Jum'at, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 12 Februari 2021 13:31 wib
4.524 views
Buzzer, Si Cyber Army
Oleh:
Fita Rahmania, S. Keb., Bd.
DI TENGAH hiruk pikuknya lalu lintas media sosial, muncul fenomena bermuatan negatif yang cukup membuat resah masyarakat, yang tenar dengan nama buzzer. Walaupun keberadaannya tak kasat mata karena mereka sering beraksi dengan menggunakan akun fiktif, namun harus diakui mereka benar hidup di media sosial bahkan selama 24 jam penuh.
Dilansir dari tirto.id, Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada tahun 2017 pernah melakukan riset soal sejarah buzzer secara keseluruhan di Indonesia. Pada awalnya, keberadaan buzzer di media sosial masih dianggap sebagai hal yang lumrah dan mereka biasa dilibatkan oleh korporat dalam promosi produk. Namun, maknanya menjadi negatif karena terlibat dalam peristiwa politik sehingga memberikan citra yang tidak bagus di mata khalayak. Sejak saat itu, buzzer mendapat cap negatif sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media sosial.
Menurut CIPG, buzzer adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan, lalu bergerak dengan motif tertentu. Buzzer biasanya punya jaringan luas sehingga mampu menciptakan konten sesuai konteks, cukup persuasif dan digerakkan oleh motif tertentu. Singkatnya, buzzer adalah pelaku buzzing yang bertugas untuk membuat suara-suara bising seperti dengung lebah. Ada dua motif utama yang menggerakkan seseorang atau akun tertentu menjadi buzzer. Pertama, motif komersial yang ditandai dengan aliran dana. Kedua, motif sukarela yang didorong oleh ideologi atau rasa kepuasan tertentu terhadap suatu produk dan jasa.
Baru-baru ini buzzer tengah disorot dalam peringatan Hari Pers Nasional Tahun 2021 yang jatuh pada tanggal 9 Februari 2021. Tak disangka mayoritas insan pers merasa terganggu dengan kehadiran para buzzer ini. Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir juga membenarkan hal itu. Ia menyebut bahwa buzzer menjadi ancaman tebesar pers saat ini. Ia menilai para buzzer mampu memicu konfik dan tidak bertanggungjawab atas masalah yang ditimbulkan. Selain itu, salah satu tokoh masyarakat yang juga mengeluhkan kehadiran buzzer adalah Sudjiwo Tedjo. Budayawan ini berharap para buzzer dapat segera ditertibkan.
Berbagai keresahan memang acapkali dirasakan oleh pers ketika tengah membuat konten tentang kritik terhadap kinerja penguasa. Buzzer kerap melakukan teror kepada siapa saja yang bertentangan dengan kebijakan penguasa. Hal itu terbukti dengan banyaknya konten bernada kritik yang tiba-tiba menghilang (takedown), mendapat serangan komentar negatif, hingga pemilik akun yang dilaporkan kepada pihak berwajib dengan tuduhan hate speech (ujaran kebencian).
Mengerahkan buzzer sebagai pelidung kekuasaan tentu bukan sesuatu yang dapat dibenarkan. Apalagi untuk mengontrol aspirasi rakyatnya. Pemerintah yang banyak dituding sebagai tuan para buzzer pun sudah dengan sigap mengelak. Seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya kepada insan media berkomitmen ingin membuka pintu agar insan pers turut memberikan kritik dan saran kepada pemerintah. Hal itu juga didukung oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyampaikan apresiasinya kepada insan pers yang diyakini telah menjalankan peran penting dalam menjaga demokrasi.
Menurut data yang dikutip dari detik.com tertera bahwa pasukan siber atau buzzer di Indonesia berkapasitas rendah, bekerja secara temporer, kontraknya (multiple contract) berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 50 juta. Buzzer yang 'sekasta' dengan yang ada di Indonesia ada di Australia, Colombia, Ceko, Eritrea, Jerman, Honduras, Hungaria, Italia, Kenya, Makedonia, Moldova, Nigeria, Korea Utara, Polandia, Rwanda, Serbia, Afrika Selatan, Spanyol, dan Zimbabwe.
