pembubaran ini sangat bernilai politis, khususnya terhadap kasus Ahok yang sedang menjadi perhatian masyarakat," tuturnya.
Nizar berpendapat bahwa HTI adalah ormas yang berbadan hukum bukan illegal. Sehingga pembubaran HTI ini belum final. Berdasarkan Pasal 59 dan 69 UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Ormas dilarang melakukan berbagai kegiatan yang antara lain menyebarkan rasa permusuhan yg bersifat SARA, melakukan kegiatan separatis, mengumpulkan dana untuk parpol dan menyebarkan faham yang bertentangan dengan Pancasila.
"Atas dasar alasan inilah, maka HTI yang berbadan hukum baru dapat dicabut status badan hukum dan status terdaftarnya, atau sama artinya dengan dibubarkannya ormas tersebut,"ungkapnya.
Kata Nizar, sikap pemerintah Jokowi-JK yang begitu terang benderang mendahulukam kekuasaan sebelum baru hukum. Hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi masa depan negara.
"Indonesia adalah rechtsstaat (negara hukum), bukan machstaat (negara kekuasaan). Karenanya, Hukum harus dijadikan Panglima tertinggi," tegasnya.
Untuk itu, ia mendesak pemerintah untuk membuka ruang dialog terbuka kepada elemen bangsa yang dipandang tidak sejalan dengan falsafah negara Indonesia. * Bilal/Syaf/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!