Jum'at, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 12 Februari 2021 19:38 wib
4.378 views
Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Yes, Transaksi Dinar Dirham No?
Oleh: Desti Ritdamaya
Publik dikejutkan dengan penangkapan Zaim Saidi, oleh penyidik Polri. Beliau adalah inisiator dan pengelola pasar muamalah di Tanah Baru Depok. Dalam pasar tersebut, transaksi perdagangannya menggunakan dinar dirham. Dinar yang dipakai adalah koin emas seberat 4,25 gram emas 22 karat. Dan dirham adalah koin perak 2,975 gram perak murni.
Zaim Saidi dijerat dengan dua pasal. Yaitu pasal 9 UU nomor 1 tahun 1946, tentang larangan membuat benda semacam mata uang atau uang kertas untuk dijadikan alat pembayaran sah. Dan pasal 33 UU nomor 7 tahun 2011 tentang sanksi orang yang menolak pembayaran dengan mata uang rupiah (republika.co.id, 3/02/2021).
Publik mempertanyakan penangkapan Zaim Saidi, karena kontraproduktif dengan keberadaan organisasi ekonomi syari’ah yang dilegalkan pemerintah. Bahkan ketua organisasi tersebut bertabur bintang (pejabat). Seperti Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) yang ketua umumnya Erick Thohir, ketua dan wakil dewan pembinanya Ma’ruf Amin dan Puan Maharani. Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), ketuanya Sri Mulyani. Juga Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) ketuanya adalah Presiden Jokowi dan wakil ketuanya Ma’ruf Amin.
Berbagai organisasi ekonomi syari’ah tersebut memiliki visi misi serupa, sebagaimana tercantum dalam AD/ART-nya. Salah satunya adalah berupaya menerapkan dan mengembangkan ekonomi keuangan berbasis syari’at Islam. Sedangkan, penggunaan dinar dan dirham merupakan bagian dari keuangan syari’ah. Ketika diterapkan dalam transaksi muamalah, lantas mengapa ditangkap ?
Syari’at Islam yang Parsial
Dalam dua dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi keuangan syari’at sangat pesat. Tidak hanya di Indonesia yang mayoritas muslim. Tapi juga di lebih dari 50 negara lain, termasuk yang mayoritas non muslim.
Tahun 2020, sektor keuangan komersial membukukan aset yang luar biasa. Kontribusi total aset pasar modal dan kapitalisasi syari’ah berturut-turut 29 % dan 24 % dari total produk domestik bruto (PDB) nasional. Yaitu sebesar Rp 4.569 triliun dan Rp 3.745 triliun (bareksa.com, 30/11/2020).
Untuk sektor riil, investasi dalam industri halal dari makanan, fashion, farmasi, dan media, telah menghasilkan nominal yang tidak sedikit. Tahun 2017 saja mencapai 218,8 miliar dolar. Investasi ini diperkirakan terus tumbuh dengan rata-rata sebesar 5,3 % per tahunnya. Belum lagi dari ibadah haji dan umrah yang rutin setiap tahun dilakukan (katadata.co.id, 17/04/2020).
Begitu juga sektor keuangan sosial syari’ah. BAZNAS memperkirakan potensi zakat mencapai Rp 217 triliun per tahun. Untuk wakaf tanah mencapai 4,36 miliar meter persegi yang tersebar di 435.768 lokasi. Dan wakaf uang mencapai Rp 2-3 triliun per tahun.
Data ini menunjukkan potensi ekonomi dan keuangan syari’ah sangat tinggi. Karena pangsa pasarnya memang besar dan luas. Animo masyarakat pun sangat tinggi dalam bertransaksi sesuai syari’at. Sehingga pemerintah hari ini memandang ekonomi syari’ah seperti di atas sangat menggiurkan. Sangat ‘bermanfaat’ untuk sumber pendapatan Negara.
