Kamis, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 14 November 2024 13:49 wib
4.762 views
Susu Berton-ton Terbuang, Pemerintah Masih Abaikan Peternak Lokal
Oleh: Aily Natasya
Viral di sosial media peternak sapi perah di Boyolali membuang 30-50 ribu liter susu yang bernilai Rp. 400 juta. Padahal porsi sebanyak itu sangat tepat untuk program makan bergizi gratis yang dikampanyekan oleh pak presiden Prabowo dan wakil presidennya, Gibran Rakabumingraka. Porsi yang dibuang tersebut dapat dikonsumsi oleh setidaknya 100 ribu anak.
Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa para peternak dan pengepul susu membagi-bagikan susu dan membuang-buang susu yang berharga tersebut?
Yang pertama, mandi susu dalam aksi solidaritas tersebut merupakan bentuk protes masyarakat terhadapat pemerintah yang acuh terhadap peternak lokal. IPS (Industri Pengolahan Susu), tiba-tiba mengurangi penerima pasokan susu dengan alasan adanya perawatan pabrik, konsumen menurun, dan perbaikan standar kualitas.
Yang kedua, ada sekitar 30.000 liter yang tidak mampu diserap oleh pabrik setiap harinya. Sedangkan susu tidak bisa tahan lama. Jadi harus dibuang.
Kenapa bisa kelebihan susu sedangkan pemerintah memiliki program makan bergizi yang menu utamanya adalah susu sebagai komponen paling penting dalam program ini? Mengapa pemerintah tak kunjung bergerak mengatasi kelebihan pasokan susu ini? Apakah karena produksi impor dari susu sudah terlalu banyak?
Walau misalnya kita masih butuh keberadaan susu luar negeri demi menutupi kebutuhan susu secara nasional, namun bukankah pemerintah seharusnya mendukung dan memberikan perhatian lebih terhadap para peternak lokal di tengah gempuran suplai susu dari luar negeri? Jika terus begini, maka pangsa pasar susu lokal akan makin merosot dan pemasukan para peternak pun akan berkurang.
Fakta bahwa Indonesia masih bergantung pada impor di saat peternak lokal mengalami penurunan permintaan menimbulkan banyak pertanyaan yanng belum terjawab. Padahal sebelumnya, pemerintah sempat menegaskan bahwa Indonesia akan membangun industri susu sendiri demi meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri, sehingga swasembada susu dapat dicapai oleh Indonesia. Bahkan penegasan tersebut mendapat dukungan dari Presiden Prabowo Subianto sebagai bagian dari program kemandirian pangan nasional.
Bukan hal baru bagi rakyat mengetahui Indonesia masih mengimpor bahan-bahan yang sebenarnya di Indonesia sendiri berlimpah ruah stoknya. Susu bukan bahan pertama yang dibuat begini. Ada Beras salah satu contohnya. Padahal Indonesia merupakan negara agraris, namun harus tetap impor dengan alasan demi memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Padahal, alih-alih impor, jika Indonesia serius dalam memberikan perhatian lebih dan mengalokasikan dananya kepada petani dan peternak lokal, maka kebutuhan-kebutuhan pokok tersebut akan terpenuhi tanpa harus impor. Meski ada tantangan dalam meningkatkan produksi, namun sekali lagi, jika benar-benar niat dan diberi perhatian khusus, maka jangankan swasembada susu, kita bahkan bisa mencapai swasembada seluruh pangan.
Jika kita amati, antara pernyataan pemerintah dan juga kenyataan yang terjadi, kita seolah-olah dibuat bingung soal mana yang benar dan mana yang tidak. Pemerintah menegaskan bahwa mereka tidak akan impor lagi, namun kenyataan di lapangan tidaklah demikian. Bahkan ketika aksi protes tersebut berlangsung, tidak ada satu pun tanggapan dari pemerintah pusat, khususnya bagi pemilik program bersuara.
Seperti biasa, pejabat-pejabat dalam sistem demokasi yang berjanji hanya demi mendapatkan suara. Ketika suara tersebut sudah didapatkan, dibiarkan saja tanpa tindakan apa pun untuk memenuhinya. Lagi-lagi rakyat hanya diberi narasi tanpa aksi. Ini masih perkara susu, belum lagi yang lainnya. Negara sudah keterlaluan dalam mengabaikan aspirasi rakyat demi kepentingan oligarki dan kapitalisme yang terus menjalar menggerogoti sistem-sistem kenengaraan. Lagi-lagi, rakyatlah yang paling menjadi korban.
Padahal baru ganti presiden, namun sepertinya nasib rakyat akan terus sama, dan bahkan lebih merana. Ini sangat membuktikan betapa kita tidak butuh presiden baru. Tapi sistem yang baru. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!