Kamis, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 2 April 2020 23:59 wib
3.557 views
Wabah Corona dan Abainya Penguasa Kapitalis
Oleh: Nurhayati
(Aktivis Muslimah Kaltim)
Perang melawan Covid-19 masih terus berlanjut. Cukup memilukan karena Indonesia menghadapi pandemi dengan daya dan upaya seadanya. Sebagai bagian yang berada di garda terdepan, tenaga medislah yang paling merasakan bagaimana pandemi ini menyerang rakyat Indonesia tanpa henti. Tak ada waktu beristirahat, Covid-19 menyita tenaga hingga siang dan malam.
Dr Prastuti Asta Wulaningrum (Ketua Satgas Corona RS Unair Surabaya) mengakui pihaknya kekurangan Alat Pelindung Diri (APD) untuk menangani pasien Covid-19 yang tengah dirawat (Sumber: liputan6.com, 20/3/2020).
Kondisi ini diperparah dengan sejumlah tenaga medis yang merasa kelelahan dan mulai dirumahkan satu per satu. Para dokter kekurangan masker untuk melindungi diri padahal profesi mereka sangat rentan terinfeksi langsung dengan pasien Covid-19 (Sumber: CNBC Indonesia, 18/3/2020).
Minimnya sumber daya tenaga medis dan alat penunjang kesehatan membuat para tenaga medis bertaruh nyawa. Jas hujan, masker terbatas dan sarung tangan seadanya menjadi tameng pertahanan diri ketika menangani pasien-pasien terpapar Covid-19. Para tenaga medis berjuang mati-matian tanpa fasilitas yang memadai dari negara.
Dengan APD terbatas, ada di antara tenaga medis yang positif terjangkit hingga meregang nyawa. Akhirnya, lima organisasai profesi kesehatan di Indonesia ancam tak mau layani pasien Covid-19 jika pemerintah tak memberi APD sebagai upaya penjagaan diri. Tanpa APD, tenaga medis berpotensi tertular dan menularkan virus kepada pasien lainnya. Menghadapi situasi darurat ini, kenapa kebijakan lockdown tidak dilakukan?
Presiden RI Joko Widodo memberi pengarahan kepada gubernur se-Indonesia melalui video conference dengan menyampaikan setiap negara memiliki karakter, budaya dan kedisiplinan yang berbeda-beda. Oleh Karena itu Indonesia tidak mengambil langkah lockdown. Hingga saat ini, Jokowi hanya menghimbau agar menjaga jarak dan menghindari kerumunan.
Tentu kebijakan lockdown memiliki konsekuensi logis. Jika Indonesia melakukan lockdown, berdasarkan UU No. 16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan maka pemerintah pusat bertanggungjawab atas pelayanan kesehatan dasar, kebutuhan pangan dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya. Siapkah pemerintah Indonesia menghadapi konsekuensi ini?
Keseriusan Pemerintah dalam Penanganan Covid-19
Sungguh Indonesia tidak siap menghadapi pandemi Covid-19. Sejak awal kemunculan virus ini di Cina, Indonesia mengabaikan berbagai peringatan dari para pengamat, pakar dan para ahli. Indonesia tak siap dan tak bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk yang ada.
Angka positif Covid-19 terus meningkat signifikan setiap harinya. Dalam kurun waktu hampir satu bulan angka tersebut tembus hingga mencapai ribuan orang. Tentu dalam hal ini, kredibilitas serta kapabilitas institut kenegaraan tertinggi akan sangat dipertanyakan. Apalagi sikap tak melakukan lockdown, upaya apa yang akan dilakukan dalam melindungi rakyat yang terserang pandemi?
Jubir Presiden dalam pernyataan pers di Jakarta menyampaikan keselamatan rakyat menjadi prioritas utama dalam penanganan Covid-19. Realitasnya jumlah orang positif membludak, yang meregang nyawa mencapai angka seratus, tenaga medis tak ditunjang dengan peralatan memadai. Kesimpulannya pemerintah tak serius menangani Covid-19.