Lebih lanjut, pasukan siber dari China, Mesir, Iran, Israel, Amerika Serikat, Rusia, Arab Saudi masuk dalam kasta tertinggi. Pasukan siber di China berstatus kerja permanen dan bukan temporer seperti di Indonesia. Tim mereka diperkirakan beranggotakan 300 ribu hingga 2 juta orang yang bekerja di kantor lokal dan regional.
Dengan adanya fenomena buzzer sebagai salah satu cyber army (pasukan siber) tentu tidak bisa diabaikan keberadaanya. Hal ini pula yang menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat di negeri yang mengusung demokrasi adalah keniscayaan belaka. Mereka tetap butuh pelindung untuk tetap menjaga eksistensi dan trust (kepercayaan) masyarakat. Ketakutan akan terbongkarnya borok juga merupakan salah satu alasan menggunakan jasa para buzzer. Dengan demikian, tak semua yang diiming-imingkan dalam negara demokrasi seuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.
Sedangkan di dalam Islam, aktivitas kritik dalam pemerintahan adalah sebuah keharusan. Kritik termasuk ajaran Islam yaitu amar makruf nahi mungkar, sebagaimana yang terdapat dalam Alquran Surah Ali Imran: 110.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.”
Rasulullah Saw. bahkan menyatakan dengan spesifik kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat,
قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ قَالَ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ إِمَامٍ جَائِرٍ
“Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw., seraya bertanya, ‘Jihad apa yang paling utama?’ Rasulullah Saw. menjawab, ‘Kalimat hak (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang zalim.'” (HR Imam Ahmad)
Oleh karena itu, aktivitas mengkritik penguasa dalam negara Islam sudah menjadi budaya. Khalifah Abu Bakar ra., ketika dibaiat menggantikan Rasulullah Saw., berkhutbah meminta rakyat untuk mengkritiknya.
“Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku.” (Abu Bakar ra.).*
Buzzer, Si Cyber Army
Oleh: Fita Rahmania, S. Keb., Bd.
Di tengah hiruk pikuknya lalu lintas media sosial, muncul fenomena bermuatan negatif yang cukup membuat resah masyarakat, yang tenar dengan nama buzzer. Walaupun keberadaannya tak kasat mata karena mereka sering beraksi dengan menggunakan akun fiktif, namun harus diakui mereka benar hidup di media sosial bahkan selama 24 jam penuh.
Dilansir dari tirto.id, Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada tahun 2017 pernah melakukan riset soal sejarah buzzer secara keseluruhan di Indonesia. Pada awalnya, keberadaan buzzer di media sosial masih dianggap sebagai hal yang lumrah dan mereka biasa dilibatkan oleh korporat dalam promosi produk. Namun, maknanya menjadi negatif karena terlibat dalam peristiwa politik sehingga memberikan citra yang tidak bagus di mata khalayak. Sejak saat itu, buzzer mendapat cap negatif sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media sosial.
Menurut CIPG, buzzer adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan, lalu bergerak dengan motif tertentu. Buzzer biasanya punya jaringan luas sehingga mampu menciptakan konten sesuai konteks, cukup persuasif dan digerakkan oleh motif tertentu. Singkatnya, buzzer adalah pelaku buzzing yang bertugas untuk membuat suara-suara bising seperti dengung lebah. Ada dua motif utama yang menggerakkan seseorang atau akun tertentu menjadi buzzer. Pertama, motif komersial yang ditandai dengan aliran dana. Kedua, motif sukarela yang didorong oleh ideologi atau rasa kepuasan tertentu terhadap suatu produk dan jasa.
