Kamis, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 24 November 2011 03:00 wib
22.322 views
Pesantren Nyaris Dibakar, Kumandang Azan Tak Terdengar di Batakte NTT
Kupang (voa-islam) – Sungguh berat tantangan dakwah di kelurahan Batakte, Kupang Barat, Nusa Tenggara Timur. Di wilayah ini, tempat Pesantren Hidayatullah berdiri, umat Islam yang minoritas harus beradaptasi dengan lingkungan yang banyak dihuni oleh masyarakat Kristen. Di Batakte, adzan dilarang menggunakan speaker. Jika nekad, siap-siap saja akan ada batu melayang ke arah bangunan masjid dan pesantren.
“Kami disini hanya menggunakan toa ke dalam, suara azan tak sampai keluar. Pernah dicoba, tapi berbuah lemparan batu oleh masyarakat yang tinggal di wilayah sekitar sini. Begitu kami azan dengan toa yang hanya bisa didengar oleh jamaah di dalam ruangan masjid, toh aman-aman saja,” ujar Pimpinan Pesantren Hidayatullah Ustadz Usman Mamang saat disambangi voa-Islam ketika melakukan perjalanan Jurnalistik ke Kupang.
Para da’i di Batakte, seperti dikatakan Ustadz Usman, memang harus kuat mental dan banyak bersabar. Diakuinya, para da’i menjadi tak leluasa ketika berdakwah di tengah masyarakat yang mayoritas beragama Kristen. “Ketika para da’i masuk dan melakukan pendekatan dengan mereka yang non-muslim, kami dituduh melakukan Islamisasi. Namun, yang namanya pendakwah, tentu harus siap menghadapi resiko yang akan terjadi. Saat qurban Idul Adha kemarin, kami bagi-bagikan daging kambing kepada warga Kristen di sekitar sini.”
Bagi masyarakat setempat, keberadaan pesantren Hidayatullah di Batakte dianggap ancaman buat mereka. Tak heran, bila pesantren ini sempat digugat keberadaannya di wilayah Batakte. Saat Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di Kupang, ada politikus yang ingin memanfaatkan situasi dengan menggugat Pesantren Hidayatullah.
“Yang jelas, kami sudah urus sertifikasinya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), namun menurut tradisi di sini, meskipun telah memiliki sertifikat, tetap harus ada upacara pelepasan hak dari yang punya tanah,” jelas Usman.
Masyarakat di sini tidak pernah membayangkan, pesantren Hidayatullah kian berkembang dan menjadi besar seperti sekarang ini. Ketika komplek pesantren kian besar, masyarakat Kristen di sini nampak kaget dan sangat terpukul, kok bisa ada pesantren di tengah komunitas mereka yang mayoritas non Muslim.
Begitu juga, jika ada muallaf di Batakte, selalu ada yang merasa heran seraya berkata, “Hebat juga kamu ya jadi orang Islam.” Maknanya, kok bisa menjadi muslim di tengah-tengah komunitas Kristen.
Kekurangan Tenaga Da’I
Dikatakan Usman Mamang, Pesantren Hidayatullah di Kupang didirikan oleh Ustadz Abdullah Azzam --jebolan Intitute Teknologi Surabaya (ITS) -- tahun 1992. Sebelum pesantren ini berdiri di Batakte, rumah kost Azzam di Kota Kupang dijadikan tempat anak-anak belajar TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an). Karena jumlah santri terus meningkat, maka diupayakanlah untuk mencari lahan kosong untuk didirikan institusi pendidikan pesantren. Menariknya, seorang anggota polisi yang tinggal di Kupang memberikan tanah wakafnya di Kecamatan Kupang Barat, Kelurahan Batakte, wilayah dimana Pesantren Hidayatullah akhirnya berdiri.
Pesantren Hidayatullah terdiri dari dua komplek, masing-masing Asrama Putri seluas 6000 meter persegi, dan komplek Asrama Putra seluas 8 hektar (sekitar 1 km dari asrama putri). Saat ini santri yang belajar di pesantren ini datang dari 14 kabupaten yang ada di NTT, diantaranya: Attambua, Flores Timur, Alor, Bejawa, Ende, Rote dan wilayah lain. Banyak mullaf yang belajar Islam di pesantren Hidayatullah.
Bicara tantangan dakwah di Kupang, dikatakan Usman, memang belum sepenuhnya optimal. Namun, untuk di perkotaan sudah banyak da’I yang diturunkan. Sedangkan di pelosok, ada banyak muslim, namun kurang pembinaan.
Pernah terjadi, di pedalaman SoE, saat bulan puasa, seorang bapak dari rumahnya datang memasuki masjid untuk shalat tanpa berwudhu terlebih dulu. Ketika ditanya, kenapa bapak tidak wudhu dahulu? Lalu dijawabnya, saya tidak tahu cara berwudhu. Kemudian diajarilah bapak itu oleh ustadz dari Hidayatullah bagaimana cara berwudhu sebelum melakukan shalat.
“Kami juga menjumpai seorang warga muslim yang masih saja memelihara babi. Ketika ditanya, kenapa bapak sebagai muslim masih memelihara babi? Lalu dengan entengnya menjawab, bukankah yang diharamkan hanya memakan babi, bukan memeliharanya. Seperti itulah kondisi masyarakat Muslim di pedalaman Kupang yang kurang dengan pembinaan,” cerita Usman.
