Sabtu, 19 Jumadil Akhir 1446 H / 30 Mei 2020 12:13 wib
3.801 views
New Normal, Wujud Kebijakan Coba-Coba
Oleh:
Nurul Aqidah
Member Komunitas Aktif Menulis, Bogor
BABAK baru dalam episode menghadapi pandemi Covid-19 tengah dimulai. Kebijakan-kebijakan terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilonggarkan dan publik diperbolehkan untuk kembali beraktivitas dengan sejumlah protokol kesehatan yang ditentukan pemerintah sebelum ditemukannya vaksin. Pemerintah meminta masyarakat Indonesia untuk bisa hidup berdamai bersama corona dan beradaptasi dengan keadaan di tengah pandemi, atau dikenal dengan istilah new normal.
Prasyarat New Normal
Saat ini pemerintah tengah mematangkan skenario normal baru (new normal) dalam menghadapi pandemi virus corona (Covid-19). Kebijakan ini pun memantik reaksi sejumlah kalangan, termasuk dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyatakan, skenario new normal yang ingin diterapkan pemerintah, khususnya yang terkait dengan bisnis maupun layanan publik, masih terlalu dini. Alasannya, pemerintah dinilai belum mampu untuk mengendalikan penyebaran Covid-19, yang mana kurva positif virus ini pun belum melandai, bahkan masih menunjukkan tren kenaikan.
Padahal, WHO menganjurkan prasyarat bahwa new normal hanya boleh dilakukan ketika suatu negara sudah berhasil mengendalikan penyebaran Covid-19. Dengan angka positif Covid-19 yang masih menanjak, pemerintah dinilai terlalu gegabah dan seakan sedang berjudi (gambling) jika ingin memaksakan penerapan new normal dalam waktu dekat ini. Menurut Tulus, kebijakan new normal ini menjadi bukti bahwa pemerintah masih mengedepankan kepentingan ekonomi dalam penanganan Covid-19. Padahal, pertimbangan dari sisi kesehatan harus menjadi yang utama. (kontan.co.id, 26/5/2020)
Senada dengan Tulus, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr. Hermawan Saputra mengkritik persiapan pemerintah menjalankan kehidupan new normal. Menurut dia belum saatnya, karena temuan kasus baru terus meningkat dari hari ke hari. Wacana new normal ini membuat persepsi masyarakat seolah-olah telah melewati puncak pandemi Covid-19, namun kenyataan belum dan perlu persiapan-persiapan dalam new normal tersebut.
Ada banyak prasyarat sebelum melakukan new normal. Pertama, harus sudah terjadi perlambatan kasus. Kedua, sudah dilakukan optimalisasi PSBB, Ketiga, masyarakatnya sudah lebih memawas diri dan meningkatkan daya tahan tubuh masing-masing. Keempat, pemerintah sudah betul-betul memperhatikan infrastruktur pendukung untuk new normal. (merdeka.com, 25/5/2020)
Kebijakan Gegabah
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan alasan new normal diterapkan dari sisi ekonomi. Dia menerangkan saat ini mau tidak mau kehidupan memang harus beradaptasi dengan wabah Covid-19. Pemerintah, lanjut Airlangga, sudah membuat berbagai skenario untuk memperkuat penerapan protokol kesehatan serta penyesuaian kegiatan ekonomi. Dengan begitu diharapkan bisa menekan korban PHK. Pemerintah yakin dengan tatanan kehidupan normal baru dan bergulirnya kegiatan ekonomi yang menyesuaikan kondisi pandemi, bisa menyelamatkan ekonomi RI dari resesi. (m.detik.com, 27/5/2020)
Sayangnya kebijakan yang diambil pemerintah terkesan kebijakan 'trial and error' alias coba-coba. Hal ini bisa terlihat dari pernyataan Menteri Airlangga. Dilansir Suara.com dari siaran video konferensi pada Rabu (27/5/2020) usai rapat kabinet, dia mengatakan, "Polri dan TNI akan mengawal di tempat-tempat keramaian, sehingga di tempat tersebut disiplin dari masyarakat agar tidak terjadi secondary wave (gelombang kedua). Kalau terjadi secondary wave maka kegiatan akan dihentikan kembali dan kegiatan pun akan terganggu kembali."
