Kamis, 5 Jumadil Awwal 1446 H / 11 Juli 2019 08:24 wib
9.216 views
Kekeringan Melanda, Tanggung Jawab Siapa?
Oleh:
Aishaa Rahma
KEKERINGAN di berbagai tempat di Indonesia - baik di area pertanian maupun di perkotaan- telah berlangsung beberapa dekade ini, semua menjadi pandangan publik yang memilukan. Masih segar di ingatan, bila musim hujan tiba, kita selalu tergopoh-gopoh dengan datangnya banjir bandang yang merendam berbagai kota di Indonesia. Pertanyaannya, ada apa dengan semua ini, mengapa banjir baru usai lalu disusul dengan kekeringan dimana-mana?
Ketakutan baru mulai muncul sebab 3 hingga 4 bulan setelah kekeringan, banjir akan kembali menerjang. Sedangkan langkah untuk mengantisipasi hal itu masih belum terpadu. Melansir dari Sindonews, Sebagian kepulauan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara harus bersiap-siap menghadapi kekeringan. Antisipasi urgen dilakukan karena kekeringan yang akan terjadi terbilang panjang dan ekstrem. Peringatan itu disampaikan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) berdasarkan hasil monitoring hari tanpa hujan (HTH) hingga tanggal 30 Juni 2019. Beberapa daerah di Jawa yang berpotensi mengalami kekeringan antara lain Sumedang, Gunungkidul, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Gresik, Tuban, Pasuruan, dan Pamekasan.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta Kementerian Pertanian (Kementan) mengaku sudah mengantisipasi ancaman kekeringan. Kementerian PUPR misalnya telah menyiapkan sumur-sumur dan mobil tangki. Sebelumnya BNPB sudah mengingatkan pemerintah daerah untuk bersiap menghadapi cuaca ekstrem kekeringan yang berlangsung cukup panjang. “Dari hasil analisis BMKG, teridentifikasi adanya potensi kekeringan meteorologis yang tersebar di sejumlah wilayah,” ujar Deputi Bidang Klimatologi, Herizal kemarin.
Berdasarkan catatan BMKG, wilayah yang memiliki potensi kekeringan adalah yang telah mengalami HTH lebih dari 60 hari dan diperkirakan curah hujan rendah alias kurang dari 20 mm dalam 10 hari mendatang dengan peluang lebih dari 70%. Daerah itu meliputi Bekasi, Karawang, dan Indramayu di Provinsi Jawa Barat; beberapa daerah di Jawa Tengah; sejumlah daerah di Jawa Timur; Bantul, dan sekitar Yogyakarta; Buleleng (Bali); Nusa Tenggara Timur; juga di sekitar Nusa Tenggara Barat.
Kemudian untuk wilayah dengan status siaga potensi kekeringan adalah yang mengalami HTH lebih dari 31 hari serta prakiraan curah hujannya rendah kurang dari 20 mm dalam 10 hari dengan peluang lebih dari 70%. Daerah itu adalah Jakarta Utara dan Banten yang meliputi Lebak, Pandeglang, dan Tangerang. Adapun wilayah waspada kekeringan yang telah mengalami HTH lebih dari 21 hari dan prakiraan curah hujannya rendah atau kurang dari 20mm dalam 10 hari dengan peluang lebih dari 70%. Meliputi beberapa daerah di Aceh, Kalimantan dan Sulawesi. Monitoring terhadap perkembangan musim kemarau menunjukkan berdasarkan luas wilayah, 37% wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau dan 63% wilayah masih mengalami musim hujan. Bahkan dengan curah hujan yang cukup tinggi.
Solusi Parsial, Menuntaskan?
Pemerintah tengah berkoordinasiv dengan BMKG agar bisa memetakan wilayah mana saja yang mengalami kekeringan. Sedangkan dari pihak Kementan, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Sarwo Edhy mengatakan pihaknya melakukan optimalisasi pompa di sejumlah wilayah terdampak. Bahkan, kata dia, penggunaan pompa-pompa sudah dilakukan sejak empat tahun terakhir.“Sudah kita instruksikan kepada petani dan kelompok tani untuk mengoptimalisasi pompa yang kami beri. Kita instruksikan mereka memompa air dari sungai terdekat,” kata Sarwo Edhy di Jakarta, Rabu (3/7).
