Jum'at, 28 Rabiul Akhir 1446 H / 10 Januari 2014 11:45 wib
11.652 views
Diskusi Kramat 45: Muslim Myanmar Jadi Tumbal Pertarungan AS-China
Forum Diskusi Kramat 45: Muslim Myanmar Jadi Tumbal Pertarungan AS-China
‘’Bukan hanya Rohingya, tapi Muslim Myanmar semua etnis kini jadi korban,’’ ungkap Heri Aryanto tentang derita warga Muslim Myanmar. ‘’Jadi pangkal persoalan pengungsi Muslim Myanmar ini adalah kebijakan pemerintah negara itu sendiri,’’ lanjut Direktur Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya Arakan (Piara) itu.
Heri mengemukakan hal tersebut dalam diskusi tentang nasib pengungsi Myanmar di Gedung Dewan Dakwah Jakarta Pusat, Rabu, 8 Januari 2013.
Diskusi juga dihadiri Presiden Seahum (South East Asia Humanitarian) Agung Notowiguno, Ketua Forum Umat Islam (FUI) Sumatera Utara Sudirman Timsar Zubil, Sekretaris Forum Mantan Aktivis Lembaga Dakwah Kampus Jabodetabek Nurbowo, sejumlah pengurus Pusat Advokasi Hukum dan HAM (Paham), PKPU (Pos Kemanusiaan Peduli Umat), dan Lembaga Amil Zakat, Infak, Sedekah (LAZIS) Dewan Dakwah.
Bertindak sebagai tuan rumah adalah Ustadz Ade Salamun, Direktur Eksekutif LAZIS Dewan Dakwah.
Seperti dilansir kantor berita AFP (22/4/2013), Human Rights Watch menilai Pemerintah Myanmar (dulu Burma) melancarkan "kampanye pemusnahan etnis" terhadap warga muslim Rohingya. Organisasi HAM yang berbasis di New York, Amerika Serikat, itu mengemukakan bukti berupa temuan banyaknya kuburan massal warga Rohingya dan warga Muslim yang kehilangan tempat tinggal.
Muslim-cleansing di Myanmar berlangsung secara sistematis. Sejak 1982, Undang-undang Kewarganegaraan Myanmar tak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar. ‘’Padahal warga Muslim sudah tinggal di Myanmar sejak berabad-abad silam,’’ tandas Heri. Pemerintah Myanmar menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh atau keturunannya.
Berdasarkan catatan Myanmar Digest, pada 2005, muncul perintah agar bayi Muslim yang lahir di Sittwe, negara bagian Rakhine (Arakan), haram diberi akta kelahiran.
Penguasa militer (junta) Myanmar, yang dikenal sebagai Dewan Restorasi Pemerintahan dan Hukum Negara (State Law and Order Restoration Council atau SLORC), mempertahankan kekuasaanya dengan menciptakan instabilitas negara. Caranya, selalu memicu konflik rasial dan agama. Tujuannya untuk memecah-belah penduduk sehingga junta tetap menguasai ranah politik dan ekonomi.
Pada 1988, SLORC memprovokasi terjadinya pergolakan anti-Muslim di Taunggyi dan Prome. Lalu pada Mei 1996, karya tulis bernada anti-Muslim yang diyakini ditulis oleh SLORC, tersebar di empat kota di negara bagian Shan. Ini mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap kaum Muslim. Penindasan berlanjut hingga saat ini.
Kaum ekstrimis Buddha juga mengkhawatirkan perkembangan jumlah warga Muslim. Memang, semakin banyak wanita Myanmar yang memilih menjadi mualaf untuk mendapatkan suami Muslim. Sebab, kaum lelaki Myanmar non-Islam pada umumnya tukang mabuk. Sepulang kerja mereka mabuk-mabukan di kedai, lalu pulang ke rumah menyiksa istri dan anaknya.
Tetapi, laki-laki muslim yang menikahi wanita Myanmar, biasanya akan dipukuli warga Buddha. ‘’Bahkan saat ini sedang dibuat UU yang mensyaratkan orang harus memeluk agama Buddha untuk menikahi wanita Myanmar,’’ ungkap Piara dan Seahum berdasarkan hasil investigasi mereka.
Heri menambahkan, sebetulnya perekonomian ibukota Myanmar, Yanggon, dikendalikan saudagar Muslim. Tapi, kini mereka jadi pelarian.
Pada 19 November lalu, PBB menerbitkan resolusi yang mendesak pemerintah Myanmar memberikan status dan hak kewarganegaraan kepada kelompok minoritas Muslim Rohingya.
Resolusi itu juga menyerukan mayoritas Buddha Myanmar untuk mencegah meningkatnya kekerasan terhadap umat Islam, seperti penahanan yang sewenang-wenang, perebutan tanah, pemerkosaan, penyiksaan, dan lain-lain.
Namun, rejim Myanmar menolaknya mentah-mentah. Bahkan mereka menuduh PBB mengusik kedaulatannya dengan resolusi tersebut.
