Rabu, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 11 Maret 2020 09:09 wib
4.921 views
Terpenjaranya Peran Guru Sebagai Pendidik
Oleh:
Wahyu Utami, S.Pd
Guru di Bantul Yogyakarta
KEPOLISIAN telah menetapkan tiga Guru Pembina Pramuka sebagai tersangka kegiatan susur Sungai Sempor SMPN 1 Turi Sleman Yogyakarta. Kegiatan yang dilakukan pada Hari Jumat, 21 Februari 2020 ini telah merenggut nyawa 10 siswi (detik.com 22/02/2020). Terlepas dari segala kelalaian yang dilakukan, sungguh miris guru diperlakukan bak pelaku kriminal. Kepala plontos, memakai pakaian orange khas tahanan, dihadirkan di depan awak media dan digiring di jalanan seperti pelaku kriminal tak terampuni. Hal ini seolah menyiratkan kelalaian ketiga guru tersebut sama dengan tindakan kriminal lainnya seperti pembunuh, pencuri, perampok dan lain-lain. Padahal jelas berbeda, ketiga guru tersebut tidak ada niat untuk mencelakakan siswanya, sedang para pelaku kriminal lainnya sejak awal sudah punya niat jahat.
Tindakan kepolisian ini mendapat reaksi keras dari Pengurus Besar Paguyupan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Sekjen FGSI, Heru Purnomo mengatakan perlakuan itu berpotensi menggiring opini masyarakat bahwa tersangka guru adalah pelaku kejahatan berat. Perlakuan itu juga akan berdampak terhadap psikologis siswa dan keluarga guru tersebut.
Dulu di era tahun 80-an, guru masih menempati posisi yang mulia dan terhormat di masyarakat. Guru juga leluasa menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Guru memberi hukuman kepada siswa dalam rangka mendidik adalah hal yang biasa. Mulai dari mencubit hingga dipukul ringan adalah hal yang lumrah. Siswapun juga tidak melawan karena mereka sadar diri telah melakukan suatu kesalahan. Orang tua juga justru datang ke sekolah untuk berterima kasih karena telah dibantu mendidik anaknya. Tak heran jika guru disegani dan dihormati baik oleh siswa maupun orang tua.
Kondisi tersebut jauh berbeda dengan sekarang. Menjalani profesi guru di era milenial ini ternyata tidak mudah. Sudahlah gaji tak seberapa, beban pekerjaan yang berat, masih ditambah bayang-bayang kriminalisasi yang terus menghantui. Beberapa tahun belakangan, beberapa kasus kejadian pelaporan guru ke aparat oleh wali murid terus saja terjadi. Berbagai kejadian tidak terlepas saat guru sedang menjalankan tugasnya sebagai pendidik di sekolah. Mencubit siswa karena kedapatan mengganggu temannya saat sholat berjamaah, menegur siswa yang bermain HP saat di kelas, memotong rambut siswa yang gondrong dan kasus-kasus lainnya yang dalam beberapa kasus berujung guru mendekam di balik jeruji besi penjara.
Dibukanya Kran Hak asasi Manusia (HAM)
Semua peristiwa ini sebenarnya tidak terlepas dari sejak dibukanya pintu pemahaman Hak Asasi Manusia (HAM) yang seluas-luasnya. Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) yang disahkan pada tahun 2002 tidak lagi memberi keleluasaan bagi guru untuk memberi tindakan tegas saat ada siswa yang tidak beradab. Bahkan ancaman hukuman penjara menanti jika ada kasus pelaporan dari orang tua yang tidak terima saat anaknya mendapat perlakuan yang tidak dikehendaki dari guru. Pasal yang biasanya dijadikan rujukan dalam laporan pengaduan adalah pasal 54 yang menyatakan bahwa "Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya”. Jenis-jenis kekerasan tercantum dalam pada pasal 69 yaitu kekerasan fisik, psikis dan seksual.
Alhasil guru lebih memilih jalur aman minim resiko. Guru cukup menjalankan fungsi sebagai pengajar yang memberi transfer ilmu kepada siswa dan meninggalkan tugas mendidik. Terserah siswa mau berbuat apa saja di dalam kelas, yang penting guru sudah menjalankan tugasnya mengajar pada jam tersebut. Pada akhirnya, siswa semakin berani berbuat seenaknya dan jauh dari memiliki budi pekerti. Gurupun juga kehilangan kewibawaan di hadapan siswa.
