Sabtu, 27 Jumadil Awwal 1446 H / 18 April 2020 12:30 wib
4.178 views
Ekspor APD Ketika Terjadi Kelangkaan, Mengapa?
Oleh:
Ifa Mufida
Pemerhati Kebijakan Publik
PANDEMI covid-19 di Indonesia belum menunjukkan adanya penurunan. Setiap hari, masih saja bertambah jumlah pasien dengan status ODP, PDP, bahkan yang positif covid-19. Namun, selalu saja ada kebijakan atau pernyataan pejabat yang menggelitik. Salah satu contohnya adalah di adanya kebijakan ekspor Alat Pelindung Diri (APD) dikala masih terjadi kelangkaan APD untuk tenaga medis yang menangani pasien covid-19.
Sebagaimana dilansir kompas.com, ibu menteri keuangan Sri Mulyani mengatakan Indonesia tetap akan mengekspor APD ke negara lain tanpa mengurangi kebutuhan dalam negeri untuk menangani Covid-19. Hal ini dikarenakan, Indonesia adalah salah satu penghasil APD terbesar. Selain itu, dikatakan Indonesia telah memiliki kontrak pemenuhan suplai APD ke beberapa negara seperti Korea Selatan dan Jepang. Hal itu disampaikan Sri Mulyani usai rapat sidang kabinet bersama Presiden Joko Widodo melalui konferensi video, Selasa (14/4/2020).
Di sisi lain, tenaga medis dalam negeri masih mengalami kesulitan untuk bisa menangani pasien covid-19 dengan menggnakan APD yang benar. Hal ini pula, yang menjadikan banyaknya tenaga medis, baik dokter dan perawat yang harus kehilangan nyawa akibat tertular covid-19. Bahkan jumlah tenaga medis yang meninggal, bisa dikalkulasi 1 dokter meninggal dalam satu hari selama wabah ini merebak di Indonesia.
Tenaga ahli yang mereka berada di garda terdepan dalam proses penanggulangan wabah satu per satu telah wafat. Namun, nampaknya hal ini tak membuat pemerintah ber-empati secara mendalam, bahkan menganggap hal yang wajar. Bukannya melakukan evaluasi untuk pengalokasian dana agar bisa memenuhi kelengkapan APD untuk tenaga medis, pemerintah justru membuka donasi dari masyarakat untuk penanganan wabah ini.
Permasalahan APD ternyata bukan hanya faktor kelangkaan, namun juga harga APD yang tak murah. Bahkan karena harganya yang melejit, ada Rumah Sakit (RS) yang terpaksa membebankan biaya APD kepada pasien. Sebagaimana diberitakan oleh kompas.com, salah satu RS di Jakarta Timur dilaporkan telah membebankan biaya APD kepada pasien rawat inap yang tidak terkait kasus Covid-19. Sontak, hal tersebut memicu protes dari pasien RS karena mereka dibebankan Rp 500.000 per hari untuk semua pasien rawat inap.
Jika kita menelisik secara mendalam terhadap kasus ini, sejatinya adalah buah simalakama bagi RS. RS wajib menyediakan APD untuk tenaga medis, namun di sisi lain harga untuk mendapatkannya cukup mahal. Sedang BPJS, nampaknya telah berlepas tangan. Jaminan Kesehatan Nasional yang diserahkan kepada BPJS nampaknya semakin ompong ketika dilanda wabah ini. Sekali lagi, tak bisa diharapkan.
Bahkan, Presiden Jokowi mengatakan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan oleh Mahkamah Agung (MA) berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan. Khususnya, pelayanan bagi pasien positif Covid-19 akibat virus Corona (liputan 6.com). Miris, kembali rakyat termasuk tenaga medis harus berperang sendiri untuk melawan virus corona ini. Belum lagi, ada wacana herd imunity yang sejatinya mirip dengan hukum rimba, maka siapa yang kuat akan bertahan sedang yang sistem imunnya rendah terpaksa dikorbankan.
Begitulah kebijakan negeri ini. Penuh dengan anomali, bahkan seperti dagelan ketika menanggulangi pandemic covid-19. Begitu murah harga nyawa penduduk negeri di bawah kapitalisme. Mereka lebih memikirkan untung rugi ekonomi dibandingkan dengan nyawa warga negaranya. Lebih khawatir jika pengusaha besar bangkrut ketimbang rakyatnya hidup tak terurus. Saat ini bahkan, rakyat telah terkena gelombang PHK besar-besaran. Di sisi lain, pemberlakuan physical distancing menjadikan rakyat bahkan untuk sekedar makan saja sudah kesulitan. Seperti anak ayam yang kehilangan induknya, rakyat hidup tanpa perlindungan pemimpinnya.
Rencana salah satu menteri untuk tetap meng-ekspor APD di tengah kacau balaunya penanganan covid-19 di Indonesia menunjukkan betapa pejabat negeri ini tak punya hati. Begitu ringan dan lihainya mereka berdalih, seolah peduli kepada persoalan negeri. Sekali lagi, semua ini membuktikan secara gamblang bahwa mindset kapitalis tidak pernah serius mengabdi kepada rakyat. Lisan dan tindakan yang tidak sinkron adalah wujud penghianatan terhadap amanat rakyat.
Padahal Rasulullah saw mewasiatkan kepada penguasa untuk menjadikan penyelamatan jiwa dan pemenuhan hak rakyat sebagai prioritas utama dan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT kelak. Mereka amat takut kepada Allah SWT bila tidak mengambil kebijakan yang tepat. Satu nyawa sangatlah berharga di dalam Islam.
Di sisi Allah, hilangnya nyawa seorang muslim lebih besar perkaranya dari pada hilangnya dunia. Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).
Nagara di dalam Islam dengan penerapan syariat Islam kaffah akan memelihara kehidupan masyarakat dengan hukum-hukum sehingga dapat memelihara semua aspek penting. Setidaknya ada 8 aspek dalam kehidupan luhur masyarakat yang dipelihara oleh syariat Islam ketika diterapkan. Aspek tersebut antara lain syariat Islam akan menjaga jiwa manusia, harta, keamanan, kehormatan, akal, keturunan, agama dan negara. Sedang saat ini, dikala merebak wabah virus yang sangat menular, hukum di bawah kapialisme sekuler tidak bisa melindungi jiwa, keamanan, harta dan aspek lainnya.
Patut kiranya penguasa negeri mayoritas muslim ini memperhatikan pesan Rasulullah SAW. Melakukan upaya terbaik secara nyata untuk keselamatan jiwa warga negara di atas kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Membuang kapitalisme lalu mengambil konsep sahih Islam sebagai satu-satunya problem solver dalam menanggulangi persoalan wabah. Wallahu a’lam bi shawab.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!