Jum'at, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 5 April 2019 16:16 wib
3.005 views
Tari Topeng
Oleh: M Rizal Fadillah
Perkembangan politik mengarah pada ganti Presiden. Jokowi sebagai petahana dalam posisi bertahan menghadapi gempuran keadaan. Semua langkah terantisipasi bukan semata oleh lawan tapi juga oleh masyarakat.
Kartu-kartu yang dilempar tak mampu meng up grade elektabilitas justru menambah terpojok posisi. Logo di puluhan truk gandeng "tukang meubel jadi Presiden" dibaca terbalik menjadi "Presiden jadi tukang meubel" (kembali) karena dilihat dari kaca spion kendaraan yang sudah menyusul.
Aksi Presiden bagai pertunjukan tari topeng, meliuk dengan wajah yang banyak. Ada raksasa, ksatria, dewi atau topeng badut. Semua adalah ikhtiar untuk menarik perhatian dan dukungan. Namun sayangnya penonton sudah tahu wajah pemain dibalik topeng itu.
Sehingga menjadi tak menarik lagi. Secara psiko-politis penari sulit mendapat tepukan tangan. Tari topeng gagal untuk memukau. Akibatnya gerakan menjadi kacau dan hal ini adalah cermin dari sikap jiwa yang galau.
Ada lima aspek yang menyebabkan penampilan buruk sang penari, yaitu:
Pertama, gagal memainkan waktu. Waktu terlalu panjang menyebabkan lelah atau bosan. Tadinya dengan waktu yang lama itu bisa mengatur ritme, namun nyatanya tak ada kejutan atau sesuatu yang membuat orang penasaran. Jalan ceritra sudah ditebak oleh penonton. Waktu pun jadinya menghukum.
Kedua, gagal memainkan fasilitas. Dana "tak berseri" membawa akibat pada penumpukan atribut dan biaya tinggi operasi. Tidak mampu membeli hati. Massa bisa terbeli untuk berkumpul, tapi hati berpihak pada yang lain. Fasilitas dipakai jor-joran,. Simbolisasi nomor nol dua di tengah massa nol satu menjadi pemandangan lumrah.
Ketiga, gagal bertopeng birokrasi dan aparat. Gerak tarian sangat kasar, sehingga bukan simpati yang didapat tapi antipati. Blunder berkali-kali. Ada aparat terbongkar sebagai markas hoaks, berkampanye vulgar, atau mobilisasi untuk membangun kultus. Rakyat muak dengan politik pemanfaatan instansi.
Keempat, gagal memainkan kartu. Seribu kartu dimainkan dari mulai kesehatan sampai pekerjaan. Tertelan oleh satu kartu e KTP di debat Cawapres. Kartu domino pun rontok oleh kartu penentu yaitu OTT KPK. Mulai panik sang bandar karena bisa rugi besar. Satu satu kalah di meja judi. Meski sudah dibantu suap atau mark up.
Kelima, gagal bertopeng agama. Sholat jadi konten kampanye, kyai hanya asesori, sementara aktivis dan ulama dicap radikal dan dimusuhi. Keberpihakan keagamaan lebih formalitas daripada substansi. Kekuatan Islam dianggap bahaya bukan menjadi potensi. Islam diposisikan pinggiran di negerinya sendiri. Toleransi ternyata identik dengan sekularisasi.
Ketika gagal bertopeng, maka keaslian menjadi terbuka. Ternyata ia tak mampu menari. Hoaks saja. Rugi menonton pertunjukan yang hanya bagus di iklan. Penonton mulai jenuh pada akting yang dibuat buat. Mulai teriak "turun...! turuun..!"
Ketika penari topeng itu tak juga mau turun, maka pilihan hanya dua yaitu ditinggalkan atau diturunkan dengan paksa. Dua-duanya menyedihkan. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!