Seharusnya kebijakan new normal diberlakukan dengan jaminan tidak akan ada korban yang bertambah, bukan semata kalau ada korban maka kebijakan akan dihentikan. Sebab idealnya new normal baru dapat dilakukan saat kurva infeksi sudah melandai, dan menandakan jumlah kasus Covid-19 baru sudah berkurang setiap harinya. Sementara di Indonesia, kurva ini sama sekali belum landai, bahkan masih terus menanjak dan bisa jadi belum mencapai puncak. Namun pemerintah mengambil sikap lebih mendahulukan keselamatan perekonomian dibandingkan keselamatan rakyatnya.
Padahal sebagian kalangan kedokteran pun menilai lebih baik bangsa ini bersiap menghadapi perang panjang melawan Covid-19 daripada mengambil kebijakan new normal di tengah kurva infeksi yang belum melandai. Sebab, akan ada sejumlah risiko yang tak ringan bila pemerintah mengambil kebijakan tersebut. Terutama jika protokol kesehatan tidak dipenuhi, maka bukan tidak mungkin penularan virus corona akan kembali masif di Indonesia. Alhasil, akan terjadi gelombang kedua penyebaran virus corona di dalam negeri. Jika hal ini terjadi, maka biaya untuk melakukan pemulihan pasti akan lebih meningkat, kerusakan ekonomi justru akan lebih panjang dan menelan kerugian yang lebih besar.
Berbagai konsekuensi ini tentunya wajib dipikirkan secara matang dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Jangan hanya melihat sudut pandang ekonomi semata agar perekonomian dan pendapatan masyarakat kembali stabil, tapi mengorbankan kesehatan dan keselamatan rakyat. Karena kebijakan ini terkait dengan nyawa manusia, maka sudah seharusnya perlu perencanaan yang matang bukan kebijakan yang sekadar coba-coba.
Islam Solusi Tuntas
Berbeda dengan islam yang mampu menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Islam mampu menunjukkan keunggulannya sebagai agama sekaligus ideologi yang lengkap yang mengatur semua hal dan memberikan solusi atas segenap persoalan.
Islam memiliki seperangkat aturan dalam mengatasi wabah dan menjaga jiwa manusia. Sebagaimana dalam hadits disebutkan: "Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu" (HR. Bukhari).
Rasulullah saw dan para sahabat serta generasi Islam setelahnya, memberikan contoh luar biasa dalam penanggulangan wabah. Islam menetapkan aturan, karantina total harus diberlakukan bagi wilayah yang terkena wabah. Manusia dilarang keluar masuk daerah tersebut, dan penguasa mencukupi kebutuhan pokok penduduk daerah tersebut agar tidak terjadi kelaparan. Sementara daerah lain yang tidak terkena wabah tetap bisa beraktivitas normal, sehingga roda perekonomian bisa tetap berjalan. Adapun para penderita penyakit akan diisolasi dan diobati secara optimal oleh negara sampai sembuh. Dengan cara seperti inilah, sistem Islam selama hampir 14 abad mampu menanggulangi wabah dalam waktu yang singkat tanpa menimbulkan masalah baru dan mampu menjaga rakyat dari penyebaran wabah yang masif.
Maka sungguh naif, jika umat Islam hingga hari ini masih belum sadar dan mengharap kebaikan dari sistem kapitalisme yang jelas-jelas tidak pernah mendahulukan keselamatan rakyatnya, bahkan seolah nyawa pun dijadikan ajang coba-coba penerapan kebijakan. Sudah saatnya umat kembali ke pangkuan sistem Islam. Yang negara dan penguasanya siap menjalankan amanah sebagai pengurus dan perisai umat dengan akidah dan syariat. Hingga kehidupan akan kembali dilingkupi keberkahan dan kemuliaan.
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (TQS: Al-A’raf [7]: 96). Wallahu’alam bisshawab.*
%MCEPASTEBIN%
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!