Kamis, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 21 Maret 2019 01:20 wib
4.552 views
Perilaku Korupsi Politisi Harus Diakhiri
Oleh :
Ifa Mufida, Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Masalah Sosial
KASUS hukum yang menimpa ketua umum partai politik, bukan kejadian yang pertama di negeri ini. Terbaru KPK melakukan OTT terhadap Ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuzy. Dari catatan KPK, lembaga itu sudah beberapa kali menangani kasus hukum yang melibatkan ketua umum partai politik.
Paling dramatis barangkali kasus yang melibatkan Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto karena proses penangkapannya yang penuh dengan drama. Surya Dharma Ali, juga tercatat sebagai ketua umum parpol yang terjerat korupsi. Ia pun menjadi ‘pasien’ KPK atas korupsi dana penyelenggaraan Ibadah Haji saat menjadi Menteri Agama di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Kasus Korupsi pun juga menjerat eks Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dan koruptor kuota impor sapi Ahmad Fathanah.
Jauh sebelumnya, KPK juga menangkap bendahara dan ketua umum Partai Demokrat, M. Nazarudin dan Anas Urbaningrum. Dari pengembangan kasus itu, tidak sedikit politisi Partai Demokrat yang berurusan dengan hukum. Penangkapan Ketua parpol PPP kali ini bisa jadi juga akan membuka banyak kasus korupsi lain yang belum terungkap oleh KPK, karena skandal korupsi di kementrian agama nampaknya sudah membudaya.
Bahkan terbaru, KPK telah menemukan ratusan juta uang cash di kantor Kementerian Agama, sehingga KPK menyegel ruang kerja milik Menteri Agama Lukman Hakim Saefudin dan ruangan Sekertaris Jenderal Kementrian Agama (Kemenag) Nur Kholis. Diketahui, sejumlah ruangan di kantor Kemenag pusat langsung disegel setelah tangkap tangan yang melibatkan Ketua Umum PPP M Romahurmuziy di Jawa Timur, Jumat (15/3).
Melihat pola korupsi di Indonesia yang banyak melibatkan politisi partai menjadi fakta bahwa sistem demokrasi saat ini ternyata seolah memaksa mereka untuk korupsi. Sebagaimana pernyataan KPK dalam kajiannya mencermati kasus korupsi di partai politik terus terjadi karena berbagai hal. KPK melihat bahwa partai politik kesulitan dalam mengumpulkan pendanaan yang bersumber dari iuran anggota, atau sumbangan.
Dalam keterangan resminya, KPK menyebut kesulitan ‘hidup’ parpol itu mengakibatkan partai politik bergantung pada para ‘pemilik modal’ demi membiayai organisasinya. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pun mengatakan bahwa selama ini, hampir 80% kasus yang ditangani KPK terkait dengan tokoh partai politik.
Nyata, inilah fakta politik dalam demokrasi. Betapa besar mahar yang harus dikeluarkan untuk bisa menjabat sekedar kepala daerah atau DPRD. Biaya politik yang mahal menjadikan mereka menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan uang demi pembiayaan partai politiknya. Sungguh miris! Jikalau mereka akhirnya terpilih menjadi DPRD ataupun kepala daerah bahkan kepala negara bisa dipastikan akan banyak upaya untuk mengembalikan uang yang sudah mereka keluarkan di masa kampanye.
Akhirnya, korupsi menjadi salah satu jalan pilihan bagi politisi ini. Lalu, bagaimana bisa tugas mereka sebagai pelayan rakyat bisa berjalan secara optimal? Inilah ironi perpolitikan di era demokrasi. Politik yang harusnya adalah aktivitas untuk mengurusi urusan rakyat, akhirnya hanya sekadar pepesan kosong.
Selain biaya perpolitikan yang mahal di era demokrasi, ternyata korupsi yang tak kunjung usai juga disebabkan oleh sangsi pelaku korupsi yang tidak memberikan efek jera. Bagaimana tidak? Hukuman bagi mereka pemakan harta negara hanya hukuman kurungan beberapa tahun saja.
Bahkan beberapa waktu lalu sempat ramai bagaimana fasilitas para koruptor di rumah tahanan yang begitu mewah. Mereka seolah tidak di dalam penjara, tetapi berada di kamar khusus sementara mereka tetap bisa beraktifitas dengan barang-barang mewah milik pribadi mereka. Belum lagi bagaimana pemerintah begitu mudah memberikan grasi bagi mereka tahanan korupsi. Sungguh hukum di Indonesia sangat lunak bagi mereka yang jelas-jelas makan uang rakyat dan merugikan negara.
