Rabu, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 18 November 2020 20:57 wib
5.187 views
Kemenangan Biden, Janji Manis dan Usangnya Kapitalisme
Oleh:
Khya T. Yunia || Member Akademi Menulis Kreatif
AMERIKA Serikat baru saja memasuki babak baru pemerintahan pasca publikasi kemenangan Joe Biden, Sabtu (7/11). Meski Trump dan para pendukungnya masih belum menyerah tentang gugatan kecurangan dan tuntutan penghentian penghitungan suara, Biden dan Harris, telah secara resmi mengumumkan kemenangannya.
Ucapan selamat pun mengalir dari berbagai negara, termasuk dari Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, Kanselir Jerman Angela Merkel, dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Sikap negara-negara ini membuat kubu Trump makin sulit untuk mendorong klaim kecurangan pemilu yang mereka ajukan. Terlebih pakar hukum pun mengatakan upaya Trump tidak mungkin berhasil karena minimnya bukti yang diajukan.
Agaknya inilah akhir dari era Trump yang penuh kebijakan kontroversial. Beralih pada masa kepemimpinan Joe Biden dan Kamala Haris, publik Amerika dan dunia menaruh banyak harapan. Janji-janji Biden dan Haris dalam kampanyenya memang cukup meyakinkan.
Di antaranya adalah janji untuk melenyapkan diskriminasi. Terutama bagi muslim Amerika yang memang mendapat tekanan dalam era pemerintahan Trump. Juga janji akan menghapuskan kebijakan Trump atas Palestina yang lebih berpihak pada Israel. Hingga janji Biden untuk memperlakukan Islam sebagaimana mestinya, seperti keyakinan agama besar lainnya. (jakbarnews.pikiran-rakyat.com, 7/11/20).
Janji-janji yang sungguh manis. Kampanye Biden ini telah menciptakan harapan besar bagi publik dunia, utamanya umat Islam. Banyak pihak yang merasa bahwa kemenangan Biden akan benar-benar menjadi angin segar bagi muslim sedunia. Dan kini harapan itu agaknya kian nyata pasca publikasi kemenangan Biden di Pennsylvania yang menempatkannya di atas ambang 270 suara Electoral College yang dibutuhkan untuk meraih kursi kepresidenan. (antaranews.com, 8/11/20).
Namun, benarkah Amerika yang baru akan benar-benar dapat menjadi tumpuan harapan? Menjadi pemimpin dunia yang berlaku adil, atau bahkan menjadi pelindung umat Islam? Harapan-harapan ini nampaknya masih berpotensi menjadi sekedar angan. Bagaimana tidak, fakta menunjukkan jika sepanjang masa Amerika tak pernah berpihak pada umat Islam. Jika pun terlihat baik di depan, pasti ada maksud tersembunyi demi satu kepentingan.
No free lunch, begitulah istilah yang sering dipakai untuk menggambarkan 'kebaikan' negara yang memang punya maksud tertentu dibaliknya. Terlebih lagi fakta pun menunjukkan jika janji-janji kampanye dalam sistem demokrasi nyaris tanpa aplikasi. Bahkan sering hanya berupa pemanis untuk menarik suara para calon pemilihnya. Namun, komitmen akan janji-janji ini nyaris tak pernah terbukti.
Mereka yang berhasil meraih tampuk kekuasaan pun sibuk dengan agenda-agenda pesanan. Sebagai balas budi kepada pihak-pihak yang telah memberi dukungan dan mengantarkan mereka pada kemenangan.
Sehingga politik dalam demokrasi hanyalah tentang meraih kekuasaan demi melaksanakan titah dari yang berkepentingan. Tidak ada lagi kepentingan rakyat yang diprioritaskan. Rakyat hanya menjadi batu loncatan untuk melanggengkan kekuasaan.
Kampanye pun hanya menjadi alat untuk mengumpulkan suara. Menarik simpati publik demi teraihnya dukungan di kubu mereka. Mengumbar janji-janji yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan oleh mereka saat kemenangan benar-benar diperolehnya.
Oleh karena itu, menaruh harapan tinggi pada janji-janji yang belum tentu terbukti tentu tak bijak. Terlebih dengan track record Amerika sebagai negara yang menjalankan neoimperialisme dengan kapitalismenya. Tentu banyak tujuan dari hanya yang sekedar nampak di permukaan.
Bisa jadi memang akan ada sedikit perubahan gaya dalam kebijakan-kebijakan Amerika di era Biden nanti. Sedikit melunak pada kaum muslim bisa jadi. Namun, sebagai negara yang berwatak imperialis, Amerika tak pernah memberikan sesuatu dengan gratis. Terlebih pada kalangan yang telah lama menjadi target perlawanan dan dilabeli sebagai teroris.
War on terrorism (WoT) yang dipelopori Amerika tentu tak akan hilang begitu saja. Fakta bahwa mereka adalah negara kafir yang tak akan pernah ridha jika Islam mengalami kebangkitan pun patut menjadi perhatian.
Sebagaimana firman Allah Swt, "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.. (TQS Al Baqarah: 120).
Maka, umat Islam tidak boleh lengah. Menjadi lemah karena pidato-pidato heroik yang terlihat menggugah. Padahal di belakang semua itu, kita masih tetap menjadi objek bagi para penjajah. Yang tanah airnya dijarah, dikeruk semua kekayaan alamnya yang melimpah.
Umat Islam harus terus waspada. Bergandengan tangan dengan penjajah tentu harus siap berdarah-darah. Dan yang paling penting, umat Islam harus terus fokus pada perjuangan menuju kebangkitan. Mengembalikan kehidupan Islam sebagai ganti era kapitalisme yang memang tengah nyaris tenggelam. Meski Amerika tampaknya tengah memulai babak baru pemerintahan yang penuh harapan, faktanya selama sistem kapitalisme yang digunakan, kebaikan bagi rakyat sangat sulit diharapkan.
Harapan dunia kini hanyalah pada Islam. Sistem sempurna dan paripurna yang bersumber dari Sang Pencipta yang maha segalanya. Jauh dari intrik konflik kepentingan manusia. Sebab yang menjadi tujuan tertingginya hanyalah ridha Allah semata. Dan bahagia yang kekal di Jannah-Nya. Wallahu a'lam bish shawab.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!