Kamis, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 14 Oktober 2021 19:44 wib
6.567 views
Childfree, Yakin Suka – Suka?
Oleh:
Zhivna Afniza || Mahasiswi STKIP PGRI Sidoarjo
AKHIR-AKHIR ini perbincangan tentang childfree jadi topic hangat di kalangan wanita yang menimbulkan berbagai spekulasi. Ada yang menganggap ini sebagai hak asasi yang harus di hargai tapi ada juga yang menentang karena satu alasan. Sebelumnya perlu kita pahami dulu apa itu childfree? Konsepnya seperti apa sih? Bagaimana awalnya sampai hal ini bisa muncul? Dampaknya seperti apa dan bagaimana seharusnya kita bersikap sebagai seorang muslimah?
Childfree ini adalah istilah bagi mereka yang sudah menikah tapi memilih untuk tidak memiliki anak. Tentu ini beda dengan childless, yang mana childless lebih ke kondisi dimana seseorang tidak memiliki anak karena suatu keadaan fisikal atau biologis. Misal rahimnya sudah diangkat, mandul, vaginimus, dan lain sebagainya. Sedangkan childfree ini pilihan. Mereka mampu untuk melahirkan keturunan, secara fisik dan biologis aman, tapi mereka memilih untuk tidak memiliki keturunan.
Sebenarnya ini bukanlah hal baru, bahkan sudah menjadi hal lumrah di beberapa Negara. Bahkan dikutip dari laporan National Survey of family Growth, di Amerika Serikat tak kurang dari 15% wanita dan 24% pria memutuskan untuk tidak memiliki anak. Sehingga jika berbicara konsep sebenarnya kita tidak bisa mengklaim soal benar salah, karena itu kembali ke masing-masing individu. Hanya saja hal ini masih belum lumrah di kalangan masyarakat timur terutama di Indonesia yang kuat akan nilai norma dan budaya. Meski nilai hak asasi manusia dijunjung tinggi, tapi soal yang satu ini masih kerap menimbulkan kontroversi.
Istilah ini pertama kali muncul di abad ke 20 yang dicetuskan oleh St. Augustine seorang filsuf dan teolog Kristen. Sebagai penganut kepercayaan Maniisme, ia percaya bahwa membuat anak adalah sikap yang tidak bermoral. Sehingga untuk mencegahnya mereka menggunakan alat kontrasepsi dengan sistem kalender saat akan berhubungan seksual. Seorang professor sejarah di Universitas Xavier sekaligus penulis buku How to Be Childless : A History and Philosophy of Life Without Children, Rachel Xavier juga menjelaskan bahwa pada awal tahun 1500 an wanita di wilayah barat laut Eropa mulai menunda pernikahan. Alasan utamanya karena kemandirian dan tidak ingin bergantung. Sehingga pergeseran ini juga lah yang membuat banyak perempuan lebih memilih tidak menikah atau bahkan tidak memiliki anak. Mereka percaya bahwa dengan tidak terbenani ikatan pernikahan ataupun tanggungjawab anak, mereka bisa bekerja dan memperjuangkan kesetaraan. Hal ini juga tak lepas dari peristiwa perang, kebijakan pengendalian kelahiran, tuntutan ekonomi, traumatic, dan lain sebagainya.
Dikutip dari laman cancer.org langkah ini juga cukup rentan bagi wanita untuk terkena kanker Rahim dan kanker payudara. Hal ini dikarenakan saat hamil dan menyusui ada perubahan hormonal yang bisa menekan resiko penyakit ini. Selain itu menurut penelitian, wanita tanpa anak juga beresiko memiliki kualitas kesehatan yang lebih buruk sehingga bisa meningkatkan angka resiko kematian dini.
Lantas bagaimana sebagai seorang muslimah seharusnya kita bersikap?
Bukankah Childfree juga bisa membuat kita lebih leluasa berbakti kepada suami, membantu mereka meningkatkan kesejahteraan rumah tangga sehingga bisa dibagi juga ke orang tua? Bukankah langkah ini juga bisa membawa kita terbebas dari tanggungan dosa dari apa yang anak lakukan? Bukankah langkah ini juga bisa mencegah kita dari dosa memikul amanah selama proses mendidik, membesarkan, hingga menafkahi anak?
Harus kita ingat kembali, Allah SWT telah menciptakan kita berpasang-pasangan. Bahkan dalam QS Al A’raf ayat 86 disebutkan “Dan ingatkan di waktu dahulu kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu”. Dari ayat ini saja harusnya kita sudah tersindir, bagaimana bisa kita menyaingi kehendak yang sudah Allah tetapkan sebagai fitrah. Jika hal ekonomi menjadi alasan, maka Allah pertegas kembali dalam QS Al Isra ayat 31 “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu”.
Disinilah Allah menjamin bahwa sebanyak apapun anak yang lahir, tidak mungkin mereka tidak memiliki rezeki. Pasti Ia akan bukakan jalan terbaik bagi kita agar dapat memberikan nafkah terbaik pula bagi sang anak. Jika kita berpegang dengan asas menjaga romantisme dan taat pada suami, ingat juga dalam Hadist Riwayat Ibnu Hibban bahwa Rasulullah SAW pernah berkata “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan kalian di hadapan para nabi pada hari kiamat”.
Jika alasan kita terlalu overthinking saat proses mendidik, justru inilah tantangan yang menjadi pemicu untuk selalu meningkatkan kualitas diri. Justru ini yang menjadi pemicu kita untuk terus belajar dan berproses untuk bisa menjadi jauh lebih baik dan menjadikan anak kita pribadi yang sholih shalihah sehingga kelak saat meninggal, ada doa jariyyah yang bisa menjadi syafaat kelak di hari akhir. Maa syaa Allah.
Ini memang pilihan, terlalu banyak godaan duniawi yang membuat kita akhirnya gamang untuk melangkah. Terlalu banyak kekhawatiran seolah rasa percaya terhadap Sang Rabb mampu dikalahkan oleh kemampuan seorang hamba. Padahal kenyataannya tidak demikian, Bahkan Allah sudah menjamin dan menjanjikan banyak hal. Tinggal kita sebagai makhluk, mau berusaha sekeras apa untuk meraih seluruh kebaikan yang sudah dijanjikan olehNya. Pantaskah kita sebagai hamba meragukan apa yang sudah dijanjikan oleh pemilik kehidupan? Wallahu a’lam bis shawab.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!