Ahad, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 7 Februari 2021 14:00 wib
4.026 views
Dana Wakaf Diembat, Bukti Kapitalisme Sekarat?
Oleh: Sherly Agustina, M.Ag
Dana milik umat Islam selalu menggiurkan, sebelumnya dana haji sekarang dana wakaf. Ada potensi cukup besar menurut pemerintah, yaitu senilai Rp 217 triliun atau setara 3,4 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Bahkan, Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan mengatakan potensi tersebut berasal dari 74 juta penduduk kelas menengah saja. Beliau mengajak seluruh masyarakat untuk melakukan gerakan wakaf, salah satunya melalui instrumen surat berharga negara syariah (SBSN) atau sukuk (Republika.co.id, 24/10/20).
Senada dengan Wakil Presiden, Makruf Amin menyatakan bahwa pemerintah berencana membuat gerakan nasional untuk pengumpulan wakaf tunai. Menurutnya, wakaf cash uang selama ini hanya untuk masjid, madrasah, dan pemakaman. Ia mencoba mengembangkan dana ini agar bisa diinvestasikan jangka panjang dan memperkuat sistem keuangan nasional.
Dana Wakaf Diincar, Umatnya Dicecar?
Dari gambaran di atas, jelas bahwa dana umat Islam dilirik, dibidik dan diembat. Sayang, syariahnya dibabat bahkan dikriminalisasi dan digoreng habis-habisan. Islam belum diterapkan dalam kehidupan saja, dananya bisa untuk kemaslahatan umat. Apalagi jika syariahnya diterapkan, tentu umat akan lebih mendapat kemaslahatan.
Melihat fakta ini, sesungguhnya kapitalisme sedang menuju jurang kehancuran atau sekarat dan gagal menjadi solusi dalam sebuah sistem. Pandemi datang atas izin Allah, telah mampu membuka bobrok dari gagalnya sistem kapitalisme dalam menghadapi krisis. Utang pun menjadi solusi pemerintah untuk keluar dari resesi akibat pancemi.
Ternyata, dana utang yang ada belum mampu menyuntikkan kebangkitan sektor ekonomi akibat pandemi. Dana-dana milik umat Islam mulai dilirik dengan alasan memperkuat keuangan nasional dan membantu dampak pandemi. Timbul pertanyaan, dana utang yang besar itu sudah disalurkan ke mana saja dan untuk apa saja? Benarkah untuk rakyat dan membangkitkan ekonomi? Karena faktanya rakyat tetap saja hidup sulit.
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) di Istana Negara. Beliau mengungkapkan bahwa pemanfaatan wakaf uang tak hanya terbatas untuk tujuan ibadah, tetapi juga sosial dan ekonomi. Harapannya dana wakaf bisa memberikan dampak pada pengurangan angka kemiskinan dan ketimpangan sosial di masyarakat.
Negeri ini dan banyak negeri lain merasa kesulitan menghadapi persoalan terutama sektor ekonomi. Seharusnya para penganut kapitalisme mengakui kelemahan dan kegagalan sistem ini. Sudah saatnya mereka mengambil solusi yang selama ini sudah ditawarkan oleh para pejuang Syariah.
Sistem Islam, sebagai sebuah sistem yang sempurna yang mampu menyelesaikan semua permasalahan manusia. Karena Islam tidak hanya sekadar mengatur hubungan hamba dengan penciptanya, namun mengatur hubungan dengan sesama manusia dalam konsep negara.
Wakaf dalam Konsep Islam
Menurut Imam Nawawi definisi wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya, tetapi bukan untuk dirinya sendiri, sementara benda itu tetap ada padanya dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah. Dasar pensyariatan wakaf adalah sebagai bagian ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasul Saw. bersabda:
"Apabila manusia mati, maka terputuslah (pahala) amalnya, kecuali dari perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya". (H.R. Muslim).
Maksud sedekah jariyah adalah wakaf. Jadi, wakaf di dalam Islam adalah bagian dari ibadah, amal shalih, sedekah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Bentuk wakaf adalah benda yang tidak bergerak, menahan yang pokok dan mendermakan buahnya. Seperti tanah, air, dan semisalnya. Tidak boleh wakaf dalam bentuk harta yang bergerak semisal uang, ini menurut para ulama.
Maka, berkaitan dengan program pemerintah tentang wakaf tunai (uang) pendapat ulama yang lebih kuat (rajih) yaitu tak membolehkan wakaf tunai, dengan 3 (tiga) alasan sbb;
Pertama, pendapat yang tak membolehkan lebih sesuai dan lebih dekat kepada definisi syar’i (ta’rif syar’i) bagi wakaf, yang mensyaratkan tetapnya zat harta wakaf (ma’a baqaa`i ‘ainihi). (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/87; Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 4/231; Imam Syairazi, Al Muhadzdzab, 1/575).
Wakaf uang tak memenuhi syarat ini, karena zat uang akan segera lenyap ketika digunakan. Berhujjah dengan definisi syar’i ini sesungguhnya adalah berhujjah dengan nash syar’i, karena definisi syar’i hakikatnya adalah hukum syar’i yang diistinbath dari nash-nash syar’i. (Taqiyuddin Nabhani, Izalatul Atribah ‘Anil Judzur, hlm. 1-2; Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah; 3/443).
Kedua, pendapat yang tak membolehkan wakaf tunai berpegang dengan hukum asal (al ashl), yaitu benda wakaf harus dipertahankan zatnya. Sedang pendapat yang membolehkan berarti menyalahi hukum asal (khilaful ashl), yaitu benda wakaf boleh lenyap zatnya asalkan diganti yang senilai. Kaidah fiqih menyebutkan : al yaqiin laa yuzaalu bi al syakk (sesuatu yang yakin tak dapat dihilangkan dengan keraguan). (Jalaluddin Suyuthi, Al Asybah wa An Nazha`ir, hlm. 50).
Ketiga, pendapat yang membolehkan wakaf tunai sesungguhnya lebih bersandar kepada dalil kemaslahatan (Mashalih Mursalah). (Abdullah Tsamali, Waqf Al Nuqud, hlm. 13-14). Padahal Mashalih Mursalah bukan dalil syar’i yang mu’tabar (kuat). (Taqiyuddin Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah; 3/441). (Media Umat, Ustadz Shiedieq Al Jawi).
Penyelesaian Islam dalam bidang ekonomi, tak lepas dari pengelolaan Baitul Mal yang masuk ke negara. Ini sudah diatur dengan rapi, pemasukan Baitul Mal di antaranya dari harta milik umum dan negara. Indonesia kaya akan SDA, jika ini dikelola oleh negara berdasar syariah maka itu cukup untuk menyejahterakan warga negara. Sayangnya, SDA negeri ini dikelola oleh asing yang dianggap seperti tuan dan majikan, sementara tuan rumah dianggap seperti pembantu yang harus melayani sang tamu.
Masalah demi masalah akan selesai jika syariah yang dipakai. Problem kemiskinan yang terjadi di negeri ini karena negara salah mengelola SDA yang sudah Allah beri dengan gratis. Menyelesaikan masalah dengan mendorong wakaf kepada rakyat, tentu solusi yang salah kaprah. Karena melayani dan mensejahterakan rakyat adalah tugas negara.
Maka, tak ada pilihan lain selain kembali ke syariah jika masalah ingin selesai. Karena syariah Allah diciptakan untuk kesejahteraan umat manusia dan menebar rahmat ke seluruh alam. Allahu A'lam bi ash Shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!