Kamis, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 2 Mei 2019 12:56 wib
5.203 views
Rezim ‘Main-main’ Salah Urus Bangsa
EKONOMI digital Indonesia tengah bergeliat. Peran generasi millennial dalam mengisi babak kompetisi Revolusi Industri 4.0 sungguh sangat diperhitungkan, terutama peran generasi muda dalam mendongkrak industry games. Hal inilahyang mungkin menjadi latar belakang Pak Jokowi saat debat capres beberapa waktu yang lalu melontarkan pertanyaan ke lawan debat tentang salah satu jenis game, mobile legend.
Mobile legend memang berhasil menjadi primadona bagi generasi muda. Betapa tidak? Game tersebut memang lebih menonjol dan lebih mudah diterima masyarakat Indonesia yang notabenenya punya spec gadget low end. Ditambah seringnya developer mengadakan event-event lokal dan menggaet instansi-instansi besar dan kecil untuk bekerjasama dengan mereka agar lebih dikenal oleh publik.
Pro kontra terkait hal ini menjadi tidak terelakkan tatkala Kemenpora berencana memasukkan pelajaran game online e-sport ke dalam kurikulum pendidikan menengah pertama dan menengah atas. Pihak yang pro menganggap perlunya masyarakat melek fakta. Bahwa arus RI 4.0 yang akhirnya menggiring besarnya industry games justru harus bisa dimanfaatkan dengan baik. Mereka pun mendukung untuk menjadikan para gamer tidak hanya menjadi hobi semata, namun menjadi profesi yang menjanjikan dan menghasilkan.
Realisasi dari hal itu, pada bulan Maret lalu telah diselenggarakan Kompetisi Piala Presiden E-Sport Mobile Legends di delapan kota. Bahkan anak-anak Indonesia didorong untuk tidak hanya berperan sebagai penikmat game-game online, tetapi juga menjadi developer nya. Dari sisi pemerintah, untuk mendukung hal tersebut, saat ini tengah diseriusi pembangunan infrastruktur digital, berupa broadband, palapa ring dan 5G. Hingga akhirnya rencana memasukkan games ke dalam kurikulum pendidikan, dengan tujuan bisa menghasilkan lulusan yang professional pun ada, bahkan sudah mulai dipraktikkan di sekolah. Misalnya, Sudah dua tahun SMA 1 PSKD di Jakarta Pusat menawarkan program pembinaan untuk eSports, di mana anak-anak mendapatkan pelajaran tidak hanya tentang teknik bermain atau in-gaming tapi juga industri eSports secara keseluruhan.
Program pembinaan ini mirip dengan penjurusan, dengan kegiatan intensif selama sekitar 20 jam seminggu—di samping jurusan yang biasa ditawarkan di sekolah menengah, yakni IPA, IPS, dan Bahasa. Menurut Kepala Sekolah Yohannes P. Siagian, program eSports di SMA 1 PSKD berawal dari ekstrakurikuler. Kemudian pihak sekolah melihat eSports sebagai bidang yang berkembang dan berpotensi untuk menjadi karier. "Lima tahun yang lalu, eSports mulai tampak menjadi pilihan karier yang valid," ungkapnya kepada BBC News Indonesia.
Lantas, tepatkah berharap pada generasi muda dengan segudang potensi yang dimiliknya, untuk ikut memperbaiki iklim ekonomi Indonesia dengan hobi bermain games nya? Padahal di saat yang sama berbagai persoalan melanda para generasi muda dalam hal moral dan akhlak mereka ?
Pendidikan moral dan akhlak sebuah generasi adalah hal yang sangat penting dan genting. Jika dulu, para guru dan orangtua sampai mati-matian mewanti-wanti anak-anaknya untuk tidak terlalu over menikmati game atau permainan konvensional, hari ini keadannya berbeda. Pengamat pendidikan dari Universitas Multimedia Nusantara, Doni Koesoema mengatakan bahwa sebagus apapun, game online merupakan permainan yang menjauhkan anak-anak dari dunia nyata dan interaksi sosial.
Dia hanya melatih otak dan keterampilan tangan anak, tetapi mencerabut anak dari kehidupan sosialnya. Pendapat beliau memang sesuai dengan fakta yang bisa kita indera. Terlebih lagi, dilihat dari sisi kesehatan, data WHO tahun 2018 lalu telah menetapkan kecanduan games sebagai salah satu gangguan mental ketika permainan itu mengganggu atau merusak kehidupan pribadi, keluarga, sosial, pekerjaan, dan pendidikan. “Sudah banyak cukup bukti yang menunjukkan kecanduan game dapat menimbulkan masalah kesehatan,” tulis WHO dalam situs resminya.
Memang, tidak 100% bermain game itu berdampak negative seperti yang telah disebutkan di atas. Ada juga dampak positifnya seperti menambah teman, belajar berpikir strategi bahkan juga bisa belajar bahasa asing seperti bahasa Inggris. Mereka juga merasa lebih relaks ketika begitu banyak tekanan dari sekolah, terlalu banyak tugas, dan lain sebagainya. Namun, dampak negatifnya jauh lebih besar, karena membiarkan generasi muda sibuk ria dengan games mereka, sama artinya dengan mempertaruhkan masa depan mereka.