Adapun untuk lahan kering yang berlokasi jauh dari sungai, menurut dia, petani dapat memanfaatkan sumber air permukaan. Dia menjelaskan, sumber air permukaan tersebut perlu diukur terlebih dahulu tingkat kemampuannya untuk kemudian baru dapat diinventarisasi ke beberapa lokasi titik lahan yang terdampak kekeringan. Dalam kurun empat tahun terakhir, Kementan telah mengalokasikan sekitar 200.000-an pompa dengan berbagai jenis ukuran.
Kekeringan yang melanda berbagai daerah, menyebabkan kondisi masyarakat memprihatinkan. Seperti di Jawa Barat. Pasalnya hampir separuh atau sekitar 47% jaringan irigasi di provinsi ini mengalami kerusakan, mulai rusak ringan, sedang hingga berat. Kondisi tersebut mengakibatkan pasokan air untuk lahan pertanian, khususnya sawah terhambat. Ditambah kondisi pasokan air yang kian tipis seiring masuknya musim kemarau yang kini sudah terjadi di seluruh wilayah, dikhawatirkan berdampak pada produksi padi alias gagal panen.
Kondisi menyedihkan juga menimpa sebagian warga di wilayah Wonogiri, pasalnya dampak dari kekeringan tersebut membuat warga rela menukar perhiasan dengan sejumlah air bersih layak konsumsi. Diberitakan melalui detikNews.com, air bersih menjadi barang berharga di kawasan langganan kekeringan Wonogiri, Jateng. Sudah menjadi tradisi tahunan, warga mulai menjual perhiasan dan ternak untuk membeli air bersih. "Kami di Paranggupito biasa menjual perhiasan emas, sepeti cincin atau kalung, nanti uangnya untuk membeli air bersih. Kadang menjual ternak seperti kambing atau sapi, juga buat beli air," ungkap Jimin, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Gunturharjo, Kecamatan Paranggupito, Jumat (5/7/2019).
Menjual perhiasan dan ternak, terpaksa dilakukan karena sebagian warga sudah tidak memiliki persediaan finansial yang mencukupi. Ditambah hasil pertanian yang tidak bisa diandalkan pada musim kering seperti ini. "Tidak ada panenan untuk saat ini. Kacang tanah tidak berbuah karena tidak ada air. Persediaan panenan musim lalu juga sudah habis dijual. Lebaran kemarin, famili yang mudik membawa uang, namun juga sudah habis dibelikan air bersih," jelas Jimin. Untuk diketahui, harga air bersih, saat ini mencapai Rp 150 ribu per tangki ukuran 6000 liter. Harga tersebut bisa melonjak hingga Rp 170 ribu ketika puncak kemarau tiba.
Sementara itu Koordinator PPL Kecamatan Eromoko, Tursi, menyebutkan sekitar 300 hektare lahan pertanian mengering di kecamatan tersebut. Ada sumber air di salah satu desa. Namun untuk mengalirkan air butuh mesin pompa dengan kapasitas besar. Bupati Wonogiri Joko Sutopo mengakui kekeringan telah menjadi langganan bagi sekitar 31 desa di 7 kecamatan di Wonogiri bagian selatan. Hampir bisa dipastikan setiap kemarau tiba, air menjadi barang langka sehingga warga terpaksa harus membeli. Program mengatasi kekeringan yang dijalankan selama ini, diakuinya masih bersifat penyelesaian masalah sementara. Pemberian bantuan air bersih misalnya, dinilai cenderung memanjakan warga. "Harus kita putus mata rantai kekeringan. Perlu solusi permanen, bukan solusi jangka pendek yang hanya memanjakan masyarakat," jelas Joko.
Kalau sudah begini, kemana masyarakat berharap solusi tuntas. Pemerintah terlihat sudah kewalahan, dan angkat tangan. Lantas, kemana umat harus mengadu?
Memahami Masalah Lebih Dalam, Salah Kita?
