Ahad, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 12 Mei 2019 08:30 wib
5.174 views
Menyoal Impor Bawang
MENJELANG Ramadhan, harga barang kebutuhan rumah tangga meroket, seperti biasa. Seolah menjadi tradisi, para ibu rumah tangga pun dibuat pusing dengan kenaikan yang seringkali tidak masuk akal. Salah satunya adalah bawang putih. Jika sebelumnya harganya berkisar 20.000-30.000, menjelang Ramadhan hingga masuk pekan pertama, harga di pasaran mencapai 60.000.
Menyusul harga yang meroket tersebut, secara tiba-tiba pemerintah membuka keran impor bawang putih. Kepala Dinas Perdagangan Jatim Drajat Irawan mengatakan ada 115 ribu ton bawang putih yang masuk ke Indonesia. Namun yang masuk melalui Tanjung Perak hanya 84 ribu ton.
Merespons hal itu, Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menilai kebijakan mengimpor saat harga sudah tinggi adalah kesalahan kebijakan, sebab pada dasarnya pengelolaan bawang putih mudah dilakukan dengan perhitungan permintaan dan kebutuhan.
Sederhananya, pemerintah sebenarnya dapat dengan mudah memperhitungkan kebutuhan bahan pangan masyarakat dengan ketersediaan di pasaran. Termasuk kebutuhan masyarakat pada kesempatan tertentu seperti bulan Ramadhan atau hari raya keagamaan. Sehingga tak patut menjadikan kenaikan permintaan sebagai alasan bagi melonjaknya harga kebutuhan pangan.
Apalagi jika hal ini pun dijadikan alasan bagi pemberian izin impor beberapa komoditas penting yang menjadi kebutuhan masyarakat seperti kedelai, cabai, garam, dan yang terbaru adalah bawang putih. Pertanyaanya, apakah impor harus menjadi satu-satunya solusi bagi kurangnya ketersediaan bahan pangan?
Ketergantungan impor bahan pangan negeri ini sudah berada pada angka yang mengkhawatirkan. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) sebanyak 60% bahan baku industri makanan dan minuman merupakan impor.
Mirisnya, impor pangan telah menjadi semacam lahan basah bagi pemangku kebijakan. Tak terhitung skandal korupsi berkaitan impor pangan. Sebagaimana laporan Rizal Ramli ke KPK pada Oktober 2018 lalu terkait delapan dugaan skandal impor pangan. Disinyalir ada pelebih-lebihan angka dari jumlah kebutuhan nasional. Hal ini tentu sangat merugikan produsen dalam negeri karena banyaknya penawaran akan menyebabkan harga merosot tajam. Sementara keuntungan besar didapatkan oleh importir dan pejabat yang meneken izin impor tersebut.
Impor menjadi konsekuensi logis dari era keterbukaan perdagangan internasional. Sebuah era yang memungkinkan terjadinya transaksi ekonomi antar negara dengan batasan tipis bahkan tanpa batasan. Negara yang mampu melakukan efisiensi produksi akan mendapatkan keunggulan dan menjadi eksportir. Sebaliknya, negara yang tidak mencapai efisiensi produksi akan berakhir sebagai negara importir yang tergantung pada negara lain.
Mewujudkan negara bebas impor dan teraihnya swasembada pangan merupakan sesuatu yang sangat mungkin terwujud. Namun, terdapat beberapa syarat. Pertama, adanya pemimpin yang memahami kewajibannya untuk meriayah (mengurusi urusan) umat. Pemimpin yang sadar akan pertanggungjawaban di hadapan Allah atas kepemimpinannya kelak di akhirat akan memberikan pelayanan terbaik kepada umat. Ia akan senantiasa memperhatikan kebutuhan umat dan berusaha memenuhinya sesuai syariat.
Alih-alih bergantung pada impor, penguasa ini akan mengupayakan kecukupan produksi dalam negeri dengan memberikan dukungan optimal pada produsen dalam negeri. Misalnya dengan memberikan subsidi pupuk ataupun bantuan modal. Impor hanya akan dilakukan ketika negara benar-benar memerlukan.
Kedua, kedaulatan negara. Ketergantungan impor bahan pangan merupakan sesuatu yang membahayakan kedaulatan negara. Negara yang memiliki visi besar akan segera berpikir untuk melepaskan diri dari ketergantungan impor. Karena tidak bisa dipungkiri, hal ini akan berpengaruh pada hubungan diplomatik di level internasional. Bisa dibayangkan pandangan internasional pada sebuah negara yang tak mampu memenuhi kebutuhan mendasar rakyatnya. Apalagi jika negara tersebut juga melakukan impor pada komoditas penting lain seperti sumber energi dan militer. Mewujudkan swasembada pangan dan mengenolkan impor adalah bagian dari mewujudkan kedaulatan.
Ketiga, sistem politik Islam. Tak bisa dipungkiri, pemimpin yang korup dan negeri yang tidak berdaulat merupakan buah dari sistem politik transaksional bernama demokrasi. Kekuasaan diburu dengan beragam kampanye yang didukung penuh oleh pemilik modal. Saat berkuasa, kebijakan pun pro kepentingan pemilik modal. Kedaulatan negara tidak menjadi pertimbangan utama. Berbeda dengan politik Islam.
Seorang penguasa dibaiat dengan sebuah konsekuensi menerapkan syariat dalam kepemimpinannya. Pertanggungjawabannya langsung di hadapan Allah. Kekuasaanya digunakan untuk memuliakan dan meninggikan Islam. Sehingga ia akan berbuat sebaik-baiknya dalam melakukan periayahan kepada masyarakat dan mewujudkan Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.*
Oktavia Nurul Hikmah, S.E.
Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!