Jum'at, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 25 Juni 2021 14:14 wib
4.253 views
Menyoal Draf RKUHP: Sudah Gelandangan, Tertimpa Denda
Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S
(Penulis Buku dan Aktivis Muslimah)
Di berbagai wilayah di Indonesia, tentu kita sudah tak asing lagi dengan pemandangan para gelandangan yang berlalu lalang di sudut-sudut kota. Ya, kaum tuna wisma tersebut memang jumlahnya kian meningkat, seiring dengan semakin terpuruknya perekonomian rakyat. Mereka terpaksa hidup di jalanan dan mencari penghidupan dengan mengamen, memulung, atau jika terdesak ada yang melakukan tindakan kriminal seperti memalak, mencuri, menjambret, dan lain sebagainya.
Menurut catatan Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta, hingga Januari 2021 terdapat sekitar 4.622 orang berstatus penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Dari jumlah tersebut, orang berstatus gelandangan menempati posisi teratas dengan jumlah 1.044 orang. Sementara itu, populasi gelandangan dan pengemis di seluruh Indonesia mencapai 77.000 jiwa.
Demi mengatasi hal tersebut, pemerintah pun akhirnya menggodok draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), di antaranya ada pembahasan mengenai gelandangan. Seperti pada pasal 431, dinyatakan bahwa gelandangan akan terkena denda maksimal Rp1 juta.
Ternyata RKUHP tersebut bukanlah ancaman sanksi yang pertama muncul bagi para gelandangan. Sebelumnya, beberapa Perda pun sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat, misalnya Jakarta sudah menetapkan sanksi atas gelandangan, yakni denda sebesar maksimal Rp20 juta dan penjara 6 bulan. Begitupun dengan Makassar.
Padahal Indonesia adalah negara kaya akan sumber daya alam, gemah ripah loh jinawi. Di dalam perut buminya terkandung potensi SDA yang besar, seperti minyak bumi, gas alam, batu bara, emas, perak, nikel, dan lain-lain. Belum lagi potensi laut dan hutannya. Semua itu semestinya cukup mampu menyejahterakan rakyat di bumi pertiwi ini. Namun nyatanya tidak, justru rakyat melarat di negerinya sendiri.
Betapa tidak, hampir seluruh SDA yang ada dikuasai oleh asing dengan legislasi UU Privatisasi. Akhirnya rakyat pun tak bisa mencicipi hasilnya, melainkan remah-remahnya saja. Beginilah ironi hidup di sistem kapitalisme. Para kapitalislah pemilik panggung perekonomian, sementara rakyat hanya penonton di tribun kesengsaraan.
Belum lagi jeratan utang ribawi yang menyandera kedaulatan negara, membuat negara tak cukup punya taji untuk mandiri. Segala kebijakan disetir oleh negara pemberi utang. Itu sudah hukum alam, lebih-lebih di sistem yang tak mengenal belas kasih, yang ada hanyalah kepentingan dan untung-rugi.
Kapitalisme-Demokrasi Lahirkan Kemiskinan Massal
Akhirnya rakyat yang merasakan pil pahit kehidupan. Ekonomi kian menghimpit, sementara harga kebutuhan kian tak tergapai. Jangankan memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier, kebutuhan primer seperti makan, pakaian, tempat tinggal saja butuh perjuangan setengah mati. Maka, fenomena gelandangan menjadi hal yang terus membayangi negeri ini. Mereka terpaksa harus akrab dengan debu jalanan, asap knalpot, terik matahari, dan dinginnya hujan demi tetap menyambung nyawa.
Mirisnya, justru mereka dibayangi ancaman denda jutaan bahkan kurungan penjara. Sudah sengsara, tertimpa denda pula. Miris! Tentu hal tersebut tak boleh diimplentasikan. Bukannya menjadi solusi justru malah akan menambah masalah baru.
Memang tak dipungkiri, ada gelandangan abal-abal, yakni mereka yang kesehariannya 'bekerja' di jalanan, namun kenyataannya mereka memiliki harta kekayaan dan tempat tinggal yang laik. Jelas itu kasuistik, tak bisa dipukul rata. Karena banyak juga yang memang mereka asli gelandangan, tak punya tempat tinggal dan pekerjaan tetap.
Oleh karena itu, semestinya pemerintah mengevaluasi diri, mencari akar persoalan atas hal tersebut. Para gelandangan abal-abal mungkin saja sulit mendapatkan pekerjaan, sehingga mereka memilih cara instan demi mendapatkan penghasilan.