Baru-baru ini buzzer tengah disorot dalam peringatan Hari Pers Nasional Tahun 2021 yang jatuh pada tanggal 9 Februari 2021. Tak disangka mayoritas insan pers merasa terganggu dengan kehadiran para buzzer ini. Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir juga membenarkan hal itu. Ia menyebut bahwa buzzer menjadi ancaman tebesar pers saat ini. Ia menilai para buzzer mampu memicu konfik dan tidak bertanggungjawab atas masalah yang ditimbulkan. Selain itu, salah satu tokoh masyarakat yang juga mengeluhkan kehadiran buzzer adalah Sudjiwo Tedjo. Budayawan ini berharap para buzzer dapat segera ditertibkan.
Berbagai keresahan memang acapkali dirasakan oleh pers ketika tengah membuat konten tentang kritik terhadap kinerja penguasa. Buzzer kerap melakukan teror kepada siapa saja yang bertentangan dengan kebijakan penguasa. Hal itu terbukti dengan banyaknya konten bernada kritik yang tiba-tiba menghilang (takedown), mendapat serangan komentar negatif, hingga pemilik akun yang dilaporkan kepada pihak berwajib dengan tuduhan hate speech (ujaran kebencian).
Mengerahkan buzzer sebagai pelidung kekuasaan tentu bukan sesuatu yang dapat dibenarkan. Apalagi untuk mengontrol aspirasi rakyatnya. Pemerintah yang banyak dituding sebagai tuan para buzzer pun sudah dengan sigap mengelak. Seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya kepada insan media berkomitmen ingin membuka pintu agar insan pers turut memberikan kritik dan saran kepada pemerintah. Hal itu juga didukung oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyampaikan apresiasinya kepada insan pers yang diyakini telah menjalankan peran penting dalam menjaga demokrasi.
Menurut data yang dikutip dari detik.com tertera bahwa pasukan siber atau buzzer di Indonesia berkapasitas rendah, bekerja secara temporer, kontraknya (multiple contract) berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 50 juta. Buzzer yang 'sekasta' dengan yang ada di Indonesia ada di Australia, Colombia, Ceko, Eritrea, Jerman, Honduras, Hungaria, Italia, Kenya, Makedonia, Moldova, Nigeria, Korea Utara, Polandia, Rwanda, Serbia, Afrika Selatan, Spanyol, dan Zimbabwe.
Lebih lanjut, pasukan siber dari China, Mesir, Iran, Israel, Amerika Serikat, Rusia, Arab Saudi masuk dalam kasta tertinggi. Pasukan siber di China berstatus kerja permanen dan bukan temporer seperti di Indonesia. Tim mereka diperkirakan beranggotakan 300 ribu hingga 2 juta orang yang bekerja di kantor lokal dan regional.
Dengan adanya fenomena buzzer sebagai salah satu cyber army (pasukan siber) tentu tidak bisa diabaikan keberadaanya. Hal ini pula yang menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat di negeri yang mengusung demokrasi adalah keniscayaan belaka. Mereka tetap butuh pelindung untuk tetap menjaga eksistensi dan trust (kepercayaan) masyarakat. Ketakutan akan terbongkarnya borok juga merupakan salah satu alasan menggunakan jasa para buzzer. Dengan demikian, tak semua yang diiming-imingkan dalam negara demokrasi seuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.
Sedangkan di dalam Islam, aktivitas kritik dalam pemerintahan adalah sebuah keharusan. Kritik termasuk ajaran Islam yaitu amar makruf nahi mungkar, sebagaimana yang terdapat dalam Alquran Surah Ali Imran: 110.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.”
Rasulullah Saw. bahkan menyatakan dengan spesifik kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat,
قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ قَالَ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ إِمَامٍ جَائِرٍ
“Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw., seraya bertanya, ‘Jihad apa yang paling utama?’ Rasulullah Saw. menjawab, ‘Kalimat hak (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang zalim.'” (HR Imam Ahmad)
Oleh karena itu, aktivitas mengkritik penguasa dalam negara Islam sudah menjadi budaya. Khalifah Abu Bakar ra., ketika dibaiat menggantikan Rasulullah Saw., berkhotbah meminta rakyat untuk mengkritiknya.
“Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku.” (Abu Bakar ra.)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!