Ahad, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 12 Januari 2020 21:45 wib
3.515 views
Reynhard Sinaga dan Penelanjangan Kebobrokan Barat
Oleh : Dessy Fatmawati, S.T
“KBRI London Beri Perlindungan Hukum ke Reynhard” demikian kisah ini bergulir selanjutnya. Melawan nurani publik yang menginginkan sebaliknya. Namun apa dikata, keputusan Indonesia telah final.
Tak lewatkan kesempatan, kaum muslimin menjadikan kasus ini momen yang tepat untuk menjelaskan ke khalayak ramai tentang penyimpangan seksual, yang diakui atau tidak ajaran Islam ditekan dengan cap intoleran akibat melarang setiap hadirnya seks diluar pernikahan. respon paling melimpah disumbang oleh kaum muslimin melalui akun-akun pribadi.
Media mainstream kuwalahan dengan serangan opini balik yang tidak hanya menyasar kekejaman Reynhard Sinaga namun juga menyasar jantung peradaban Barat yang rusak. Di Inggris, media fokus pada penanganan teknis, sedangkan media Indonesia fokus playing victim dengan mempublikasikan indentitas kerabat pelaku.
Tak perlu diragukan lagi, bahwa kasus Reynhard Sinaga adalah buah subur peradaban yang dipupuk sendiri. Sexuality and Everyday Transnationalism among South Asian Gay and Bisexual Men in Manchester, meski ditolak, keberanian Reynhard mengajukan penelitian ini menggambarkan suasana lingkungan Barat yang sangat mendukung kejahatannya.
Gambaran lebih luas mengenai hal ini dapat dilihat dari rekaman data endrapeoncampuss.org. Dalam kanal data ‘Male’, The Campus Sexual Assault Study menemukan bahwa 1 dari 16 mahasiswa telah ‘diserang’ di kampus. Penelitian terbaru menemukan 19% hingga 31% mahasiswa memiliki pengalaman kontak seksual yang tidak diinginkan oleh rekan sebaya.
The National Crime Victimization Survey menemukan bahwa hanya 38% insiden pemerkosaan dan serangan seksual yang bisa dilaporkan. Survey lain menyebutkan sekitar 1,267 juta pria telah dilaporkan menjadi korban kekerasan seksual. The National Intimate Partner and Sexual Violence Survey menemukan data 40% laki-laki gay dan 47% laki-laki biseksual punya pengalaman kekerasan seksual di USA.
Diperkirakan antara 16% hingga 30% laki-laki dengan disabilitas telah mengalami kekerasan seksual bahkan sebelum usia 18 tahun, dua kali lebih banyak dibanding laki-laki tanpa disabilitas. Terakhir, diperkirakan 40% siswa tingkat SMP dan SMA dilaporkan mengalami kekerasan seksual, 28% diantaranya oleh teman sebaya.
Bagi yang tidak jeli, akan mudah digiring ke opini bawah sadar kesalahan Reynhard Sinaga hanya kasuistik, jangan berlebihan. Tidak ada yang salah dengan peradaban Barat, lihatlah kami (Barat) memberi keadilan yang lebih baik. The Feed FBS mengeluarkan salah satu analisa ciri media Barat dalam menggambarkan sebuah peristiwa, “Easy for us to say Muslim came from inferior culture, violent religion, broken society that they full of hate. But we can’t quite say that about the white (western) ones. Because to do so would be to say we’re just the same…we give the white (western) the privilege of humanity” – Australia, 2019.
Mari mundur pada bulan-bulan sebelumnya, jelas terekam dalam ingatan betapa Barat habis-habisan menyerang Brunei Darussalam karena menerapkan hukuman mati bagi kaum pelangi, Michelle Bachelet, Komisioner Hak Asasi Manusia PBB memberikan penyataan Senin (01/04), "Saya menyerukan kepada pemerintah untuk membatalkan penerapan hukum pidana baru yang kejam itu, yang akan menjadi langkah mundur serius bagi perlindungan HAM rakyat Brunei jika tetap diberlakukan."
Lewat cuitan media sosial twitter Mantan Wakil Presiden AS, Joe Biden menulis, "Merajam orang sampai mati karena tindakan homoseksual atau perzinahan adalah mengerikan dan amoral. Tidak ada alasan—baik agama atau tradisi—atas kebencian dan tak berperikemanusiaan seperti ini."