Suatu ketika, ada raja (kepala suku) non muslim, ketika makan daging babi, badannya menjadi gatal-gatal. Lalu disuruhlah salah seorang kaumnya untuk ke kota, agama apa yang mengharamkan daging babi? Lalu didapatlah jawabannya, yakni Islam. Sejak itulah, kepala suku masuk Islam dengan mengucapkan kalimah syahadat.
Tak lama kemudian, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kupang memberi kesempatan kepala suku yang bernama Gunawan Isoe itu naik haji ke Tanah Suci. Sepulang dari haji, ia syahadatkan seluruh kaumnya di pedalaman Kampung SoE, sekitar dua jam dari Kupang. Dari beberapa kampung, ada sekitar 15.000 jiwa yang disyahadatkan. Sang Raja yang juga menjabat sebagai Camat setempat, kemudian dipecat oleh Bupati yang memimpin di wilayah tersebut, dikarenakan sang raja telah memeluk Islam.
Kurangnya pembinaan dakwah memang dirasakan di NTT, khususnya Kupang dan sekitarnya. Di sebuah kampung, ada sebuah masjid yang dibangun secara permanen. Di tempat masjid itu berada, terdapat 150 KK yang beragama Islam. Namun ironisnya, masjid itu tidak terlihat lagi, jamaah yang shalat Jum’at. Ketika ditanya kenapa begitu? Mereka beralasan, karena tidak ada khatibnya, akhirnya mereka shalat Dzuhur masing-masing.
“Dulu, kami sering ke kampung itu. Bahkan, kami sempat mengirim alumni aliyah Pesantren Hidayatullah untuk memberi pembinaan kepada masyarakat sekitar. Sejak itu, mulai hidup shalat secara berjamaah, juga pelaksanaan shalat Jum’at plus khutbahnya. Begitu santri kembali pulang ke kampung halamannya, Jumat berikutnya tak ada lagi jamaah yang datang untuk melaksanakan shalat Jum’at. Ironis memang,” ungkap Usman.
Diakui Usman, kami memang kekurangan tenaga da’i. Dari sisi pendanaan, sebetulnya sudah ada donator yang akan memberi sokongan materi, namun hingga saat ini belum ada tenaga yang akan dikirim. Hidayatullah sendiri sudah melakukan upaya dan kerjasama dengan beberapa ormas Islam, seperti DDII dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Kupang untuk pengkaderan dai.
“Satu hal, harus ada penguatan untuk para dai yang akan diterjunkan. Kadang, setelah sampai di sana, ada tawaran duniawi yang lebih menggiurkan. Dan nyatanya, tak sedikit yang memilih tawaran itu. Mereka cemas dengan masa depannya,” tukas Usman yang sudah empat tahun memimpin Hidayatullah. Sebelumnya ia ditugaskan ke Aceh, saat tsunami menerjang Kota Rencong itu.
Imbas Kerusuhan Kupang 1998
Pada saat Tragedi Kupang tahun 1998, Batakte termasuk wilayah yang disatroni para perusuh. Bayangkan, jalan menuju pesantren, telah diblokade oleh kelompok salibis. Yang boleh melalui jalan itu harus bisa menyanyikan lagu Yesus atau gereja. Akibatnya, dengan sangat terpaksa, rekan-rekan Hidayatullah harus berpura-pura menyanyikan lagu Kristen tersebut.
Tidak hanya itu, pesantren Hidayatullah nyaris saja dibakar oleh kelompok massa Kristen yang ketika itu diangkut dengan menggunakan dua truk dan menggunakan ikat kepala berwarna merah. Untung saja, Allah masih menjaga dan melindungi saudara muslim di Batakte.
“Teman-teman kami di Kota Kupang mengira, pesantren ini sudah habis dibakar. Mengingat di Kota Kupang, banyak masjid, toko dan pemukiman muslim yang dilempari batu dan dibakar. Pernah, selama sebulan, setiap kali shalat Jumat, masjid yang berada di komplek pesantren ini mendapatkan penjagaan aparat. Termasuk saat melakukan shalat Idul Fitri maupun Idul Adha.”
Yang pasti, kerusuhan Kupang 1998 telah merepotkan umat Islam di Batakte. Bayangkan, dalam suasana mencekam dan tak punya pasokan makanan, teman-teman di Hidayatullah harus membagi sebutir telur kepada delapan orang untuk makan.
Peristiwa Temanggung dan Ambon, juga berimbas ke Batakte. Ada isu yang disebarkan lewat SMS, bahwa akan ada kerusuhan besar di Kupang, menyerupai Tragedi Kupang 1998. Saat itu, ada masyarakat muslim Bugis di Kupang yang siap berjihad sampai mati, jika Batakte menjadi sasaran perusuh. “Hingga saat ini kami sering kontak Ketua MUI Kupang untuk mendapatkan informasi terkini.
Satu hal yang membanggakan, kini bangunan masjid semakin bertambah mengalahkan jumlah gereja yang ada di Kupang dan sekitarnya. Hal itu bisa dirasakan, ketika kumandang azan mulai bersahut-sahutan di beberapa wilayah di Kupang. Inikah yang menggentarkan kaum Salibis, sampai-sampai melarang adzan di Batakte dengan menggunakan loud speaker.
Bahkan, jumlah pemilih muslim di Kupang saat Pilkada sudah mencapai 80.000 suara. Jika mau, bisa saja Pemimpin daerah di Kota Kupang akan tampil dari kalangan Muslim. Jika keinginan itu diwujudkan, kaum Salibis di Kupang, sudah pasti akan lebih paranoid lagi. (Desastian).
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!