Senin, 6 Jumadil Awwal 1446 H / 8 Juli 2019 10:51 wib
6.374 views
Legalitas Tanpa Legitimasi, Kuatkah?
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2019 sudah diketahui khalayak. Beragam respon terkuak. Bagi para pendukung kubu Prabowo-Sandi, tak ada kata takluk dan mengakui kemenangan kubu petahana. Bagi mereka kemenangan ini –lebih tepatnya “dimenangkan” tak perlu membuat mereka merasa kalah. Tweet Rocky Gerung di akun @rockygerung soal ini cukup mendapat sambutan hangat netizen. “ Jangan ngamuk lagi. Gue ucapin selamat. Selamat dimenangkan “ cuitnya. (twitter.com). Di-like 26,7 K , dan diretweet oleh 7,6 K. Mungkin ini sedikit mewakili perasaan publik, karena kubu 02 menurut KPU memperoleh suara lebih dari 68 juta.
Prabowo sendiri sudah menyatakan menghormati keputusan itu, tapi –maaf- tidak bisa ngasih selamat. Juga mereka berencana tidak hadir pas pengumuman pemenang Pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Beliau pun resmi mengakhiri masa tugas Koalisi Adil Makmur yang mengusungnya bersama Sandiaga Uno. “ Mandat yang diberikan oleh partai kepada Beliau sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden hari ini dikembalikan kepada partai masing-masing,” kata Wakil Ketua BPN, Ahmad Muzani, Kamis (28/6) di Media center PAS di Kebayoran Baru, Jakarta. Momen itu dihadiri perwakilan partai koalisi, yakni dari PAN, Partai Demokrat dan Partai Berkarya. (Eramuslim.com, 29/6).
Sepertinya publik – pendukung dan simpatisan 02- telah sangat yakin bahwa telah terjadi berbagai kecurangan terstuktur, sistematis dan masif (TSM) pada perhelatan pemilu 17 April kemaren. Apalagi sempat viral ketika dalam persidangan MK terungkap soal “Kecurangan Bagian dari Demokrasi”.
Belum lagi ada beberapa orang yang bersaksi mulai soal situng yang tidak “kredibel” dan sering salah input, DPT dan TPS siluman, beberapa surat suara dicoblos petugas KPPS, dsb. Ditambah fakta kalau dikaitkan dengan kondisi kampanye paslon 01 yang berbanding terbalik dengan klaim “kemenangan”-nya alias sepi. Namun semua dimentahkan oleh para hakim MK. Intinya semua bukti ditolak, dan bisa diartikan kecurangan itu tidak terbukti. Lebih detil lagi, kecurangan –kalau pun ada- tidak dianggap signifikan mempengaruhi hasil suara kedua paslon. Nah! Siapa yang tidak kecewa dan sakit hati.
Kubu 01 tak kalah seru, mereka menyindir bahwa pendukung prabowo gagal move on padahal tak bisa membuktikan tuduhan mereka. Fix Jokow-Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Meski ditimpali tangisan duka Barisan Emak-emak Militan (BEM) yang selama ini istiqomah di garda terdepan bela paslon 02. (cnnindonesia). Bahkan keberanian dan semangatnya mengalahkan BEM – Badan Eksekutif Mahasiswa.
Lalu bagaimana melihat kemenangan dan kedudukan petahana dikaitkan dengan begitu besar gelombang penolakan publik ? Apa kekuasaan itu bisa kuat berdiri tegak, jika tidak ditopang seluruh warga negara? Legalitas mereka punya, lalu mengapa tetap minta rekonsiliasi?
Demokrasi dan posisi rakyat
Di alam demokrasi -yang lahir dari rahim ideologi Sekuler- sebenarnya suara rakyat (katanya) adalah suara Tuhan. Kedaulatan ada di tangan rakyat. Bahkan aturan Tuhan pun bisa disingkirkan kalau rakyat tak mau memakainya. Makanya ada parlemen alias wakil rakyat. Ada penguasa yang dipilih oleh rakyat. Saking berharganya suara rakyat.
Sayang pada prakteknya, di tangan kapital (pemilik modal) –lah sebenarnya kedaulatan. Suara kapital adalah suara Tuhan. Peran kapital sangat besar, mulai menentukan calon penguasa, siapa yang dipilih , dan atas dasar kepentingan apa dia jadi penguasa. Bisa terjadi yang haram dilakukan agar bisa meraih tujuan, yang penting maunya kapital goal!
Isu soal kapital besar yang mendanai para calon pemimpin sudah lama beredar. Hal seperti inilah yang dimafhumi publik, sehingga mustahil seorang yang baik juga amanah untuk maju menjadi calon, jika dia tidak punya modal (kapital). Dan pada faktanya, di mana pun negaranya atau siapa pun orangnya, uang sangat penting untuk mendongkrak elektabilitas demi pencitraan, membayar pasukan buzzer atau untuk “serangan fajar” jika ia tak punya massa real.
