Selasa, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 30 April 2019 08:53 wib
2.808 views
Slow Count
Oleh: Rizal Fadillah
Skenario Quick Count terganjal reaksi keras publik, sehingga kredibilitasnya merosot dan sangat diragukan. Arah perhatian pada Real Count KPU.
Tapi perjalanan "counting" KPU dinilai janggal pula sehingga seorang Mahfud MD mempertanyakan kinerja KPU yang lambat dalam menginput data. Banyak kesalahan yang setelah dikritisi baru diperbaiki. Sementara di bawah data 'dibuat' amburadul.
Ada salah angka, kotak suara disimpan bukan di Kecamatan, formulir C1 dirampok, hingga terjadi peristiwa pembakaran gudang penyimpan kotak suara.
Sengajakah dibuat dari kardus yang mudah untuk 'dirusak'? Sayang penyelenggaraan Pemilu 2019 dinilai jauh dari asas jujur dan adil.
Berandai masuk di ruang skenario atau disain, maka pantasnya untuk menyesùaikan Quick Count adalah dengan Slow Count. Penyesuaian data mesti dilakukan dan itu sudah seharusnya dan konsekuensinya adalah lambat.
Adakah KPU tersandera oleh kekuatan "invisible hand" yang sangat berkepentingan dan menentukan? Kita masih berharap tidak, meskipun ada khawatir dan skeptik. Terlalu kuat tekanan pada KPU untuk menjadi lembaga independen.
Skimnya adalah produk KPU hasil setting, jika tak puas silahkan lakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Lalu kuatkah Mahkamah Konstitusi menjaga independensi melawan tekanan kekuasaan? Atau bukti yang diinterpretasi bebas oleh Hakim?
Nah akhirnya seperti nuansa rezim kini dimana hukum hanya jadi alat legitimasi bukan sarana penegakkan keadilan. Akibatnya hasil Pemilu 2019 kehilangan daya dukung publik, rakyat kecewa. Predikat melekat adalah inilah Pemilu terburuk dengan kecurangan yang sangat terstruktur, sistematis, vulgar dan masif.
People power baru suara memercik belum menggema, aparat keamanan sudah demonstratif bersiaga. Semua berkumpul di Jakarta. Suasana dibuat mencekam. Padahal aksi demo masyarakat belum terlihat. Negara sedang menakut nakuti demokrasi. Memang Pemilu bukan sarana demokrasi melainkan alat legitimasi.
Jika target tak tercapai maka proteksi mesti dilakukan. Sejak awal kompetisi politik licik sudah dijalankan. Bagaimana seorang Presiden yang beratribut lengkap kepresidenan berkompetisi dengan lawan yang miskin fasilitas. Yang terjadi akhirnya adalah warga lawan negara. Dan ketika "sang Negara" nyatanya akan kalah, berbagai upaya dilakukan. Plan A hingga plan Z.
Kini entah sudah plan mana yang diambil. Hanya tim "invisible" yang tahu. Yang jelas pola memukul dan merangkul sedang dijalankan. Pasukan disiapkan pendekatan dilakukan. Sasarannnya yaitu perpanjangan yang dipaksakan.
Rakyat tentu sudah muak dengan kebohongan dan rekayasa. Ketika memang dipaksakan untuk tetap berkuasa, yang terjadi adalah ketidakpercayaan. Gumpalan "untrust" ini akan mencari bentuk yang efektif dan tak tertahankan.
Hatta dibawah ancaman moncong senjata. Masih banyak perwira dan prajurit yang berhati nurani. Tak akan mau berhadapan dengan rakyat yang realitanya membayar pajak untuk makan sehari harinya bersama anak dan istri.
Slow Count adalah buying time untuk penetapan yang disesuaikan Quick Count. Ini bisa masuk kejahatan hukum. Penyesatan yang disengaja.
Moga saja hasil dari Real Count di seluruh Indonesia yang direkap KPUD seluruh Indonesia bisa menjawab permasalahan krusial yang ada, benarkah Prabowo-Sandi harus dihambat untuk memimpin bangsa dan negara. Atau benarkah apapun yang terjadi Jokowi mesti jadi Presiden lagi? Bila perlu dengan membeli atau mengeliminasi demokrasi. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!