Lucunya, ketika Indonesia masih mengawali euphoria lonjakan ekonomi berkat games/eSports ini, di Negara-negara berteknologi tinggi sekelas Korsel, Jepang, dan Cina justru menerapkan aturan pembatasan jam akses game online karena melihat dampak negatif yang menimpa anak-anak dan remaja mereka. Hanya karena alasan materi, rezim Jokowi hari ini malah menjebak generasi penerus bangsa pada hal-hal yang terbukti melenakan dan merusak, baik secara fisik, mental, moral, dan sosial.
Pemimpin negara, yang mengendalikan seluruh urusan masyarakatnya, seharusnya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menjaga masyarakat dari kerusakan, bukan malah menetapkan aturan yang ‘main-main’ sehingga justru mengarahkan masyarakat pada kerusakan. Sosok pemimpin yang terakhir adalah pemimpin yang gagal mengurus kepentingan bangsa, karena segala aturan yang dikeluarkan hanya berpikir soal keuntungan. Sedangkan dampak negatif berupa kerusakan moral dan sosial tidak dipikirkan.
Lantas, kesalahan aturan yang berdampak negatif seperti ini apakah keseluruhan adalah salah seorang pemimpin? Tentu tidak, karena kesalahan utama atau akar masalahnya ada pada dengan apa dia memimpin. Indonesia dan mayoritas negara lain hari ini menggunakan sistem kapitalis sekuler yang sudah bercokol lama. Paham kapitalisme memberikan keleluasaan pada para pemilik modal untuk menguasai hajat hidup orang banyak, termasuk akhirnya pemerintah tunduk pada pengaruh mereka yang memang sangat besar. Sehingga, investasi besar-besaran para kapitalis di dunia industri games yang dibuat sangat menarik, menjadi magnet masyarakat untuk menikmatinya, tidak peduli dampak yang akan menimpa mereka. Dalam aspek interaksi sosial-muamalahnya, paham sekuler lah yang merusak. Setiap aktivitas yang dilakukan tidak distandarkan pada aturan-aturan Sang Pencipta manusia, tetapi dibebaskan sesuai kehendak masing-masing. Manfaat yang diperoleh berupa kebahagiaan jasadiyah menjadi tolok ukur perbuatannya.
Berbanding terbalik dengan pemimpin rezim kapitalis sekuler, dalam Islam sosok pemimpin adalah pengurus dan perisai masyarakat. Tugas pemimpin adalah memastikan setiap aktivitas individu sesuai dengan aturan shahih, yang berasal dari Ilahi Rabbi. Penerapan syariat secara menyeluruh adalah sebuah keniscayaan. Sistem yang menaungi juga sistem shahih, yang melanjutkan misi Rasulullah di Madinah, yaitu Daulah Islam. Sistem ini pula yang diwarisi oleh generasi terbaik ummat manusia, dimulai dari Khulafaur Rasyidin, Kekhilafahan Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah. Pada periode kepemimpinan mereka, dihasilkan generasi ummat yang terbaik, menguasai ilmu-ilmu agama, namun tidak gagap sains dan teknologi. Torehan tinta peradaban emas sejarah menempatkan umat Islam di bawah naungan Daulah Islam sebagai pelopor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam Islam, perkembangan teknologi dimaksudkan untuk mempermudah aktivitas memenuhi hukum-hukum syara, mulai dari ibadah dan muamalah, hingga dakwah dan jihad. Dengan demikian, teknologi berkembang didasari iman dan tunduk pada kepentingan agama. Hasilnya, tren teknologi yang berkembang adalah teknologi positif dan penuh kebaikan. Berbeda dengan sekarang, teknologi justru menjauhkan manusia dari pengabdian sepenuhnya pada Sang Pencipta. Hal utama yang dituju hanyalah pemerolehan materi yang setinggi-tingginya. Termasuk tren game online yang sekarang marak, maka Islam memandang bahwa sejauh permainan itu mendukung kepada kebaikan, maka industri game dimungkinkan tetap ada, namun kontennya harus ditujukan untuk kebaikan dan mendukung proses pendidikan, bukan sebagai alat meraup keuntungan material.
Pemimpin akan bertanggungjawab penuh terhadap industry game tersebut, sehingga pelaksanaannya tidak kebablasan dan mengikuti tren Barat yang liberal. Secara sistemik, pemimpin akan menjaga warga Negara, khususnya generasi mudanya untuk produktif dengan dasar keimanan. Tindak preventif dan kuratif telah dipersiapkan pemimpin Islam untuk mengatur hal tersebut. Tindak preventif dengan menyeleksi dan mendetaili setiap industry game dan produk-produk keluaran mereka.
Bisa juga dengan membentuk tim khusus untuk menanganinya. Kemudian, sebagai langkah kuratif, misalkan terjadi pelencengan manfaat akan ditindak baik dari industi, pemakai, dan pihak lain yang terlibat. Dalam hal mendongkrak ekonomi dengan industri ini, maka itu tidak akan diambil oleh pemimpin Islam. Sistem ekonomi yang diterapkan adalah system ekonomi Islam, yang mengatur aspek ekonomi mikro maupun makro sesuai standar syara’ secara mandiri, dan hasilnya untuk kepentingan rakyat sepenuhnya. Pengelolaan sumber daya alam oleh asing mutlak diharamkan. Sehingga stabilitas ekonomi InshaaAllah bisa terjaga.*
Errita Septi Hartiti
Mahasiswi Universitas Negeri Surabaya
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!