Jum'at, 6 Jumadil Awwal 1446 H / 5 Juli 2019 23:15 wib
3.659 views
Pertemuan Prabowo-Jokowi
Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)
Santer di medsos agenda pertemuan Prabowo dengan Jokowi di bulan Juli. Kepastian belum terkonfirmasi. Dinamika politik selalu menarik. Meski kadang membuat leher tercekik atau kepala berputar putar, pening. Tapi politik adalah hukum yang serba mungkin.
Asal kata "policy" bermakna "kebijakan" entah bijak sana atau bijak sini. Atau pijak sana pijak sini. Politik bisa bagian dari moral, bisa juga tak bermoral. Demi bangsa atau demi harta dan tahta. Politikus dapat menjadi negarawan atau menjadi tikus. Pencuri makanan dan penebar penyakit. Semua berkeliaran dengan motif masing masing baik pribadi kelompok atau partai.
Pertemuan tidak selalu positif. Pertemuan silaturahim tentu wajar saja. Tetapi pertemuan Diponegoro dengan kolonial Belanda justru malapetaka. Jebakan politik.
Konon politik adalah tawar menawar para elit. Jika dijalankan maka dampak justru sangat terasa pada pendukung dan rakyat secara keseluruhan. Bagi elit selalu untung untung saja. Sekurangnya jangka pendek.
Posisi Prabowo dilematis di satu sisi mulai ada sandera berupa "goodwill" dilepasnya dari tahanan tokoh dan aktivis pendukung Prabowo Sandi. Tentu tidak ada makan siang gratis. Kalimat terucap "terimakasih Prabowo" adalah berbiaya.
Di sisi lain Prabowo yang tetap merasa dicurangi ingin melanjutkan proses hingga Mahkamah Internasional. Relawan dan rakyat pendukung berharap lanjut perjuangan, tidak menyerah. Rekonsiliasi seperti rasional tapi sebenarnya tidak sederhana. Karena itu sama saja dengan pengakuan kekalahan diri atau kemenangan lawan. Memang Prabowo masih menggenggan kartu "kecurangan" untuk bargaining, akan tetapi "de jure" legalitas Jokowi menempatkan dirinya di atas angin. Perundingan merugikan Prabowo.
Pertemuan antara Jokowi dan Prabowo bulan juli demi persatuan nasional sepertinya mulia, tetapi sebenarnya menggelisahkan khususnya pendukung dan pejuang penegak kedaulatan rakyat. Bisa saja dianggap sebagai penghianatan perjuangan. Karena tak ada porsi kedaulatan yang bisa dinegosiasi. Hanya kepentingan kelompok dan partai saja yang mungkin sukses.
Bubarnya koalisi belum berarti lepasnya beban Prabowo di meja perundingan. Untuk partai mungkin iya tapi pendukung non partai urusan lain. Ya itu karena masalah kedaulatan rakyat yang terancam dan tak mungkin dinegosiasi. Pemerintah Jokowi disinyalir akan semakin jauh dari wujud kedaulatan ini. Posisinya menjadi "to be or not to be" yakni perlawanan diametral.
Terapi terbaik adalah tidak lakukan pertemuan demi rakyat. Prabowo melanjutkan perjuangan sebagai "Presiden de facto" sambil melangkah di kancah internasional. Jokowi bukan tanpa kelemahan, ada segudang persoalan yang menderanya. Yakin bahwa esok akan ada perubahan politik.
Prabowo harus keluar dari sekedar Ketum Gerindra menjadi Ketum perjuangan rakyat yang berkelanjutan. Tak perlu ada pertemuan hingga Oktober. Manuver masih bisa dilakukan. Politik itu sarat kemungkinan. Bertahan di keyakinan adalah kekuatan yang akan terus bergaung.
Jangan lari dari kepentingan rakyat yang bermisi mulia untuk menegakkan kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara. Bertahan untuk menjadi pahlawan adalah "the only choice" satu satunya pilihan.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!