Disusul Senator Ted Cruz selaku wakil Partai Republik dari Texas, "Ini salah. Ini barbar. Amerika harus mengecam hukum amoral dan tak berperikemanusiaan ini dan semua orang harus bersatu melawannya."
Tak ketinggalan Menteri Pembangunan Internasional Inggris, Penny Mordaunt, merilis "Tiada seorangpun harus menghadapi hukuman mati karena siapa yang mereka cintai. Keputusan Brunei barbar."
Namun sayang, tokoh-tokoh ini bungkam seribu bahasa manakala korban-korban berjatuhan menuntut keadilan dengan dalih human right. Bahkan tahun 2011, terbitnya tulisan “Pedophiles want Same Rights as Homosexuals” yang ditulis Jack Minor, editor senior dari greeleygazette.com memberi gambaran yang jelas atas peradaban Barat.
Saatnya Ofensif, Tak Sekadar Defensif
Tak cukup membuat Barat kuwalahan, kamu muslim harus mengupayakan maksimal untuk menumpas kerusakan dari akarnya. Berbicara mengenai LGBT, kemunculan dan pembiarannya tak lepas dari konstruk masyarakat yang dibentuk peradaban rusak kapitalis Barat. Materi adalah tujuan. Kebebasan adalah kebutuhan. Keegoisan adalah keniscayaan. Konsekuensinya Homo homini lupus, manusia menjadi srigala bagi manusia yang lain.
Reynhart bukanlah yang pertama, hanya ketiban sial terkespos yang terbesar. Dan pesimis rasanya akan menjadi yang terakhir. Perlu dipahami dengan jelas, kusutnya solusi untuk LGBT dengan segala kerusakan yang dibawa berawal dari standar nilai yang digunakan, liberalisme (kebebasan berperilaku). Alhasil, solusi yang teknis hadir hanya semacam ‘pemadam kebakaran’ tanpa mampu memusnahkan sumber api. Arogansi pelaku dan pengusung ide ini sama sekali tidak membantu meredakan kerusakan yang dibawa. Di Indonesia sendiri contohnya, RUU PKS yang masih panas bergulir, justru lebih berpotensi mempidanakan pencegah LGBT daripada pelaku LGBT itu sendiri. Untuk kasus Reaynhard, lewat KBRI, Indonesia memutuskan untuk di sisi Reynhard. Memberikan bantuan perlindungan hukum berupa akses pengacara dan pemastian hal dalam pengadilan.
Sampai di sini jelas, hanya sekedar solusi defensif, individual dan tidak terstruktur hingga level politis sangat todak relevan untuk menghadapi serangan LGBT yang massif, terstruktur dan politis. Mengharapkan pemerintahan bercorak demokrasi bagai punguk merindukan bulan. Jelas, harapan satu-satunya, terlebih bagi kaum muslimin adalah melawan yang menyerang balik kerusakan dengan pukulan politis.
Sahabat Rasul yang mulia, Ustman bin Affan ra berkata, “Sesungguhnya Allah SWT memberikan wewenang pada penguasa untuk menghilangkan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan oleh Al Qur’an.”
Rasulullah SAW telah memberi contoh gamblang dalam melawan balik kekuatan musuh secara politis. Bahkan oleh jumhur ulama, kewajiban atas tegaknya konstitusi penerap kebaikan dan pelenyab kebatilan ini digambarkan sebagai mahkota kewajiban.
Menjadi penting dan mendesak semua elemen ummat harus teredukasi sempurna dengan Islam. Ulama, cendekiawan, aktivis mengerahkan seluruh energi, difokuskan pada peruntuhan akar masalah LGBT, yakni Barat dan ideologi kapitalisnya. Pada saat yang sama memupuk kekuatan politis Islam yang setara untuk menandingi Kapitalis Barat, mulai dari level individu, masyarakat, dan negara. Bukan sembarang negara, namun negara yang mampu berdiri kokoh menanggalkan segala bentuk standar dan nilai Barat. Sebuah negara yang berani mandiri, kokoh melenggangkan Islam dalam panggung politik dunia. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!