Maka wajar ada rasa pesimis, suara rakyat akan terwakili. Golputer naik terus angkanya di negara-negara Demokrasi. Survei oleh The Economist Intelegence Unit (EIU) terkait indeks Demokrasi di Indonesia dinyatakan telah “terjun bebas” 20 peringkat dari posisi 48 pada 2016. Salah satu yang dinilai adalah partisipasi politik dan kebebasan sipil. (liputan6.com, 11/3/2018). Siti Zuhro, pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan beberapa faktor menjadi penyebab rendahnya indeks, antar lain hak-hak sipil seperti kebebasan berpendapat yang rendah. Juga partisipasi politik yang semu dan lunturnya kemuliaan nilai-nilai yang menopang tegaknya kualitas sebuah demokrasi. (idntimes.com, 1/8/2018).
Tim riset The Economist menyimpulkan bahwa merosotnya demokrasi di berbagai negara –termasuk Indonesia- berkaitan dengan kekecewaan masyarakat dengan implementasi sistem ini di negara mereka tinggal. Pada prakteknya, demokrasi tidak serta merta membuat apa yang menjadi keinginan masyarakat terpenuhi. Misalnya pelayanan publik yang baik, kebebasan pers dan berpendapat. Termasuk juga soal hak-hak asasi manusia yang terabai. Di Indonesia sendiri, menurut Rizqi Bachtiar, peneliti dan dosen Universitas Terbuka Malang, mengatakan bahwa revisi UU MD3 telah disinyalir akan membatasi hak berpendapat masyarakat sipil. Hukum terkait hate-speech atau pencemaran nama baik telah berpotensi membatasi kebebasan berpendapat. (detik.com, 5/3/2018).
Saat ini kasus penindakan akibat tersangkut UU ITE di tengah publik juga sangat marak, sempat menyeret nama antara lain seperti Jonru Ginting dan BunYani. Sehingga ini diduga kuat memunculkan sinisme dan kekhawatiran untuk bersuara yang berbeda alias mengkritik rezim. Belum lagi soal isu makar yang sempat marak menjelang pengumuman pemenang Pilpres 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemaren. Kasus-kasus yang kasat mata, tentu bisa menjelma menjadi bentuk penolakan pada sosok penguasa dan aparat pendukung? Bisa jadi.
Faktanya, memang sulit untuk tidak mengakui bahwa di sistem Demokrasi yang sudah diterapkan puluhan tahun di negri tercinta ini telah banyak hal yang “melenceng”. Maksudnya menyimpang dari asas Demokrasi itu sendiri. Dengan jargon yang masyhur “ dari rakyat , oleh rakyat dan untuk rakyat” , ternyata rakyat tak bisa menentukan semuanya. Bahkan penentu kemenangan di pemilu bukanlah suara rakyat, tapi tergantung ketetapan panitia penghitung suara alias KPU. Masih bisa yakin suara rakyat adalah suara Tuhan? Lebih jauh lagi masih percaya sistem ini ?
Pemimpin Tanpa Legitimasi : Rapuh?
Menjadi penguasa itu penting mendapatkan legalitas. Legalitas itu ada pada perangkat perundang-undangan, seperti Pemilu dan perangkat perangkatnya. Rezim petahana sudah punya itu. “Dan jika muncul sengketa dapat diselesaikan di MK, misalnya. ITU LEGALITAS,” demikian kata ustaz Tengku Zulkarnain. Tapi, kata beliau, legitimasi tetap ada di hati rakyat. Dan legitmasi itu bisa dirasakan di hati dan perasaan, mesti terkadang semuanya dapat dibenamkan oleh perangkat dan oknum-oknum yang ada.
“Jadi tidak usah heran jika di satu negeri ada penguasa yang berkuasa secara LEGAL, tapi tidak mendapatkan LEGITIMASI di hati rakyatnya,” tambahnya, sebagaimana yang tertulis di akun IG-nya. Penguasa tersebut jika sadar diri dan berhati besar, tentu akan mengundurkan diri agar diganti dengan orang lain yang memenuhi aspek legalitas sekaligus meraih legitimasi dari rakyatnya. “Bukankah legalitas itu dapat diserahkan kepada orang yang memperoleh Legitimasi? Sehingga dengan demikian diharapkan akan majulah keberadaan negara tersebut.” Namun sangat disayangkan, sepanjang dunia terbentang, jarang, atau bahkan hampir tidak ada penguasa seperti itu. “Akankah ada sosok kejutan yang muncul? Wallahu a'lam bishshowab,” lanjutnya. (voa-islam.com)
Rocky Gerung pun berpendapat demikian, menurutnya agak ajaib sesorang yang memenangkan Pilpres yang seharusnya berpesta, justru hatinya tidak lega. Itu karena legitimasi ada pada Prabowo. (eramuslim.com)
Legitimasi ini erat kaitannya dengan dukungan dari rakyat. Atau seberapa jauh masyarakat bisa menerima dan mengakui kebijakan sang pemimpin terpilih. (wikipedia). Jadi pemerintah akan terus ketar-ketir dengan berbagai kebijakannya yang “susah” didukung publik. Atau akan terus dianggap gagal mengurusi masyarakat, karena tidak disukai rakyat.