Soal banjir, kekeringan, dan lingkungan atau permasalahan sumber daya air secara umum, selama sepuluh sampai dua puluh tahun ke depan diyakini oleh banyak pihak merupakan masalah yang sangat serius. Penanganan dengan metode parsial rekayasa prasarana sipil murni yang selama ini dijalankan justru banyak membawa dampak negatif dan sering menguras dana yang sangat mahal. Oleh karena itu, perlu adanya konsep baru dan pemahaman baru yang lebih relevan, komprehensif dan secara sistemik mempunyai nilai lebih yang signifikan dibanding yang sudah dijalankan.
Untuk mengkaji lebih dalam kedua kejadian (banjir dan kekeringan) tersebut perlu di kemukakan faktor-faktor penyebab kekeringan dan banjir secara menyeluruh. Berdasarkan kaidah ilmu pada hidrologi dan keseimbangan daerah aliran sungai ( DAS), banjir dan kekeringan merupakan "saudara kembar" yang pemunculannya datang susul-menyusul. Faktor penyebab kekeringan sama persis seperti penyebab banjir, keduanya berperilaku linier-dependent artinya semua faktor yang menyebabkan kekeringan akan bergulir mendorong terjadinya banjir. Semakin parah kekeringan yang terjadi, semakin dahsyat pula banjir yang akan menyusul dan hal yang demikian berlaku sebaliknya.
Terdapat beberapa faktor penyebab kekeringan dan banjir, diantaranya ialah faktor iklim ekstrem (kemarau ekstrem dan hujan ekstrem), faktor penurunan daya dukung DAS (termasuk didalamnya faktor pola pembangunan sungai), faktor kesalahan perencanaan dan implementasi pengembangan kawasan, faktor kesalahan konsep drainase dan faktor kesalahan perilaku masyarakat.
Faktor iklim ekstrem dapat menyebabkan kekeringan dan banjir yang tak terkendali. Misalnya kemarau panjang atau hujan badai ekstrim yang kesemuanya dipengaruhi oleh iklim makro global. El- Nino La- Nina misalnya, bergerak diantara kepulauan Indonesia dan Panama-Chili, selain itu TIFCA Hurricane yaitu badai dahsyat dengan lama hujan masing-masing mencapai 24 jam dan 72 jam pernah terjadi di Banjarnegara, Jawa tengah.
Kondisi iklim ekstrim ini tidak bisa dielakkan dan dapat menyebabkan kekeringan dan banjir. Hal seperti ini bisa dikategorikan ke dalam natural disaster (bencana alam) yang sulit diatasi. Masalahnya ialah, jika kondisi iklim ekstrem semacam ini terjadi sedangkan kondisi daya dukung DAS sangat jelek, dampak kekeringan dan banjir yang terjadi akan semakin parah. Maka cara mengatasi faktor iklim ekstrem ini mesti dilakukan secara global bersama negara-negara lain.
Hancurnya daya dukung DAS merupakan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kekeringan dan banjir. DAS berdaya dukung rendah diduga karena dengan perubahan tata guna lahan dari daerah tangkapan hujan dengan koefisien aliran permukaan rendah (sebagian besar air hujan diresapkan ke tanah). Kemudian berubah menjadi tanah terbuka dengan koefisien tinggi (sebagian besar air hujan menjadi aliran permukaan). Rendahnya daya dukung DAS dapat diamati dengan semakin mengecilnya luas area hutan, tidak terurus nya lahan pertanian, semakin luasnya lahan untuk hunian dan prasarana, serta semakin banyaknya tanah terbuka atau tanah kritis.
Akibat hancurnya DAS, banjir akan terjadi pada musim hujan terutama di daerah hilir dan tengah, misalnya di Jakarta, Medan, Surabaya dan Semarang. Hal ini disebabkan seluruh air pada musim hujan dengan cepat mengalir ke hilir sehingga simpanan air di hulu menjadi sangat berkurang. Akibatnya, pada musim kemarau tidak ada lagi aliran air menuju ke hilir. Hal ini biasanya ditandai dengan surut atau keringnya sungai-sungai kecil terlebih dahulu, disusul sungai menengah kemudian sungai besar. Sebagai contoh akibat yang terjadi ialah transportasi air yang macet (banyak terjadi di Sumatera dan Kalimantan), debit bendung irigasi yang berkurang secara drastis hingga pertanian kolaps (banyak terjadi di Jawa), permukaan air tanah yang turun drastis sehingga sumur-sumur perlu di diperdalam. (banyak terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta), dan menghilangnya atau matinya mata air (seperti di Gunung kidul dan daerah lainnya).