Tentu kebijakan lockdown sukar diputuskan. Pasalnya ekonomi Indonesia terlanjur bergantung pada asing. Bunga hutang yang kian menggunung dengan nilai tukar rupiah menguat ke 16.075 per dollar AS, menanggung pangan rakyat Indonesia hanya akan menambah pembengkakan anggaran negara. Pertimbangan ini menjadi salah satu alasan menapa negara berkembang tak mampu lockdown.
Dalam kondisi darurat pandemi, rakyat sangat membutuhkan pemimpin cekatan dan yang memperjuangkan nasib rakyat. Hari ini rakyat Indonesia kehilangan figur tersebut. Rakyat hanya dibekali himbauan untuk melakukan social distancing dirumah. Tak ada lockdown. Tak ada pemenuhan jaminan kesehatan dan Jaminan Pemenuhan kebutuhan hidup.
Permasalahannya adalah rakyat tidak bisa mengindahkan himbauan tersebut karena desakan ekonomi. Banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Isolasi di rumah sama saja membunuh mata pencaharian mereka. Apalagi negara tak hadir sebagai problem solver dan penjamin kebutuhan pokok tetap terpenuhi di tengah kondisi pandemi seperti ini.
Inilah dampak negara yang menganut sistem kapitalisme. Negara manapun jika mengambil sistem ini tolok ukurnya pastilah materi. Negara tak sanggup lockdown, perekonomian bergantung pada asing, hingga intervensi internasional atas kebijakan nasional, semua adalah dampak dari penerapan sistem kapitalis. Termasuk dalam kondisi darurat Covdid-19 ini, tolok ukurnya pasti lagi-lagi adalah materi.
Belajar dari Kisah Tha’un Amwas dan Sikap Pemimpin Islam
Covid-19 bukan pandemi pertama dalam sejarah kehidupan manusia. Di masa kekhalifahan Umar bin Khattab, kaum muslimin pernah terserang wabah tha’un amwas yang menewaskan hingga sekitar 25.000 muslimin termasuk para sahabat terbaik Rasul. Wabah ini menyebar begitu cepat dan menjadi penyakit yang paling mematikan pada masa itu.
Menghadapi situasi ini, setelah diskusi panjang dengan kalangan Anshar, Muhajirin serta para sahabat yang terlibat dalam pembebasan kota Mekah, Khalifah Umar memutuskan untuk mengisolasi wilayah Syam dan sekitarnya yang menjadi tempat wabah tha’un menyebar. Keputusan ini diambil berdasarkan sabda Rasulullah SAW.
"Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari)
Meski sempat mempertanyakan kebijakan tersebut, Abu Ubaidah bin Al Jarrah (kepala daerah kota Syam) akhirnya menerima dengan ikhlas keputusan khalifah dan kembali memimpin kota Syam. Sebuah keputusan telah ditetapkan. Syam dikarantina hingga wabah tha’un menghilang.
Sebagai kepala negara, inilah sikap khalifah Umar bin Khattab dalam menyelesaikan pandemi yang terjadi di wilayah Islam. Abu Ubaidah sebagai kepala daerah pun tak tinggal diam. Bersama masyarakat kota Syam berupaya mengentaskan wabah hingga beliau wafat karena wabah tersebut. Akhirnya khalifah menunjuk Amr Bin Ash sebagai kepala daerah kota Syam selanjutnya. Alhamdulillah, berkat penelitian yang cepat dari kepala daerah yang baru, Syam terbebas dari wabah tha’un.
Demikianlah sikap pemimpin Islam. sikap yang layak ditiru oleh pemimpin manapun di dunia ini. Kebijakan diambil berdasarkan kemaslahatan umat dengan mempertimbangkan nasib rakyat. Masalah ekonomi adalah konsekuensi logis dari pandemi ini, namun hal tersebut tak menjadi keragu-raguan negara dalam mempertimbangkan yang terbaik bagi rakyatnya.
Sesungguhnya pemimpin itu adalah pelindung. Rakyat bergantung kepada kepala negara karena demikianlah fitrahnya. Ketakwaan sang pemimpin menjadi jaminan bagi rakyatnya untuk taat. Tidak seperti sikap pemimpin dunia hari ini, yang mengambil sikap, membuat sebuah kebijakan berdasarkan pertimbangan ekonomi dan mengabaikan kebutuhan mendasar rakyatnya. Wallahu a’lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!