Lalu, Bagaimana solusi permasalahan korupsi yang sudah menggurita ini? Korupsi akan hanya tuntas jika akar masalah permasalahan ini juga terpecahkan. Seperti pembahasan di atas, memang perpolitikan di era demokrasi sangat mendukung adanya budaya korupsi di kalangan politisi. Demokrasi adalah buah dari kapitalisme-liberal dengan sekulerisme sebagai landasan berpijaknya.
Banyak sekali, politisi negeri yang awalnya nampak memiiki keimanan dan keterikatan kepada hukum syariat Allah SWT, nyatanya tergerus juga dengan budaya korupsi. Diterapkannya sistem kapitalis menjadikan standar perbuatan adalah manfaat semata, hal ini menjadikan orang-orang hidup hanya berorientasi mendapatkan materi (uang) yang sebanyak-banyaknya tanpa melihat halal dan haramnya. Sistem politik dalam demokrasi juga menuntut mahar yang sangat mahal sehingga untuk mendapatkan pendanaan yang besar, banyak dari politisi mengambil peluang dari korupsi. Sekali lagi, hal ini adalah akar masalah pokok mengguritanya korupsi di negeri ini.
Solusi pasti agar korupsi tidak terus berlanjut pastinya adalah kita harus meninggalkan sistem kapitalis-demokrasi ini. Islam sebagai agama yang sempurna harusnya menjadi pilihan utama untuk menjalakan sistem perpolitikan di negeri yang mayoritas muslim ini. Demokrasi dengan budaya korupsinya seharusnya menjadi satu pelajaran yang menjadikan kita semakin yakin untuk meninggalkan sistem rusak ini. Karena, hal ini akan sangat berbeda ketika Islam menjadi sistem yang menaungi negeri ini. Dalam Islam, Partai politik memiliki peran yang jelas.
Peran ini bukan untuk kekuasaan, tetapi memiliki peran untuk memastikan bahwa setiap urusan dan permasalahan rakyat bisa terselesaikan dengan Islam. Mereka yang terjun dalam partai politik bukan karena dorongan untuk meraih kekuasaan, tetapi didorong oleh landasan aqidah mereka yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar di tengah-tengah umat. Pun juga seseorang yang diberikan amanah di dalam pemerintahan, harus faham bahwa kekuasaan ini adalah amanah yang sangat besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Sehingga mereka bukan bekerja untuk kesenangan diri atau golongan mereka, tetapi sejatinya sebagai pelayan rakyat semata.
Demikianlah sistem Islam melakukan pencegahan (upaya preventif) sehingga partai politik tidak terjerat dengan korupsi. Upaya pencegahan yang lain adalah dengan dengan penguatan keimanan di tengah masyarakat termasuk para pejabat, menetapkan sistem tunjangan dan penggajian yang memadai dan mencukupi seluruh kebutuhan pokok dan kebutuhan penunjang lainnya, sehingga para pejabat tidak harus mencari penghasilan dari sumber lain, sehingga fokus mengurusi rakyatnya. Berikutnya adalah menerapkan mekanisme pengangkatan pejabat yang khas, efektif dan efisien sehingga tidak menuntut para calon-calon pejabat untuk mengeluarkan biaya, sebagaimana sistem demokrasi saat ini.
Adapun Islam juga menetapkan sanksi yang keras dan tegas bagi pelaku korupsi sebagai upaya kuratif. Korupsi dalam Islam adalah perbuatan dosa besar. Korupsi juga menjadi penyebab dari kehinaan serta siksa api neraka di hari kiamat.
Pada hadits Ubadah bin ash Shamit Radhyyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dengan arti, “(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya”. Sedangkan sanksi buat pelaku korupsi yang diberlakukan negara, ada beberapa perbedaan di kalangan ulama. Ada yang memberikan hukuman potong tangan, dimiskinkan bahkan ada yang menyatakan dihukum mati. Maka sangsi yang pasti akan diputuskan oleh qodhi dalam sistem Islam sesuai dengan ijtihadnya.
Yang jelas sistem hukum bagi pelaku korupsi sebagaimana sistem hukum untuk perilaku yang lain adalah berasal dari hukum Allah SWT. Pemberlakuan sangsi ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera dan mencegah bagi calon pelaku yang lain. Karena sistem sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (Jawazir) dan sekaligus sebagai penebus dosa (jawabir). Dengan sanksi yang memberikan efek jera ini maka korupsi bisa diakhiri bukan justru menjadi budaya seperti saat ini. Wallahu A’lam bi Shawab.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!