Kamis, 28 Jumadil Awwal 1446 H / 23 Januari 2020 10:17 wib
3.274 views
Frustasi Sosial Ekonomi Membuncah, Cermin Kegagalan Kapitalisme
Oleh:
Puput Hariyani, S.Si*
AWAL tahun 2020 masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kemunculan Keraton Agung Sejagat yang mendulang ratusan pengikut di Purworejo, Jawa Tengah. Berdasarkan penyidikan polisi, pengikut Keraton Agung Sejagat diketahui wajib membayar uang Rp 3 juta untuk masuk sebagai anggota kerajaan.
Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Iskandar Fitriana Sutisna mengatakan, mereka sudah merekrut 450 warga dan diiming-imingi akan hidup lebih baik dan gaji dolar tiap bulan.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar menyebut kerajaan-kerajaan baru semisal KAS dan Sunda Empire dikelola oleh orang yang tidak waras.
Menurut Sosiolog dari Universitas Padjajaran, Yusar, Keraton Agung Sejagat bukanlah satu-satunya gerakan yang sempat viral. Sebelumnya muncul Lia Eden yang mengaku sebagai nabi, serta pendiri Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) Ahmad Musadeq.
Menurut dia, Keraton Agung Sejagat memanfaatkan situasi di mana terdapat krisis sosial dan spiritualitas, semacam perbedaan antara yang seharusnya terjadi (kemakmuran dan ketenteraman) dengan realitas yang terjadi (CNNIndonesia.com).
Banyak kemungkinan yang melatarbelakangi kehadiran Keraton Agung Sejagat kata Yusar. Satu diantaranya adalah hendak mencari uang dari sumbangan orang-orang yang masih percaya kepada trah kerajaan ratu adil.
Ari Ganjar Herdiansah-juga sosiolog Unpad menuturkan, kehadiran Keraton Agung Sejagat dipandang sebagai fenomena di mana masyarakat mencari alternatif di tengah ketidakpastian hidup. Sementara itu sosiolog Universitas Indonesia (UI), Daisy Indira Yasmine menyatakan bahwa KAS itu kental diliputi motif ekonomi.
Beragam fenomena ini menegaskan kondisi masyarakat dilanda frustasi social dan ekonomi yang membuncah. Berangkat dari kisah peristiwa Ratu Adil. Sebenernya bukanlah Fenomena baru, bahkan di dunia ada gerakan milenarianisme yang muncul setiap waktu tertentu. Gerakan ini menawarkan jalan keluar bagi kebuntuan jaman.
Kebingungan dan kebuntuan yang dirasakan masyarakat mendorong mereka untuk bergabung mencari jalan keluar dari persoalan yang dihadapi. Meskipun dengan cara yang tidak masuk akal, tetap saja gampang tergiur dengan tawaran yang tidak rasional. Terlebih lagi akal sehat masyarakat telah mandul terenggut kepalsuan sistem kapitalis sekuler yang mengagungkan materi. Dengan mudah dimanfaatkan oleh kalangan tertentu untuk mencari keuntungan materi.
Semakin membuktikan bahwa berlakunya sistem sekuler kapitalis yang diagungkan oleh seluruh negara di dunia hari ini gagal total mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Hal ini juga menegaskan betapa bobroknya sistem ini dan menunjukkan cacat bawaan sejak lahirnya.
Mirisnya lagi pemerintah tidak mengambil tindakan tegas dan antisipatif meskipun kasusnya berulang hingga meresahkan masyarakat dan sudah banyak korban kerugian harta. Terbukti terus bermunculannya fenomena-fenomena yang serupa.
Adanya Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong yang berimbas pada keonaran di masyarakat serta pasal 378 KUHP tentang penipuan belum mampu membuat para pelaku kapok dan jera.
Berbeda dengan sanksi di dalam Islam. Keberadaannya ditujukan sebagai jawajir dan jawabir. Pemberi efek jera sekaligus penebus dosa bagi pelakunya. Juga tindakan antisipatif berlapis yang menjadi tanggungjawab negara dengan memastikan terpenuhinya segala kebutuhan pokok seluruh warga negara.
Hanya saja hal itu membutuhkan kesinergisan seluruh peraturan Islam yang lainnya untuk diterapkan secara menyeluruh. Dengannya berbagai persoalan akan terjawab dan tidak akan terulang kembali dikemudian hari. Wallahu‘alam bi ash-showab.*Pendidik Generasi.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!