Senin, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 6 Mei 2019 16:26 wib
12.301 views
Pemilihan Pemimpin Era Khulafaur Rasyidin
Oleh:
Oktavia Nurul Hikmah, S.E, anggota Komunitas Sinergi Muslimah
SEKJEN Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Arif Rahman menyampaikan jumlah korban gugur dalam menjalankan tugasnya sebagai kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) per tanggal 4 Mei 2019, pukul 16.00 WIB mencapai 440 jiwa. Sementara yang sakit mencapai 3.778 orang (merdeka.com, 4/5).
Sungguh miris. Jatuh korban dalam jumlah besar sebagai martir demokrasi. Dugaan sementara karena kelelahan dalam melakukan pengawalan proses persiapan, pemungutan, dan penghitungan suara yang panjang dan berjenjang. Meskipun dugaan ini diragukan oleh Medical Emergency Rescue Commitee atau Mer-C yang menilai kematian para petugas Pemilu 2019 akibat kelelahan sebagai fenomena ganjil.
Pasalnya, menurut MER-C, dalam medis kelelahan tidak dapat dijadikan sebab musabab seorang mengalami kematian. Kelelahan bisa jadi pemicu, namun penyebab kematian bisa disebabkan serangan jantung, gagal pernafasan, dan penyebab lainnya. Terlepas dari itu, KPU harus melakukan evaluasi dan penyelidikan menyeluruh atas seluruh proses demokrasi yang menghilangkan ratusan nyawa ini.
Pemilu tahun ini memang berbeda dengan pemilihan sebelumnya. Kali ini, rakyat memilih presiden-wakil presiden, anggota DPRD 1, anggota DPRD 2, anggota DPR RI dan anggota DPD RI dalam satu hari pemilihan serentak. Bisa dibayangkan beratnya beban kerja yang dirasakan oleh para petugas pemilu. Belum lagi berbagai kecurangan dan kekisruhan yang terjadi di lapangan menyebabkan tekanan secara psikis dialami oleh para relawan demokrasi ini. Bahkan, ada dua petugas yang meninggal karena bunuh diri.
Suatu negara tanpa pemimpin dan struktur pemerintah tentu akan menjadi lumpuh. Karena itu, pemilihan pemimpin menjadi suatu keharusan agar segera terwujud sosok-sosok yang bertanggungjawab secara penuh kepada rakyat. Namun menjadi satu ironi jika pemilihan penguasa rakyat justru mengorbankan rakyat. Bukan satu dua, tapi ratusan jumlahnya.
Islam pun memiliki sejarah pemilihan pemimpin. Terhitung sejak wafatnya Rasulullah, para sahabat melakukan upaya optimal untuk memilih sosok Khalifah pengganti posisi Rasulullah dalam memimpin daulah Islam di Madinah. Prinsip utamanya adalah kesegeraan mewujudkan penguasa yang mengurus rakyat dengan syariat Islam.
Pertama, pemilihan Khalifah Abu Bakar ash Shidiq. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat segera berkumpul untuk menentukan Khalifah sebagai pengganti Rasulullah dalam memimpin negara. Terdapat empat calon yang diajukan oleh kaum muslimin yaitu Saad bin Ubadah, Abu Ubaidah, Umar bin Khaththab dan Abu Bakar. Setelah diskusi tersebut, dibaitlah Abu Bakar dengan baiat in’iqad. Keesokan harinya, seluruh kaum muslimin membaiat Abu Bakar dengan baiat taat.
Kedua, pemilihan Khalifah Umar bin Khattab. Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan mengantarkan pada kematian, beliau meminta pendapat kaum muslimin mengenai pengganti beliau sebagai khalifah. Proses pengumpulan pendapat berlangsung tiga bulan hingga akhirnya beliau mencalonkan Umar bin Khattab. Seteah wafatnya Abu Bakar, kaum muslimin datang ke masjid untuk membaiat Umar bin Khattab. Artinya, dengan baiat inilah Umar bin Khattab sah menjadi khalifah kaum muslimin, bukan dengan proses pengumpulan pendapat ataupun pencalonan Abu Bakar.
Ketiga, pemilihan Khalifah Utsman bin Affan. Setelah Umar bin Khaththab tertikam, kaum muslimin memintanya menunjuk pengganti. Hingga tersebutlah enam nama. Umar bin Khaththab menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan memimpin enam orang yang telah belaiu calonkan hingga terpilih seorang khalifah dalam jangka waktu tiga hari.
Beliau berkata, “… Jika lima orang telah bersepakat dan meridhai seseorang, sementara yang menolak satu orang, maka penggallah orang yang menolak itu dengan pedang…” (Tarikh At Thabari). Pertemuan itu menghasilkan dua nama yaitu Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan. Berikutnya, digalilah pendapat masyarakat dengan jalan menanyai setiap orang, laki-laki dan perempuan mengenai pilihan yang mereka inginkan antara Ali dan Utsman. Proses tersebut terjadi dalam tiga hari. Hingga sempurnalah pembaiatan Utsman saat Shubuh. Dengan baiat inilah Utsman sah sebagai khalifah, bukan dengan pencalonan Umar.
Keempat, pemilihan Ali bin Abi Thalib. Ketika Utsman terbunuh, mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiat Ali bin Abi Thalib. Ali pun sah menjadi khalifah dengan baiat tersebut.
Demikianlah proses pemilihan Khalifah oleh para sahabat. Terdapat beberapa poin penting dari ijma sahabat yang menjadi salah satu sumber hukum dalam masalah pemilihan pemimpin. Pertama, batas waktu tiga hari sejak wafatnya seorang khalifah untuk membaiat khalifah penggantinya. Kedua, batasan jumlah calon sebanyak enam orang. Sementara terkait proses pencalonan dan mekanisme pemilihannya boleh menggunakan bermacam-macam cara.
Proses pemilihan pemimpin dalam Islam dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Urgensitas keberadaan penguasa yang memimpin umat dengan syariat menghasilkan kesungguh-sungguhan kaum muslimin dalam melakukan pemilihan. Sebaliknya, ketiadaan pemimpin menyebabkan banyak sekali hukum syariat yang tidak dapat tertunaikan. Karena itulah baik umat maupun calon penguasa bersungguh-sungguh dalam ikhtiar untuk menetapkan pemimpin terbaik di antara mereka.
Proses ini merupakan proses yang jurdil karena calon penguasa merupakan sosok yang memang diinginkan rakyat, bukan para pengejar kekuasaan. Selain itu, ketundukan pada syariat menyebabkan proses integrasi berlangsung secara alami. Kaum muslimin tidak akan berani menyelisihi pendapat mayoritas umat karena itu berarti pembangkangan. Segala hal ini melahirkan suatu proses pemilihan pemimpin yang aman dan penuh keikhlasan. Wallahualam.
Sumber Pustaka:
Annabhani, Taqiyuddin. 2009. Ajhizatu ad-Daulah al-Khilafah. Dar al Ummah
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!