Sabtu, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 6 Maret 2021 09:30 wib
4.425 views
Jimly Asshiddiqy Salah Besar
Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan)
Jimly menyalahkan GPI yang melaporkan Presiden ke Bareskrim Mabes Polri. Pernyataan itu dinilai salah besar. Hal ini disebabkan Presiden bukan orang yang bersih dan dianggap sama sekali tidak mungkin melakukan perbuatan pidana.
Nah saat Presiden melakukan pelanggaran hukum apakah penganiayaan, penipuan, korupsi, maka ia diproses secara pidana bukan tata negara atau administrasi negara.
Jimly secara naif menyatakan bahwa karena Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan maka proses pelanggaran hukum nya harus ke DPR, MK, dan MPR. Jimly lupa bahwa ke mana melaporkan itu tergantung pada pelanggarannya apakah perdata, pidana, tata negara atau tata usaha negara. Jika perdata ke Pengadilan Negeri, untuk pidana ke Kepolisian, tata negara baru ke DPR, MK, dan MPR. Jika Presiden melanggar administrasi ya prosesnya ke PTUN.
Presiden dapat dilaporkan ke Kepolisian untuk memperoleh kepastian hukum dari pelanggaran pidananya. Jika Presiden telah terbukti secara hukum melakukan perbuatan pidana, barulah itu menjadi alasan untuk proses hukum tata negara. DPR, MK, dan MPR mulai bekerja. UUD 1945 mengatur demikian, sebagaimana ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yang berbunyi :
"Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden".
Nah proses DPR, MK dan MPR ternyata dapat didahului oleh proses pidana. Kalimat "terbukti" harus ditetapkan oleh Pengadilan. Baik perbuatan korupsi, penyuapan, dan tindakan pidana berat, itu melalui penyelidikan dan penyidikan di Kepolisian atau Kejaksaan. Untuk korupsi dapat dilakukan pemeriksaan KPK.
Kerumunan sebagai pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan itu merujuk pada penahanan HRS di Bareskrim untuk dugaan tindak pidana yang sama. Karenanya aktivis GPI yang melaporkan dugaan tindak pidana Jokowi ke Bareskrim adalah sangat tepat. Salah dan ngawur jika melaporkan ke DPR, MK, atau MPR sebagaimana saran Jimly.
Pak Jimly memang pakar Hukum Tata Negara, tetapi semestinya tahu akan proses hukum lainnya. Pernyataannya justru memerosotkan kredibilitas sebagai Guru Besar Ilmu Hukum. Gampangnya saja misal seorang presiden melakukan pembunuhan, maka diproses dan diadili di DPR, MK atau MPR ? Tentu tidak. DPR, MK, dan MPR "mengadili" menyangkut pemberhentiannya sebagai Presiden. Begitu Pasal 7A UUD 1945 mengatur.
Jadi Pak Jimly tidak perlu merasa sedih dan meratapi langkah aktivis GPI. Para aktivis GPI lah yang semestinya merasa sedih dengan cara pandang Prof Jimly yang menyedihkan.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!