Dari sudut pandang ini, Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) yang dibuat untuk melindungi anak dari kekerasan ternyata kontradiktif dengan fungsi guru sebagai pendidik. Hak Asasi Manusia telah memenjarakan peran utama guru sebagai pendidik. Begitulah ide HAM yang merupakan produk hukum kapitalisme buatan manusia. Ide yang digadang-gadang oleh para penganutnya sebagai solusi permasalahan kemanusiaan tidak jua mampu menyelesaikan masalah secara tuntas dan bahkan menimbulkan masalah yang semakin bertumpuk.
Kisah Muhammad al Fatih, Pukulan Guru yang Membentuk Karakter
Kisah nyata dan bersejarah ini terjadi pada Muhammad II, putra Sultan Murad II dari kesultanan Turki Utsmani. Sejak kecil Muhammad tak pernah merasakan kerasnya pendidikan. Guru-guru yang mengajar Muhammad tak pernah luput dari pelecehan sang putra Sultan, ditertawakan, dicemooh menjadi santapan sehari-hari guru-gurunya.
Akhirnya Sultan Murad II mencarikan guru yang paling cakap membentuk karakter, beliau memanggil Syeikh Ahmad bin Ismail Al Qurani dan Syeikh Aaq Syamsudin. Berkat pendidikan karakter dan pendidikan Islami, kelak Sang Anak itulah yang bergelar Sultan Muhammad Al-Fatih (Sang Penakluk). Sultan yang mampu menaklukkan sebuah benteng paling kuat dalam sejarah, 1000 tahun lebih tak tergoyahkan dan selama 825 tahun penantian atas kebenaran Sabda Nabi akan takluknya benteng Konstantinopel oleh Sultan terbaik.
Sultan Murad II ketika bertemu dengan Syeikh Ahmad bin Ismail Al Qurani menitip pesan agar mendidik anaknya dengan baik dan sekaligus memberikan kewenangan penuh untuk memukulnya jika si anak tak patuh. Hal tersebut disampaikan di depan si anak sambil Sang Khalifah menyerahkan sebuah cemeti kepada sang guru. Tentu saja, amanah orang tua yang sepenuh hati, tak tanggung-tanggung kepada sang guru merupakan modal penting bagi guru manapun untuk mendidik muridnya. Apalagi sang guru tahu dan mengerti cara mendidik yang baik, menegur hingga memukul murid yang bersalah dengan pukulan yang sesuai aturan dan terukur.
Tak ayal, Muhammad II mendapat pukulan pertama kalinya dari sang Guru, yang mana pukulan itu belum pernah dia rasakan dari guru-guru sebelumnya. Tentu saja si anak kaget dan terperanjat dengan kejadian yang baru dialaminya itu, namun dia tak bisa melawan, sang guru mendapat legitimasi penuh dari ayahnya untuk memukul jika bersalah. Saat itulah, momen titik balik dari si anak bandel menjadi murid yang patuh dan taat pada guru (Islampos, 2018).
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa dibutuhkan pemahaman yang benar dalam meletakkan konsep perlindungan anak terhadap kekerasan. Islam memang menjamin hak setiap anak untuk memperoleh pendidikan terbaik, tetapi bukan berarti Islam mengharamkan tindakan tegas guru dalam menanamkan karakter pada anak. Guru yang berkepribadian islam pasti mempunyai ukuran yang jelas dan terukur saat akan mendidik siswa dengan pukulan.
Pukulan yang mendidik berbeda dengan pukulan telak yang menyakiti, bertubi-tubi dan penuh kebencian. Pukulan tersebut dilakukan untuk memberikan ketegasan kepada anak agar taat pada guru sekaligus untuk menunjukkan keseriusan guru dalam mendidik. Rasululloh juga telah memberikan aturan di dalam haditsnya “Apabila salah seorang di antara kalian memukul, hendaklah menghindari wajah’ (HR Bukhari). Dari sini tidak akan terjadi Undang-Undang yang dibuat uintuk melindungi anak justru memenjarakan peran guru sebagai pendidik.
Oleh karena itu, saatnya bagi kita sekarang ini menjadikan Syariat Islam sebagai tolak ukur dalam semua perbuatan kita. Syariat islam pasti akan memberi kemaslahatan dan tidak akan menimbulkan pertentangan di antara sesama manusia karena aturan Islam berasal dari Rabb, Sang Pencipta Alam.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!