Jum'at, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 29 November 2019 15:44 wib
3.417 views
Kiblat Cina
Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)
Soal membandingkan Jakarta dengan Shanghai ya sah sah saja. Dengan kota dari negara manapun itu wajar. Persoalan adalah sedemikian hebat saat ini para pejabat memuji muji Cina. Begitu dominan Tito merujuk Cina dalam pidatonya.
Dalam sekali nampak pengalamannya. Partai penentu kebijakan bekerja sama. Partai Komunis Cina datang ke Istana Presiden. Saat pelantikan bulan Oktober lalu Wapres Cina hadir. Jokowi tentu bahagia.
Di era ini gencarnya investasi. Dana dibarengi dengan tenaga kerja. Hanya Cina yang mampu boyong tenaga kerja dalam jumlah banyak. Taipan Cina menguasai negeri dengan berkartu penduduk WNI. Politik berpihak pada mereka dengan larangan diskiriminasi berdasarkan ras.
Padahal dalam sejarah hanya keturunan Tionghoa yang keberatan disebut bangsa Indonesia. Mereka bangga dengan status sebagai "bangsa Cina" meski beranak cucu di Indonesia.
Kasus artis Agnes Mo yang diwawancara Build Series di Amerika Serikat yang mengaku tidak berdarah Indonesia dan hanya tempat lahir saja menunjukkan nasionalisme yang rendah.
Ia menyatakan keturunan Jerman, Jepang, dan Tionghoa. Bahkan menyinggung komunitas Muslim segala. Tidak ada rasa bahwa ia adalah bangsa Indonesia. Seperti keturunan Tionghoa lain yang juga tak punya kebanggaan berbangsa.
Banyak yang diuntungkan oleh status WNI meski jiwanya tidak berbangsa Indonesia. Sungguh kebijakan dan atau peraturan diskriminasi yang memanjakan.
Bangsa Indonesia pribumi kini prihatin dengan kiblat negara yang sepertinya mengarah ke negara Cina. Meski tidak identik dengan PKI tapi komunisme sudah pasti. Cina sedang bergerak membangun hegemoni. Dari investasi, hutang luar negeri, jalur sutera, hingga menjadikan agen Partai Komunis Cina orang Cina perantauan (diaspora).
UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis telah disalahgunakan untuk memproteksi ras yang tak punya kebanggaan berbangsa. Ditambah dengan Instruksi Presiden No 26 tahun 1998 yang melarang penggunaan sebutan pribumi dan non pribumi. Hal ini membuat "pribumi" makin terjepit. Oleh karenanya untuk melepaskan bangsa Indonesia ini dari berkiblat ke Cina, hendaknya kedua aturan di atas harus ditinjau atau diperbaiki kembali.
Biarlah pribumi kuat, mandiri, dan terlindungi. Bangsa dan negara ini dimerdekakan sebagian besarnya oleh kontribusi warga pribumi.
Bangsa Tionghoa adalah yang paling minim menjadi pejuang kemerdekaan. Sangat ironi jika dikemudian hari justru bangsa ini yang berlindung di status WNInya telah menjadi tuan di negara Republik Indonesia. Sementara pribumi merasa terpinggirkan.
Para pejabat dan aparat tidak boleh menutup diri dari kenyataan ini. Rakyat sudah sangat prihatin. Fasilitas dan kekayaan yang dimiliki oleh non pribumi jangan dijadikan sebab untuk menempatkan kaum pribumi sebagai warga kelas dua atau mungkin kelas tiga. Lalu mereka menjadi kelas yang istimewa. Kiblat Cina mesti dihentikan.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!