Daya dukung DAS untuk menanggulangi kekeringan sekaligus banjir hanya dapat ditingkatkan dengan partisipasi masyarakat melalui program penyelamatan DAS yang menyeluruh. hal ini dilakukan dari hulu sampai ke hilir di perkotaan maupun pedesaan dengan cara mengaktifkan reservoir- reservoir alamiah, pembuatan resapan resapan air hujan alamiah dan pengurangan atau menghindar sejauh mungkin pembuatan lapisan keras permukaan tanah yang dapat berakibat sulitnya air hujan meresap ke tanah.
Pola pembangunan sungai juga menymbangkan masalah, yaitu dengan normalisasi, pelurusan, sudetan, pembuatan tanggul sisi, pembetonan dinding tebing dan pengerasan tebing hingga dasar sungai. Nampak sungai sungai di Indonesia dekade terakhir ini juga mengalami hal serupa. Inti pola ini adalah mengusahakan air banjir secepat-cepatnya dialirkan ke hilir, pola ini belum perhatikan peningkatan tendensi kekeringan yang akan terjadi pada musim kemarau. Pada pola ini seluruh air diusahakan dibuang ke hilir secepat-cepatnya, otomatis keseimbangan air akan terganggu dan tidak ada air yang mengalir di daerah hulu lagi pada musim kemarau.
Jika ditinjau dari kacamata ekologi dan hidraulik, pola pembangunan sungai ini sungguh sangat merusak. Di samping akan merusak ekosistem sepanjang sungai, pola ini juga merusak equilibrium hidraulika sungai sehingga bisa mengakibatkan banjir pada musim hujan dan kekeringan serta penurunan muka air tanah pada musim kemarau ( Patt et al 1999: Maryono dan Hutte 2000). Perlu kiranya bagi masyarakat dan pemerintah untuk mengubah pola pikir ini.
Terjadinya kesalahan dalam perencanaan dan implementasi dalam pengembangan kawasan, juga berandil dalam soal ini. Di seluruh Indonesia dewasa ini belum memasukkan faktor konservasi sumber daya air sebagai faktor dominannya. Bahkan, tiga dasawarsa yang lalu perencanaan regional hanya dipercayakan sepenuhnya kepada ahli-ahli perencanaan yang sedikit mengerti permasalahan persungaian, kekeringan, banjir, dan ekologi. Hasil akumulasi kesalahan ini salah satunya ialah pola sebaran pengembangan kawasan dan sarana yang kontradiktif dengan upaya penanggulangan berbagai permasalahan. Penyebaran pemukiman di sebagian besar kota-kota di Indonesia mengikuti penyebaran merata pola horizontal (lihat Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dll). Ssehingga dalam waktu kurang dari 10 tahun seluruh DAS telah berubah menjadi hunian yang tersebar merata. Akibatnya sangat buruk, seluruh DAS rusak.
Belum lagi, soal Sosio- Hidraulik yang diartikan sebagai pemahaman sosial tentang masalah yang berkaitan dengan keairan dan konservasinya. Selama masyarakat di kota maupun di desa belum paham tentang keterkaitan antara daerah hulu dan hilir, banjir dan kekeringan, sampah-pendangkalan, pengambilan air tanah besar-besaran dan kekeringan serta intrusi air laut,penebangan pohon/hutan dan banjir serta kekeringan ekosistem sungai, juga terkait bagaimana atau dengan cara apa seharusnya mereka berbuat, pemahaman terhadap faktor Sosio-Hidraulik ini belum dicapai. Konsekuensinya sejumlah usaha yang dilakukan diluar peningkatan pemahaman ini hanya akan membawa sedikit hasil. Makanya perlu kesadaran masyarakat secara umum.
Islam Punya Solusi
Sistem Kapitalisme yang diterapkan saat ini memandang bahwa alam itu sebagai sumberdaya yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mendatangkan keuntungan materi. Dengan paham kebebasan kepemilikan telah membuat manusia mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam (SDA). Tanpa memikirkan dampak ke depan. Baru jika ada masalah, diselesaikan secara parsial, yang tentu tak mampu menuntaskan persoalan. Belum lagi tugas negara hanya sebagai regulator dan “sedikit” turun tangan langsung. Makanya sangat tak suka mengurus publik dengan detil, “khawatir memanjakan” itu dalihnya.
