Jum'at, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 3 Mei 2019 06:41 wib
5.472 views
Tuntutan Klasik May Day
Oleh:
Siti Aisah, S. Pd
TEPAT pada tanggal 1 Mei menjadi salah satu tanda merah di kalender dinding rumah. Ya, tanggal ini sudah resmi menjadi tanggal merah yang menandakan bahwa, hari tersebut adalah hari libur sekolah dan kegiatan perkantoran lainnya. Tapi sudah diakui pula setiap menjelang tanggal tersebut, dapat dipastikan para buruh di Indonesia khususnya akan melakukan demo atau penyampaian aspirasi dari kaum buruh. Bak selebrasi buruh, ini tidak pernah absen dari rentetan ungkapan penuntutan gaji yang layak, pelayanan keselamatan, kesejahteraan dan kesehatan buruh dan keluarga minta diutamakan dan ditingkatkan.
Dilansir dari kumparan.com (29/04/2019) Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day, Federasi Serikat Buruh Garmen, Tekstil, Kulit, Kerajinan dan Sentra Industri (Garteks) Kabupaten Majalengka menekankan eksistensi serikat pekerja harus diberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja dan keluarga serta mendorongnya Peningkatan Kompetensi untuk para pekerja, selain itu pemerintah kabupaten khususnya mesti menjamin setiap buruh dan pekerja mendapat Kebebasan Berserikat melalui UU No 21/2000 tentang Serikat Buruh. “Pemkab memiliki andil besar dalam pertumbuhan industri di Majalengka. Dan pemerintah juga harus melindungi buruh dan organisasi sebagai perangkatnya, ungkap Cecep Nugraha Jaelani, Ketua Federasi Serikat Buruh Garteks Kabupaten Majalengka, Senin (29/4).
Hari Buruh yang di selebrasi setiap tanggal 1 Mei ini lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Sejarah membuktikan perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menjadi awal terjadinya perubahan drastis ekonomi-politik di negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja. Permasalahan ini dipicu karena kurangnya gaji dan disebabkan pula oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost (biaya hidup) terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh.
Maka tidak heran namanya dinamakan dengan Upah Minimum. Sehingga dapat diartikan pula bahwasanya para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, dikarenakan mereka hanya mendapatkan sesuatu yang minimum dan terkadang hanya sekedar untuk mempertahankan hidup mereka. Maka konsekuensinya kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap para buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan Sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya
Permasalahan penentuan upah/gaji antara buruh dan majikan bisa dimunculkan pakar (khubara’) yang bisa menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl) untuk pekerjaan tertentu. Ahli ini dipilih oleh kedua belah pihak. Tapi, Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut. Oleh karena itu penetapan UMR (upah minimum regional) tidak diperbolehkan. Hal ini bisa dianalogikan juga pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.
Namun, permasalahab kesejahteraan buruh, tidak cukup hanya sekadar dengan penetapan UMK atau upah tinggi. Upah nominal tinggi tidak juga mengatasi beban para buruh, jika tanggungan beban kehidupan ekonomi sehari-hari yang mahal seperti biaya sekolah dan kesehatan yang mahal. Hal ini pun sangat erat kaitannya dengan fungsi dan tanggungjawab negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Persoalan ini haruslah diselesaikan melalui kebijakan dan implementasi negara dan tidak menyerahkan penyelesaiannya semata kepada pengusaha dan serikat buruh. Dan menjadi tanggungjawab pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan) serta pula dapat membuka seluas-luasnya peluang lapangan kerja.
Dengan demikian, berbagai solusi yang dilakukan oleh sistem Kapitalis saat ini pada dasarnya solusi parsial, bukan substansial. Hal ini sekadar seperti “obat penghilang rasa sakit”. Sedangkan penyakitnya sendiri tidak kunjung sembuh, malah semakin parah. Karena sumber penyakitnya tidak pernah diobati. Karena itu, permasalahan perburuhan ini selalu muncul dan muncul lagi, sehingga tidak pernah disembuhkan hingga ke akarnya. Upah murah yang masih menjadi problem buruh sepanjang peradaban kapitalisme diterapkan. Sistem ini pula dibangun atas dasar ekonomi non-riil eksis sehingga bisa mengokohkan praktek riba dan segala jenis transaksi yang ilusif ditengah masyarakat.
Solusi Islam dalam mengatasi kemiskinan, kaum buruh khususnya adalah dengan menolak tawaran kapitalisme. Terkait kesalahan tolok ukur dalam negara-negara demokrasi kapitalistik bahwa yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost terendah, serta melihat penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi secara agregat. Sedangkan islam menilai kemiskinan yang diukur dari jumlah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya.
Sehingga jika masih ada satu orang miskin di masyarakat, Islam akan memberikan sinyal bahaya dan menyerukan kepada semua orang untuk mengatasi masalah individu tersebut. Karena sejatinya upah dalam islam adalah sebuah bentuk kompensasi atau apresiasi atas jasa yang telah diberikan oleh tenaga kerja atau bisa disebut sebagai balasan karena telah menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh pihak yang mempekerjakan.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Nahl: 97, yang artinya, “Barangsiapa yang mengerjakan amal soaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”. Dalam penjelasan menurut QS An Nahl : 97, yang dimaksud dari kata “balasan” dalam ayat tersebut yakni upah. Jadi dalam Islam, jika seseorang mengerjakan pekerjaan dengan niat karena Allah (amal sholeh), maka ia akan mendapatkan balasan, baik didunia yakni (berupa upah) maupun di akhirat yang (berupa pahala) yang berlipat ganda.
Wallahu a’lam.bi-ashawab
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!