Syari’at Islam yang menguntungkan dan menghasilkan pundi uang, diafirmasi dan diberi karpet merah. Tapi sayangnya syari’at Islam lain, yang dianggap merugikan, tidak menghasilkan materi/keuntungan, atau menganggu kepentingan penguasa-pengusaha malah dikriminalisasi. Buktinya kewajiban jilbab di sekolah umum dipersoalkan; pengajuan RUU minuman berakohol dihentikan; pelarangan ucapan selamat hari raya pada non muslim dianggap intoleran; usulan penghentian pengelolaan SDA oleh tangan individu/korporasi dianggap provokasi; penyuaraan syari’at Islam kaffah dalam negara dianggap makar.
Termasuk kasus penggunaan dinar dan dirham, yang dianggap tidak legal di negeri ini karena dianggap merugikan rupiah dan sistem keuangan negara. Padahal keuangan syari’ah mewajibkan dinar dan dirham sebagai mata uang. Dalilnya jelas diambil dari Al Quran dan Hadits. Jadi bertransaksi menggunakan dinar dirham pun karena dorongan keimanan.
Sebenarnya masyarakat sendiri mengeluh tingginya inflasi rupiah. Nilai uangnya selalu terdepresiasi. Sehingga membuat daya beli masyarakat menurun dan menggerus pendapatan. Inflasi rupiah tinggi karena memang uang kertas (fiat money) yang berbasis kepercayaan. Uang ini dicetak, diberi nominal, lalu dilegalkan oleh otoritas moneter negara. Jadi nominal uang kertas tidak didukung oleh nilai yang melekat pada uang itu sendiri (nilai intrinsik). Berbeda dengan dinar dan dirham yang memiliki nilai intrinsik. Nilai uangnya stabil. Ketika dipraktikan dalam transaksi muamalah tidak menyebabkan kerugian finansial.
Negara menerapkan syari’at Islam secara parsial. Menerapkan sebagian yang dianggap menguntungkan, menolak bahkan membuang sebagian yang dianggap merugikan. Ini adalah ciri khas negara sekuler kapitalistik. Standar diterapkan atau tidaknya syari’at Islam adalah materi/kepentingan. Tidak dikaitkan pada ketaatan melaksanakan kewajiban dari Allah SWT dan pertanggungjawaban padaNya. Sungguh miris hal ini terjadi di negeri yang mayoritas muslim. Karena diterapkan parsial, wajar tidak nampak keberkahan syari’at Islam sebagai solusi permasalahan kehidupan.
Penerapan Syari’at Islam Kaffah Tanda Keimanan
Seorang yang mengaku beriman, dalam perkara apun akan berhukum dengan apa yang Allah SWT tetapkan. Baik bersumber dari Kitabullah maupun hadits. Artinya tunduk patuh pada syari’at Islam penuh keridhaan. Tanpa ada sedikit pun rasa berat hati.
Kedudukan syari’at Islam bersifat syamil yang menjelaskan dan mengatur segala perkara. Tidak hanya terkait ibadah ritual, tapi juga makanan, minuman, pakaian, politik, pendidikan, ekonomi, pergaulan, sosial, budaya, sanksi hukum dan sebagainya.
Kewajiban syari’at Islam harus diterapkan secara kaffah (menyeluruh). Tidak hanya oleh individu tapi juga masyarakat dan Negara. Karena ini adalah tuntutan keimanan, sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 208.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Menerapkan syari’at Islam secara parsial, dengan standar materi/kepentingan bukan keimanan. Tapi kemaksiatan pada Allah SWT. Akan berlipat-lipat dosanya, apabila dilakukan oleh Negara. Karena kemaksiatannya sistemik, mempengaruhi masyarakat dan individu. Kemaksiatan yang mendatangkan penderitaan, kesengsaraan, dan bencana bertubi-tubi. Allah SWT berfirman:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ ٱلْكِتَٰبِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْىٌ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلْعَذَابِ ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Artinya: Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat (QS. Al Baqarah ayat 85).
Sudah saatnya negeri ini bertaubat atas sekulerisasi sistemik ini dan menerapkan syari’at Islam secara kaffah dalam kehidupan tanpa memilah-milahnya. Karena sungguh, syariat yang bersumber dari Allah SWT mampu membawa keselamatan dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bish-shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!