Sabtu, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 4 Mei 2019 18:13 wib
5.484 views
Pasca Pesta Demokrasi, Akankah Indonesia Lebih Baik?
DARI hasil audit data Ayo Jaga TPS yang dibandingkan dengan KPU, Karyono menemukan bahwa ada selisih proporsi data TPS jika diurai per provinsi. Misalnya di Provinsi DKI Jakarta, data proporsi TPS oleh KPU adalah 3,6 persen. Tapi, proporsi data Ayo Jaga TPS sebesar 13,7 persen. "Harusnya data yang masuk harus proporsional sesuai data KPU, sehingga valid. Karena tidak proporsional, hasilnya bias." (Tempo.co)
Beredar sebuah video viral yang lagi-lagi memperlihatkan kesalahan fatal input data C1 di Sistem Perhitungan (Situng) 'real count' KPU. Kali ini, terjadi di TPS 18, Kelurahan Malakasari, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dalam input di KPU, suara pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin mendapat tambahan 500 suara. Sementara pasangan Prabowo-Sandiaga Uno disunat 100 suara. (Kumparan News)
Berdasarkan data terakhir dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kamis, 25 April 2019, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal menjadi 225 orang. Sedangkan mereka yang sakit sebanyak 1.470 orang. (Viva.co.id)
Pilpres 2019 semakin memanas, hasil Quick Count menjadi perdebatan sejak 17 April kemarin. Kedua kubu capres cawapres saling mengklaim bahwa dirinyalah yang lebih unggul. Isu kecurangan KPU-pun menjadi isu hangat sejak kemarin, menghilangkan kepercayaan sebagian rakyat yang kebetulan mengetahui.
Tak sedikit masyarakat mulai bersuara mulai dari tweet singkat hingga meme yang menyiratkan kekecewaan terhadap pesta demokrasi. Ironis memang. Salah satu event yang menurut masyarakat adalah harapan untuk membangun peradaban negeri yang lebih baik, telah membuat kepercayaan mereka menjadi kecurigaan-kecurigaan.
Pesta demokrasi kali ini telah berhasil menjadi pesta terhebat sepanjang masa, mampu melahirkan ‘Pahlawan KPU’ yang entah terpuja atau akan terlupa. Tidak main-main, jumlah yang meninggal maupun jumlah yang sakit adalah jumlah yang tidak sedikit.
Lantas, pertanyaannya adalah, dengan begitu banyak korban yang ‘katanya’ telah berkorban, apakah pesta demokrasi ini benar-benar adalah pijakan awal yang bagus untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik? Atau, mampukah pesta demokrasi ini melahirkan pemimpin amanah, adil, dan menyejahterakan masyarakat bukan dirinya saja? Dengan gugurnya banyak ‘Pahlawan KPU’ apakah Indonesia sejahtera akan lahir sementara ‘Penjahat KPU’ terus-menerus berdalih salah input data?
Sistem ini telah sakit, bahkan sejak debat pertama, kedua kubu telah saling menunjukkan ketidaksiapannya menjadi pemimpin, sejak polemik kisi-kisi debat Capres-Cawapres, hak suara bagi orang gila hingga penghitungan hasil suara. Polemik KPU dan Quick Count bukan lagi masalah krisis moral individu, akan tetapi lebih besar dari itu.
Ini adalah krisis sistem perpolitikan, elemen terpenting dalam tata kenegaraan, pemegang kendali atas segala sistem turunannya. Sistem politik yang buruk tentu akan berdampak buruk pada segala aspek kehidupan, mulai dari berbagai sistem kehidupan (Ekonomi, Pendidikan, Kesehatan, Hukum, dsb) hingga permasalahan cabang sekelas ‘salah input data’.
Demokrasi telah rusak dari akarnya. Adalah kemustahilan berharap kesejahteraan pada sistem ini. Asas sekularisme telah menciptakan manusia-manusia rakus pemburu keuntungan. Membuat masyarakat kembali mempertanyakan kebenaran visi misi para calon pemimpin, meragukan janji-janji yang pernah dikatakannya hingga pasrah pada akhirnya. Tak akan ada kata sejahtera dalam sistem ini kecuali bagi pada kapitalis dan pemegang kekuasaan, si kaya akan semakin kaya, dan si miskin akan terus miskin bahkan semakin miskin. Begitulah konsep demokrasi-kapitalisme.
Alhasil, dapat disimpulkan dengan mudah, apakah pergantian rezim mampu mewujudkan Indonesia lebih baik, apalagi dengan jalan ‘pesta demokrasi’ yang lebih banyak menimbulkan kekacauan? Pergantian sistem akan terdengar lebih logis daripada pergantian rezim, karena baik buruk rezim ditentukan oleh baik dan buruknya suatu sistem. Maka, sistem apa yang benar-benar dibutuhkan saat ini?
Kapitalisme dengan demokrasinya dan ide-ide kebebasannya tenyata tidak mampu mewujudkan negara sejahtera dengan pemimpin bermoral. Sosialisme telah membuktikan kegagalannya sejak manusia mulai menyadari konsep kehidupan dalam sistem ini tidak sesuai dengan manusia. Selain itu, pemimpin diktator yang dilahirkan oleh sistem ini bukanlah yang diinginkan oleh sebagian besar masyarakat.
Adapun Islam, Islam memiliki konsep baku yaitu negara islam, yang telah terbukti mampu melahirkan pemimpin-pemimpin terbaik. Bukan pemimpin boneka yang dikendalikan oleh pihak berkepentingan, akan tetapi pemimpin yang digerakkan hatinya oleh ketaatan dan kesadaran akan kewajibannya untuk menjadi sosok ideal dalam memimpin negeri.
Sosok pemimpin ini sudah punah, karena habitatnya telah hilang, dan tak akan pernah ada dalam habitat sekarang. Maka, mengembalikan habitat sosok pemimpin ideal adalah satu-satunya cara untuk mewujudkan negara sejahtera di bawah kepemimpinan seorang pemimpin adil dan amanah.*
Nida’us Syahidah
Mahasiswi Universitas Negeri Malang, Jawa Timur
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!