“Kewarganegaraan tidak akan diberikan kepada mereka yang tidak berhak di bawah undang-undang. Tidak peduli siapa pun yang menekan kami. Ini adalah hak kedaulatan kami,” kata juru bicara pemerintah Myanmar, Ye Htut, seperti dilansir World Bulletin (21/11/13).
Pemerintah Myanmar pun tidak takut menghadapi Organisasi Konferensi Islam (OKI). Tatkala Sekjen OKI, Eklemeddin Ihsanoglu, masuk ke Myanmar medio November 2013, ia mendapat sambutan beringas.Ihsanoglu yang memimpin delegasi menteri luar negeri dari 57 anggota OKI, dicegat dengan aksi demo ribuan massa Buddha yang menolak kehadirannya di berbagai daerah di Myanmar.
Mengapa Myanmar punya nyali besar untuk menghadapi tekanan internasional?
Sebab, Myanmar dibekingi oleh ‘’Blok Cina’’ yakni Cina, Rusia, India, Korea Selatan, Thailand, Laos, dan Vietnam serta Singapura. Blok Cina ini berkepentingan mengakses gas bumi di Shwe (emas) Blok A1-Teluk Bengal. Sumur energi alam itu konon diperkirakan mengandung deposit gas hingga 5,6 triliun kubik yang tidak akan habis dieksploitasi hingga 30-an tahun.
Pipanisasi dan pembangunan akses jalan darat untuk ekspoitasi gas bumi itu, melewati kantong-kantong Muslim Myanmar. Maka, junta militer Myanmar berkepentingan untuk mengusir warga Muslim itu.
Kebutuhan arsenal junta militer Myanmar dipenuhi secara royal oleh Cina dan Rusia. Misalnya, pada kurun 1990-an, Cina memasok 100 tank ukuran sedang, 100 light tank, 24 unit pesawat tempur, 250 kendaraan militer, sistem peluncur roket, howitzer, senjata anti pesawat terbang, dan keperluan militer ke Myanmar lainnya.
Empat tahun kemudian, Myanmar memesan lagi kapal perang, helikopter, senjata ringan dan artileri. Hal ini ditambah pengiriman 200 truk militer dan 5 kapal perang baru serta kerjasama program pelatihan militer tahun 2002. Dan tahun 2005, dikirim lagi 400 truk militer untuk melengkapi 1500 truk yang dipesan oleh Myanmar.
Sejak 2001, Departemen Pertahanan dan Departemen Ristek mengirimkan lebih dari 1500 teknisi mengikuti pelatihan di Rusia. Pada tahun 2002, memenuhi pesanan Myanmar 8 unit pesawat MiG-29 B-12 serta pelatih pesawat tempur sewaan senilai US$ 130 juta. Myanmar juga menandatangani program penelitian kapasitas berbasis reaktor nuklir dengan Rusia.
Raksasa Cina, buat Amerika, adalah ancaman serius di Asia Pasifik. Sejumlah dokumen Pentagon menyatakan, persaingan Cina dan AS semakin kuat. Project for The New American Century and Its Implications (PNAC) 2002, memprediksi persaingan AS-Cina akan meruncing pada 2017 serta konfrontasi terbuka mungkin tak bisa dielakkan.
Sedang dokumen National Inteligent Council (NIC) tahun 2004 bertajuk Mapping The Global Future, memuat ramalan David World: “Kebangkitan ekonomi Asia, dengan China dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia”.
Momentum WTC Bombing 11 September 2001, dijadikan AS dan sekutunya untuk meningkatkan militerisasi di Selat Malaka dengan menggandeng angkatan laut India, Australia, Singapura, Jepang, Thailand dan lain-lain. Amerika mengajak mereka latihan perang-perangan, dengan alasan untuk menanggulangi terorisme global.
Setelah menerbitkan resolusi patriasi warga Muslim Rohingya, menurut perkiraan M Arief Pranoto, Research Associate pada Global Future Institute, Amerika kemungkinan akan mendorong PBB menerbitkan Resolusi untuk menghadirkan pasukan asing di Myanmar. Tujuannya, menguasai pipanisasi dan “merebut” kawasan kaya minyak serta gas bumi secara ‘’legal’’melalui PBB. Selain itu, untuk membendung hegemoni Cina dari perairan terutama melalui pelabuhan Sittwe, Teluk Bengal.
Alhasil, Muslim Myanmar tak lebih dijadikan tumbal dalam pertarungan Cina-Amerika memperebutkan sumberdaya alam dan hegemoni.
Walaupun tantangannya berat, para peserta diskusi sepakat bahwa advokasi nasib Muslim Myanmar di level internasional harus terus dilakukan. ‘’Secara lokal, kita juga harus menolong para pengungsi Muslim di Indonesia semaksimal yang bisa kita lakukan,’’ kata Ustadz Timsar Zubil.
Untuk memasifkan sinergi advokasi itu, insya Allah Dewan Dakwah akan menjadi tuan rumah pertemuan lembaga dan ormas Islam berikutnya. [bowo/abdullah/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!