Sungguh kita perlu penguasa dan negara yang perduli, dan tak apa menjadi pihak yang menjamin segala yang dihadapi masyarakat. Sebagaimana sabda Nabi :
“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari)
Belum lagi jika bicara kesadaran masyarakat, dalam sistem kapitalis sudah lazim publik cenderung acuh. Yang penting urusannya beres. Masyakat yang islamy, akan sangat peduli karena perduli urusan umat adalah kewajiban. Semua berdoasa atas pengabaian masalah di sekitarnya. Maka mudah bagi seorang individu atau komunitas masyarakat yang bermasalah kekeringan atau kebanjiran dalam Khilafah. Mau ngadu jelas tempatnya, yaitu penguasa. Tetangga juga sangat peduli, dan saling menolong.
Apalagi dalam Islam, tidak ada yang luput sedikitpun di dunia ini tanpa adanya Syariah yang mengaturnya. Banyaknya peristiwa yang terjadi seharusnya menjadi cermin yang mengingatkan manusia atas kekeliruannya dalam mengelola sumber daya alam. Silih berganti musibah adalah wujud teguran atas dosa serta kedzaliman yang dilakukan oleh tangan- tangan manusia tak beradab. Sehingga hilir mudik petaka, baik di darat maupun di laut menjadi sanksi alam bagi manusia. Semakin banyak kerusakan terhadap alam yang dilakukan oleh manusia, semakin besar dampak yang akan dirasakan oleh mereka sendiri.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Supaya Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka. Agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (TQS. Ar-Rum:41).
Islam sebuah agama yang penuh Rahmat, di dalamnya telah disempurnakan hukum dan aturan yang sesuai bagi manusia. Dalam hal pengelolaan air sebagai kebutuhan vital masyarakat, Islam mengklasifikasikannya sebagai milik publik. Yang dimaksud air di sini seperti sungai, danau, waduk dsb. Dalam aturan Islam, negara wajib mengelola sepenuhnya untuk kemaslahatan rakyat, dan haram diserahkan kepada swasta. Tujuannya memudahkan masyarakat agar tidak kesulitan mengaksesnya. Negara turut mengupayakan pendistribusian sebaik mungkin agar masyarakat di mana pun bisa mendapatkan air dengan mudah. Termasuk mengoptimalkan pembiayaan dari Baitul Mal agar dapat mengembangkan teknologi mutakhir untuk melayani seluruh kebutuhan rakyat terhadap air, baik untuk air minum, industri, atau pun pertanian.
Juga wajib, negara mengatur pola pengembangan kawasan dengan tata kota terbaik dan menjauhkan dari pengalihan fungsi yang justru menyebabkan rusaknya alam, bumi di mana manusia tinggal. Negara juga wajib melakukan pengawasan terhadap alam dan pemanfaatan oleh masyarakat (untuk kebutuhan sehari-hari) melalui Muhtasib (pengadilan Hisbah) yang tugas pokoknya menjaga terpeliharanya hak publik secara umum. Negara juga wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada sungai,hutan, dll. Juga melakukan konservasi lahan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian dsb.
Sanksi ta’zir yang tegas oleh negara akan dijatuhkan kepada semua pihak yang merusak alam. Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara bahkan hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Pada prinsipnya, dengan adanya ta’zir akan menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan alam tidak terjadi lagi.
Melalui penerapan syariah Islam secara menyeluruhlah, semua mampu diwujudkan. Kekeringan maupun banjir yang merupakan kodrat alam, dapat diatasi secara tuntas dengan seperangkat aturan dan dinaungi oleh negara yang tunduk pada syariat. Sehingga kemaslahatan bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Allah berfirman : “ Jikalau sekiranya penduduk negeri ini beriman dan bertaqwa pastilah kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka.” (TQS.Al A’Raf : 96).
Semoga peristiwa yang terjadi ini dapat diambil sebagai iktibar untuk segera berbenah, agar rahmat bagi semesta bisa dirasakan seluruh anak beserta keturunan kita. Walahu’alam bish shawab.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!