Ahad, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 31 Januari 2021 11:31 wib
3.728 views
Musibah, Jalan Taubat Suatu Negeri
Oleh:
Dewi Murni || Aktifis Dakwah Pena dan Praktisi Pendidikan tinggal di Balikpapan, Kalimantan Timur
AWAL tahun 2021 Indonesia berduka. Di saat belum ada kepastian kapan pandemi berakhir, beragam bencana hadir. Susul menyusul. Salah satunya adalah bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan pada Selasa (12/1). Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 10 Kabupaten/Kota terdampak banjir Kalimantan Selatan, per Minggu (17/1).
Kabupaten/ kota tersebut antara lain Kabupaten Tapin, Kabupaten Banjar, Kota Banjar Baru, Kota Tanah Laut, Kota Banjarmasin, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Balangan, Kabupaten Tabalong, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Batola.
Tak hanya itu, data per 16 Januari sekitar pukul 18.00 WIB mencatat 112.709 jiwa terdampak dan mengungsi, serta 27.111 rumah terendam banjir (Cnnindonesia, 18/01/2021).
Konon katanya, banjir sebesar itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Apalagi mengingat Banjarmasi dijuluki sebagai kota seribu sungai. Mengherankan memang. Banyaknya sungai yang membelah Banjarmasin harusnya menjadi sarana yang memudahkan air mengalir ke laut. Realitasnya air menggenangi pemukiman warga.
Sayangnya, repon pemerintah terkesan lambat. Kekecewaan masyarakat sempat membludak di sosial media hingga menjadi trending topic di tweeter dengan tagar #KalselJugaIndonesia. Mereka mengeluhkan bantuan yang tak kunjung datang padahal sudah banyak korban. Setelah viral opini tersebut barulah satu persatu tindakan pemerintah berdatangan. Termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang turun langsung ke lokasi banjir, Senin (18/1) lalu.
Pada kesempatan itu Jokowi mengatakan Banjir di Kalimantan Selatan terjadi karena tingginya curah hujan di Kalimantan Selatan selama 10 hari berturut-turut. Curah hujan tersebut tidak mampu ditampung oleh Sungai Barito sehingga mengakibatkan banjir (tirti.id, 18/1/2021)
Menyikapi bencana hendaknya sebagai seorang muslim bersabar dan ridha. Sebab datangnya musibah tidak lain merupakan ketetapan atau qadha dari Allah. Manusia tiada kuasa mencegah maupun menolaknya (Qs. at-Taubah: 51). Tentu saja bukan tanpa alasan Allah menurunkan musibah. Di balik bencana bisa jadi Allah ingin menyampaikan pesan-pesan cinta kepada hambaNya berupa penghapusan dosa-dosa dan kenaikan derajat di sisiNya. Untuk itu ada ujian keimanan yang harus dijalani terlebih dahulu.
Bisa jadi pula, musibah adalah sinyal akan kemurkaanNya terhadap suatu negeri. Mungkin, negeri itu sudah terlalu serakah. Mungkin, di negeri itu banyak penguasa yang memakan hak rakyat dan tidak menunaikan kewajibannya sebagai pemimpin umat. Mungkin, di negeri itu banyak pengusaha yang terlalu rakus dunia sehingga alam pun dirusaknya. Maka hadirnya musibah Allah ingin mengajak suatu negeri supaya kembali dengan pertaubatan yang kaafah, yang dilakukan oleh segenap penghuni negeri. Bukan hanya individu rakyat, melainkan dilakoni pula oleh para pemimpin dan seluruh pengisi panggung pemerintahan. Bersama menempuh jalan pertaubatan kaafah menuju negeri penuh berkah. Oleh sebab itu, kesabaran menghadapi musibah bukan hanya pasrah. Namun diikuti sikap kembali pada syariah.
Musibah ini menyadarkan kita semua betapa lemahnya manusia. Dihadapan air saja manusia bisa kalah. Andai bukan karena pertolongan Allah luluh lantaklah kehidupan manusia akibat beragam bencana. Alam bisa saja bersikap harmonis, bisa pula sadis, tergantung bagaimana perintah Allah padanya. Karena alam begitu tunduk pada Allah. Kita?
Jadi, bencana tidak selalu murni tentang peristiwa alam. Ini tentang ketundukkan hamba yang mulai berubah menjadi kesombongan. Merasa besar dengan membuat aturan kehidupan sendiri. Padahal Allah lah satu-satunya yang berhak membuat hukum. Ketika Allah memerintahkan dalam surah al-Baqarah ayat 11-12, “janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi”, justru diabaikan.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menegaskan bahwa banjir besar di Kalimantan Selatan yang terjadi dalam beberapa hari terakhir bukan sekadar cuaca ekstrem, melainkan akibat rusaknya ekologi di tanah Borneo. Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, mengatakan bahwa banjir tahun ini merupakan yang terparah dalam sejarah.
Berdasarkan laporan tahun 2020 saja sudah terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi, belum lagi perkebunan kelapa sawit yang mengurangi daya serap tanah. Dari total luas wilayah 3,7 juta hektar hampir 50 persen sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit (suara.com, 15/1/2021).
Sampai di sini terlihat jelas, bukan hujan yang menyebabkan bencana. Adalah perilaku manusia yang mengadopsi pandangan hidup atau ideologi kapitalisme sekuler pengundang bencana. Kapitalisme sekuler itulah yang menghalalkan para kapital untuk eksploitasi dan privatisasi harta kepemilikan umum dengan sebebas-bebasnya.
Padahal sudah jelas, dari Ibnu Abbas RA berkata sesungguhnya Nabi saw bersabda; orang muslim berserikat dalam tiga hal yaitu; air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya haram. Abu Said berkata: maksudnya: air yang mengalir (HR Ibnu Majah). Artinya tidak boleh ada privatisasi kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Privatisasi akan berakibat kezaliman terhadap harta umum dan ekspliotasi besar-besaran berujung pada kerusakan alam. Ujung-ujungnya umat yang terkena imbasnya.
Maka dari itu, sudah sepatutnya kita menjadikan musibah ini sebagai ajang muhasabah. Jalan pertaubatan untuk berbenah diri dan seluruh bidang kehidupan dengan mengadopsi aturan Allah secara kaafah. Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki kondisi diri dan negeri yang terlanjur ngeri. Karena Allah Maha Baik. Allah Maha Pengampun dan Pemaaf.
“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Qs. asy-Syuro: 30).*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!