Kamis, 7 Jumadil Awwal 1446 H / 6 Februari 2020 09:16 wib
3.684 views
Perusakan Mushala Bukti Toleransi Abal-abal
Oleh:
Fita Rahmania, S. Keb., Bd.
Aktivis Fikrul Islam
TAK kurang dalam kurun waktu seminggu, dua tempat ibadah umat Islam dirusak oleh sekumpulan oknum tidak bertanggung jawab. Dilansir dari pojoksatu.id bahwa masjid di Sumut, tepatnya di Jalan Belibis, Kelurahan Tegal Sari Mandala II, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, dilempari batu pada Jumat malam (26/1) lalu.
Sedangkan musala di Perumahan Agape, Desa Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Minahasa Utara, Sulawesi Utara dirusak puluhan massa pada Rabu malam (29/1/2020). Polda Sulawesi Utara telah menahan 6 orang terduga perusakan bangunan Mushala Al Hidayah di Perumahan Griya Agape, Desa Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara ( Sulut ), Rabu (29/1/2020).
Kejadian ini bukan kali pertama terjadi dan tentu sangat menyita perhatian publik. Di negeri yang 'katanya' menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama, nyatanya tidak dapat menghentikan aksi perusakan semacan ini. Lalu, kemanakah perginya pengelu-elu kebebasan yang tidak suka ketika umat muslim mengentalkan suasana puasa di bulan Ramadhan? Mereka berteriak-teriak tidak setuju warung makan ditutup selama Ramadhan demi menghormati non muslim yang tidak berpuasa. Namun saat ini, mereka diam melihat rumah ibadah kaum muslimin dirusak. Lantas, seperti apakah sebenarnya rupa kerukunan beragama di negeri ini?
Secara literal, makna kerukunan antar umat beragama di Indonesia adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agama dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (jateng.kemenah.go.id)
Akan tetapi, fakta yang nampak saat ini tidak seindah makna konseptualnya. Bahkan tidak jarang toleransi yang mereka lakukan salah jalan, yakni tidak sesuai syariat Islam. Bukan pahala yang akan didapat, tapi justru terjerumus ke kubangan dosa. Misalnya, mengucapkan selamat hari raya pada kaum non muslim, merayakan natal bersama (red. umat Islam) di gereja, membela penista Al Qur'an, hingga mewacanakan pelarangan pengeras suara di masjid.
Fakta mencengangkan pun muncul mengenai perusakan masjid belakangan ini, yakni banyaknya pihak berwenang yang seolah-olah menyepelekan dan menenggelamkan pemberitaan dengan dalih penuh tipu daya. Seperti Bupati Minahasa Utara, Vonnie Anneke yang meminta umat Islam di Perumahan Agape, Desa Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Minahasa Utara untuk sementara waktu salat di rumah.
Hal itu dikatakan Vonnie Anneke menanggapi pengrusakan masjid di Perumahan Agape oleh sekelompok massa. Menurut Vonnie Anneke, jika surat-suratnya sudah lengkap, masjid di Perumahan Agape, Desa Tumaluntung akan kembali dibangun. Namun untuk menjaga kondusifitas, lanjut Anne, sebaiknya umat muslim untuk sementara waktu melaksanakan ibadah di rumah masing-masing. (jambiekspres.co.id)
Padahal, masjid dalam Islam adalah tempat ibadah yang sakral dan krusial. Allah SWT berfirman: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS. An Nur: 36 – 37).
Belum lagi pernyataan bias dari Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Argo Yuwono, menjelaskan bahwa itu merupakan tempat balai pertemuan, bukan merupakan tempat ibadah (masjid). “Jadi gini, itukan ada perusakan balai pertemuan di salah satu perumahan. yang tentunya tadi pagi jam 10.25 WITA. itu sudah dilakukan komunikasi dan diskusi di sana. berkaitan dengan perusakan,” kata Argo, usai menghadiri rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Kamis, (30/1/2020). Padahal dalam video yang beredar terlihat spanduk bertuliskan penolakan warga Desa Tumaluntung atas pendirian masjid. Pasalnya di desa tersebut sebagaian besar warganya beragama Kristen. Warga menganggap keberadaan masjid mengganggu dan mengancam kenyamanan hidup mereka. (teropongsenayan.com)
Dengan demikian, telah tampak jelas bagaimana demokrasi negeri ini membangun nilai toleransi antar umat beragama. Begitu lemah dan terkesan ada pembelaan berlebihan terhadap masyarakat minoritas yangjustru berpotensi muncultirani minoritas termasuk dalam sikap beragama.
Di sisi lain, Islam dapat dengan sempurna mengatur nilai ini menjadi realistis dan adil. Toleransi telah dicontohkan Rasulullah saat empat pemuka kafir Quraisy yakni Al-Walid bin Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad ibnul Muthalib, dan Umayyah bin Khalaf datang menemui Rasulullah seraya berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami, kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al-Qurtubi/14:425)
Sebagai jawaban dari perkataan mereka, kemudian Allah menurunkan surat Al-Kafirun ayat 1-6 yang menegaskan bahwa tidak ada toleransi dalam hal yang menyangkut aqidah.
Allah SWT berfirman:
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (TQS. Al-Kafirun: 6)
Sikap toleransi pun dijelaskan oleh Allah dalam Alqur’an surat Al-Mumtahanah ayat 8-9, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.” (TQS. Al-Mumtahanah: 8-9)
Demikianlah toleransi yang diajarkan di dalam Islam. Allah telah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk bertoleransi pada orang-orang di luar Islam. Namun, sikap toleransi tidak boleh dipraktikkan dalam hal yang menyangkut aqidah. Jadi, mustahil apabila ada pihak yang menuduh sistem Islam intoleran dan tidak pantas diterapkan dalam tataran negara.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!