Ahad, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 28 Maret 2021 15:37 wib
3.619 views
Slaughter House?
Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan)
Munarman Pengacara HRS mempertanyakan keganjilan dakwaan JPU yang meminta penghapusan atau pencabutan hak politik atas diri HRS. Meski belum sampai pada tahap penuntutan akan tetapi dakwaan ini berlebihan.
Peradilan sesat, peradilan suka-suka, bahkan peradilan dagelan menjadi pantas disematkan untuk proses pengadilan HRS di PN Jakarta Timur. Soal persidangan "online" dan "offline" saja telah membuat gaduh.
Kasus kerumunan walimahan, pengajian dan test Swab yang didakwakan sebenarnya pidana samar dan tergolong sederhana, akan tetapi diolah menjadi pidana yang terkesan raksasa. Maklum kasus politik. HRS dianggap sebagai musuh negara yang berbahaya. Tank, pesawat tempur, bahkan kapal induk dikerahkan untuk menyerang sorban seorang ulama.
Suara dakwah terdengar bising di telinga pendosa bagai dengung nyamuk, lalat, atau lebah yang membuat panik, marah, jengkel, dan takut. Sambil berlari menepis dengan satu pilihan "pites", "libas" atau matikan. Hal ini menjadi wujud dari radikalisme negara dan intoleransi terhadap keragaman sikap keagamaan.
Nampaknya benar pandangan bahwa ini bukan ruang pengadilan tetapi persidangan untuk penghukuman. Menggorok dengan pisau hukum atas pesakitan yang menjadi lawan politik. Pengadilan yang berubah menjadi slaughter house (rumah jagal). Ada target atau harapan HRS bukan saja dihukum pidana tetapi juga hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak politik.
Pencabutan hak politik baik hak dipilih atau hak untuk menjadi pejabat publik sebagai hukuman tambahan jauh lebih layak bagi para koruptor penggarong uang rakyat serta para penghianat negara yang menjual kedaulatan negara, bukan untuk yang mengadakan acara walimahan, pengajian, atau sekedar test Swab.
Pembantaian pendahuluan telah dilakukan terhadap enam laskar FPI sebagai "road map to the slaughter house". Sebelumnya adalah penurunan baliho oleh pasukan TNI dan "penyerangan" oleh gabungan pasukan khusus dari AL, AU, dan AD (Koopssus) ke markas FPI di Petamburan. Pasca pembunuhan dilanjutkan dengan pembubaran dan pelarangan FPI serta pemblokiran 92 rekening yang kemudian dinilai "unlawful". Saling lempar PPATK dengan Polisi.
Kini proses hukum di "slaughter house" sedang berlangsung. Perlawanan keras HRS mampu mengubah sidang "online" menjadi "offline". Mampukah HRS dengan para pengacaranya lolos dari upaya "slaughtering" ketukan palu di meja hijau atau akhirnya semua berjalan sesuai skenario?
Rakyat sedang menonton dengan serius pertunjukan panggung lelucon yang tidak lucu. Panggung arogansi melawan keadilan.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!