Sikap tersebut tentu tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan penerapan sistem kapitalisme sekuler hari ini. Sebagaimana kita tahu, bahwa rakyat di negeri sendiri sangat sulit mencari pekerjaan, sementara para TKA mendapat karpet merah. Berwirausaha pun tidak bisa karena terganjal ketiadaan modal. Akhirnya, mereka terpaksa menggelandang di jalanan.
Begitulah konsekuensi hidup di sistem kapitalisme-demokrasi. Sistem itulah yang melahirkan berbagai kesengsaraan dan kemiskinan sistemik. Tentu saja hal tersebut tak bisa dibiarkan begitu saja, butuh solusi yang hakiki.
Khilafah Atasi Kemiskinan dengan Sistem Islam
Kemiskinan yang terjadi hari ini bukan semata karena ketiadaan skill individu, melainkan karena bercokolnya sistem kapitalisme sekuler demokrasi. Sistem itulah yang menyumbang kerusakan dalam pengelolaan negara, sehingga melahirkan kemiskinan dan menciptakan gelandangan.
Oleh karena itu, tegaknya khilafah merupakan sebuah kebutuhan mendesak bagi umat hari ini demi terselesaikannya berbagai problematika yang membelit. Islam dan kapitalisme memiliki tolak ukur yang berbeda soal kemiskinan. Jika dalam kapitalisme, sebagaimana standar BPS, seseorang baru terkategori miskin apabila penghasilan bulanannya Rp454.652. Berarti jika seorang individu berpenghasilan di atas itu sedikit saja, ia tidak terkategori miskin. Padahal standar tersebut jelas tak sesuai kenyataannya, mengingat banyaknya kebutuhan hidup harus dipenuhi, belum lagi biaya pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, yang hari ini tak ditanggung oleh negara.
Adapun dalam Islam, tolak ukur kemiskinan adalah ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan primernya. Syekh Taqiyuddin An Nabhani mendefinisikan orang fakir adalah orang yang punya harta (uang), tetapi tak mencukupi kebutuhan pembelanjaannya. Sementara itu, orang miskin adalah orang yang tak punya harta (uang), sekaligus tak punya penghasilan. (Nizhamul Iqtishadi fil Islam, hlm. 236, Darul Ummah-Beirut).
Dalam sejarah penerapan syariat Islam dalam naungan khilafah, pengentasan kemiskinan merupakan salah satu agenda prioritas negara. Berikut ini adalah langkah-langkah yang dilakukan oleh Khilafah dalam mengentaskan kemiskinan:
Pertama, menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat. Caranya, dengan mendorong kaum laki-laki/para kepala keluarga untuk bekerja demi memenuhi nafkah keluarga. Maka, demi hal tersebut negara akan membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi warga negara, khususnya bagi laki-laki. sebab laki-laki berkewajiban atas nafkah bagi keluarga yang berada dalam tanggungannya.
Jika kaum laki-laki/kepala keluarga tidak mampu bekerja disebabkan sakit, cacat, atau meninggal, maka negara akan mendorong kerabat terdekatnya untuk membantu. Namun jika kerabatnya pun tidak bisa, maka negara akan memenuhi kebutuhan keluarga tersebut dengan dana dari Baitul Mal. Kemudian jika dana dari Baitul Mal kosong, maka kaum muslimin secara kolektif wajib memenuhi kebutuhan keluarga tersebut.
Kedua, negara akan mengelola harta kepemilikan sesuai haknya, sebagaimana Islam telah mengaturnya. Islam menerapkan bahwa harta kepemilikan umum, seperti minyak bumi, barang tambang, hutan, sungai, listrik, dan jalan raya wajib dikelola oleh negara dan hasilnya digunakan untuk memenuhi hajat hidup rakyat.
Ketiga, negara akan menjamin pendistribusian harta kekayaan secara merata di tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak akan muncul ketimpangan sosial sebagaimana halnya dalam penerapan sistem kapitalisme hari ini.
Allah Swt berfirman:
".....agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (TQS.Al-Hasyr:7)
Demikianlah cara Islam mengentaskan kemiskinan, efektif dan mengakar. Oleh karena itu, jika ingin mengendalikan populasi gelandangan di negeri ini bahkan menghilangkannya sama sekali, tentu saja harus dengan menciptakan kesejahteraan di tengah masyarakat. Adapun kesejahteraan amat mustahil diraih di sistem culas nan matrealistik hari ini. Hanya dengan tegaknya Khilafahlah kesejahteraan dapat terwujud secara nyata. Wallahu'alam bi shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!