Senin, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 18 November 2019 18:44 wib
3.143 views
BPJS Merugi dan Premi Tinggi, Rakyat Jadi Korban Lagi
Oleh:
Puput Hariyani, S.Si, pemerhati masalah sosial
SETIAP orang mendambakan hidup sehat. Namun hari ini sehat itu mahal. Tak mudah dijangkau oleh sembarang orang. Pameo “Orang miskin dilarang sakit” sepertinya masih relevan untuk menggambarkan keadaan yang ada. Pasalnya orang sakit harus merogoh kocek dalam-dalam untuk membayar sejumlah premi agar mendapatkan pelayanan.
Celakanya, premi BPJS yang selama ini dibayarkan belum mampu menutupi defisit keuangan. Kini rakyat kembali dipusingkan dengan rencana menteri keuangan Sri Mulyani untuk menaikkan iuran BPJS hingga dua kali lipat. Alasannya agar keuangan BPJS yang selama ini defisit menjadi sehat (Republika.co.id).
Per 1 januari 2020 mendatang iuran kelas mandiri 1 dinaikkan menjadi 100%, dari Rp.80 ribu masyarakat harus siap membayar Rp.160 ribu per orang setiap bulannya, begitupun kelas lainnya. Kenaikan premi BPJS ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani pada 24 Oktober 2019.
Sebelumnya beberapa upaya menyelamatkan keuangan BPJS sudah pernah dilakukan. Diantaranya mendorong pemerintah membayar penuh iuran penerima bantuan berikut TNI, Polri dan ASN untuk tahun 2019 yang semestinya dibayar secara bulanan. Namun ternyata upaya itu dipandang belum cukup, bahkan tahun ini diperkirakan BPJS terancam defisit hingga Rp.32,8 triliyun dan disaat yang sama BPJS menghadapi hutang jatuh tempo sebesar lebih dari RP.11 Triliyun. Maka dengan skema iuran yang baru ini, Sri Mulyani berharap BPJS bisa diselamatkan.
Berkaitan dengan sistem skema kesehatan ini sebenarnya sejak awal dinilai oleh beberapa pihak sangat bermasalah dan sudah cukup lama menuai pro kontra. Hal utama yang memberatkan adalah skemanya berupa asuransi social. Kalau asuransi pasti bersifat wajib meskipun katanya pendekatan sosial. Tetapi pada faktanya unsur-unsur yang terlibat tidak bisa lepas dari keuntungan profit semisal rumah sakit, dokter, perawat, direksi BPJS. dll.
Kemudian skema ini berkembang menjadi lembaga profit maka wajar jika terus dinaikkan. Konsep gotong royong dalam skema BPJS juga ambigu. Kalau gotong royong seharusnya bersifat sukarela. Namun dikatakan keikutsertaanya bersifat wajib. Apalagi pada kenyataannya sangat membebani rakyat, sehingga jelas bukan lagi gotong royong.
Kenaikan iuran BPJS disinyalir sebagai akibat kinerja keuangan BPJS yang terus merugi sejak lembaga ini berdiri pada 2014 (Kompas.com). Disisi lain kenaikan premi BPJS kesehatan juga bisa menimbulkan persoalan lain. Betapa kebijakan yang tak bijak ini akan menambah beban rakyat yang semakin berat.
Secara pasti pengeluaran masyarakat akan bertambah. Disaat yang sama masyarakat juga harus siap-siap menanggung kenaikan seperti yang telah disebut oleh pejabat terkait seperti tarif dasar listrik karena subsidi akan dikurangi. Kenaikan TDL ini tentu akan berdampak luas karena listrik merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan dalam kegiatan ekonomi yang lain, sehingga barang-barang ekonomi pun akan naik, diikuti inflasi pastinya.
Ditengah kesulitan ekonomi yang terus tidak merata akibat tatanan kehidupan yang berpijak pada sistem kapitalisme-neoliberal hanya menguntungkan pihak kapital. Kini masyarakat harus kembali menerima pesakitan yang bertubi-tubi. Ironi yang terus menggelayuti masyarakat ketika kita berpaling dari hukum-hukum Allah.
Dalam sistem ini negara diminimalisir pelayanannya terhadap rakyat. Sementara rakyat didorong untuk melakukan swadaya untuk mengurusi secara mandiri kebutuhan komunal mereka seperti kesehatan, pendidikan pun juga keamanan.
Pihak swasta diberi peluang selebar-lebarnya untuk berebut mengelola kepentingan publik sehingga mereka pun merampok keuntungan sebesar-besarnya dari rakyat tanpa terikat batasan apapun baik norma ataupun agama. Prinsipnya adalah dimana ada peluang disitu ada kesempatan yang harus dimanfaatkan.
Kesehatan dalam Islam
Rasulullah SAW bersabda, “Imam (khalifah) yang menjadi pemimpin manusia adalah laksana penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al-Bukhari). Dalam Islam negara memiliki tanggungjawab penuh untuk menjamin dan memastikan terpenuhinya kebutuhan asasi rakyatnya salah satunya adalah kesehatan. Penguasa menjadi pihak terdepan dalam pencegahan dan peniadaan penderitaan publik.
Dengan demikian negara tidak diperbolehkan hanya berfungsi sebagai fasilitator atau sekedar regulator dalam urusan kepentingan publik. Negara akan mengelola kekayaan negara untuk menjalankan berbagai fungsi dan tanggungjawabnya. Seluruh rakyat akan mendapatkan pelayanan yang sama baik kaya atau miskin.
Pelayanan kesehatan dimasa kejayaan Islam terbukti menjadi teladan pelayanan kesehatan terbaik. Negara menerapkan konsep anggaran mutlak dengan memenuhi seberapapun biaya yang dibutuhkan untuk kesehatan tanpa memungut iuran kepada rakyat. Dipastikan pelayanan kesehatan cepat, tepat dan berkualitas.
Ketersediaan rumah sakit baik di kota besar maupun kota kecil sangat diperhatikan. Berikut ketersediaan tenaga medis, dokter, alat-alat kesehatan, obat-obatan dan berbagai sarana penunjang lainnya. Siapapun yang datang ke rumah sakit diperlakukan dengan rasa terhormat dengan pelayanan prima.
Semua itu terealisasi dalam sebuah negara yang dipimpin oleh seorang Imam yang takut kepada Rabbnya sehingga kepemimpinannya berpijak pada hukum-hukum buatan Tuhannya, yakni dengan penerapan Islam secara menyeluruh. Demikianlah fakta sejarah yang terlanjur terukir dalam peradaban Islam. Tidakkah kita merindukannya. Wallahu’ Alam bi ash-shawab.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!