Betapa rumit untuk meraih legitimasi kalau fakta yang terjadi tak semanis janji kampanye. Atau pas maju kedua kalinya, pencitraan di ruang publik “ketebak” masyarakat. Terlalu maksa, kata netizen. Misal ngakunya Umar bin Khothob tapi pas ketemu masyarakat kalau ditanya mengapa ini dan itu, malah disuruh tanya mentri yang bersangkutan. Bukannya berusaha bertanggungjawab atas amanah kepemimpinan bak Umar di masa kekhilafahan dulu. Sampai rela memanggul sendiri gandum untuk kepentingan rakyatnya. Rasanya jauuh bak langit dan bumi. Mentrinya pun tak jauh beda, jawabnya as-bun. Liat bagaimana pas harga ayam anjlok, lha malah suruh dibagikan gratis. Apa ini? Bukannya memberi solusi, malah bikin puyeng. Semua membuat publik “susah lupa “ – meminjam lirik lagu Mantan Terindah-nya Raisa.
Lalu masih berharap dengan ikhlas publik menyerahkan keridhoaannya ? Tentu ini seperti pungguk merindukan bulan alias imposebel drim. Penguasa dengan legalitas tapi minus legitimasi dan keridhoaan publik itu, bagaikan sabda Nabi Saw : “ Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka pun melaknat kalian” (HR. Muslim). Ini disebut imarah as-sufaha atau pemimpin yang dungu , dan rakyat tak bisa mencintainya.
Mengapa rakyat membencinya? Karena dia telah menyimpang dari hukum-hukum Allah, dan kerap mengkhianati amanah, rajin berbohong pula. Apalagi sungguh sangat sering terjadi kriminalisasi ulama, dan penistaan agama. Lihat kasus pembakaran bendera tauhid, kasus perempuan non muslim yang masuk mesjid (bawa anjing pula), atau wacana penghapusan pelajaran agama . Ujung-ujungnya, umat disuruh diam dan sabar, tidak reaktif. Ah, siapa yang sanggup dibegitukan terus oleh rezim dan “pemandu sorak” nya? Mayoritas tapi rasa minoritas, kata netizen.
Sampai kapan rakyat cuma disapa dan dibutuhkan pas menjelang pemilu? Setelah itu balik lagi, kebijakan “menyengat” rakyat tak segan dikeluarkan. Mereka pikir publik bodoh, mau ditipu berkali-kali? Rasulullah Saw bersabda : “ Tidaklah seorang mukmin tersengat bisa dari lubang (binatang berbisa) yang sama sebanyak dua kali.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra). Tentu yang beriman kepada Allah dan yaumul akhir, tak kan mau!
Maka rezim seperti ini akan rapuh, tak punya basis dukungan real rakyat. Miris juga.
Islam dan penguasa yang dicinta
Sistem bobrok saat ini sangat tak layak dipertahankan. Un-install Demokrasi-Kapitalis, ganti dengan Islam. Karena Allah Swt yang Maha Sempurna telah menyediakan sistem terbaik bagi umat manusia, yaitu sistem politik Islam (Khilafah). Sebuah sistem yang sangat manusiawi, tapi dengan aturan yang sangat lengkap. Termasuk mekanisme pemilihan pemimpin yang kredibel dan mendapat legitimasi publik. Sebagaimana yang dicontohkan para Khulafaur Rasyidin.
Firman Allah Swt : “Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apa bila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. ”(TQS. An-Nisaa : 58).
Maka ketika pemimpin itu adil dan amanah, rakyat pun tak sulit untuk mencintai dan mentaatinya. Pemimpin yang memiliki legitimasi di dalam Islam harus mampu memenuhi dua hal : pertama, menerapkan hukum Allah dalam seluruh aspek, baik terkait dirinya sendiri atau pun dengan rakyat. Termasuk menegakkan peradilan pidana Islam (seperti had bagi pezina, peminum khamr, pencuri, dll). Kedua, amanah dalam memelihara urusan rakyat, seperti menjamin agar kebutuhan dasar –sandang, pangan dan papan- masyarakat terpenuhi, dengan murah dan mudah. Pendidikan, kesehatan dan keamanan terjamin. Juga mampu menjaga kedaulatan negara dan kesucian agama.
Pemimpin yang Syar’i sungguh sangat penting kehadirannya saat ini. Bahkan Rasul Saw mengatakan : “ Satu hari di bawah pemimpin yang adil lebih utama ketimbang ibadah 60 tahun dan satu had yang ditegakkan di bumi sesuai haknya, lebih baik dari hujan 40 tahun.” ( HR. Ath-Thabrani) . Maasya Allah.*
Mila Ummu Tsabita
Pegiat dakwah Muslimah Lit-Taghyir
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!