Sabtu, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 18 Agutus 2018 06:40 wib
4.761 views
Bagaimana Ulama Seharusnya Berpolitik?
Oleh: Nailah Ar Rofi’ah
Masih teringat kata-kata orang nomor satu di Indonesia beberapa waktu yang lalu bahwa agama tidak boleh mencampuri urusan politik. Senada dengan itu, orang nomor satu di MUI pun menyampaikan bahwa pilpres adalah urusan memilih pemimpin, tidak ada hubungannya dengan agama.
Akhirnya, kata tinggallah kata, menguap begitu saja bagai embun pagi ditimpa sinar mentari. Fakta yang ada lebih mudah dibaca oleh siapa saja yang masih peduli dengan urusan negeri ini.
Kenyataannya dua orang yang memiliki latar belakang ranah itu pun akhirnya bersatu sebagai pasangaan capres dan cawapres. Yang satu basicnya sebagai politikus, satunya lagi sebagai ulama. Keduanya akhirnya memang terpaksa harus menjilat ludah sendiri demi untuk tercapainya satu kepentingan yang sama, kekuasaan.
Salahkah ulama berpolitik? Tentu tidak. Bahkan di dalam Islam seorang muslim harus melek politik. Apalagi sekelas ulama yang sejatinya dia adalah pewaris nabi dan pendidik umat, tentu harus lebih bahkan wajib lebih paham tentang politik. Tetapi tentu politik yang dimaksud adalah politik dalam perspektif Islam, bukan politik ala kapitalis seperti yang dipahami kebanyakan orang saat ini.
Politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.
Rasulullah saw bersabda, “Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits di atas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. Sedangkan politik ala kapitalis diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik.
Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).
Di dalam Islam, agama dan politik tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling berhubungan. Sebagaimana yang digambarkan oleh Imam al-Ghazali yang mengatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”. Itulah sebabnya seorang muslim harus paham apa itu politik.
Lantas bagaimana seharusnya ulama berpolitik? Untuk menjadi seorang politikus, ulama tentunya tidak harus menjadi penguasa. Meskipun tidak ada larangan bagi ulama untuk menjadi penguasa. Intinya sebagai apa pun, ulama harus tetap menjalankan peran dan fungsi utamanya sebagai pewaris nabi yang senantiasa memelihara Al Quran dan Sunnah dari penyimpangan-penyimpangan, selalu membimbing dan menjaga umat agar selalu berjalan di jalan yang lurus.
Karena itu ulama harus mempunyai kesadaran politik yang tinggi. Peka terhadap permasalahan yang sedang melanda umat dan tahu bagaimana solusi yang seharusnya diambil. Untuk itu, ulama haruslah cerdas dan memiliki pemikiran cemerlang.
Yang tidak kalah pentingnya ulama seharusnya penjadi motor penggerak kebangkitan umat. Ulama harus memiliki keberanian menyampaikan kritikan kepada penguasa atas kebijakan-kebijakannya yang tidak memihak dan cenderung dzalim kepada rakyatnya.
Sayangnya tidak semua ulama menyadari peran dan fungsi politiknya. Yang menyebabkannya adalah, pertama, kurangnya kesadaran ideologi dan politis pada diri ulama. Kebanyakan ulama zaman sekarang hanya paham dalam masalah fikih (hukum), tafsir (menjelaskan kandungan kitab), hadis dan ilmu-ilmu ke-Islaman yang lain.
Namun visi ideologi dan politis amat lemah, akibatnya, mereka sangat gampang dipolitisasi dan dimanfaatkan oleh politikus sekuler (politikus yang berprinsip bahwa agama atau hal-hal yang bernuansa agama tidak boleh masuk ke dalam pemerintahan).depolitisasi peran ulama.
Kedua, adanya depolitisasi ulama merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, agama tidak boleh turut campur dalam urusan negara dan publik. Akibatnya, figur ulama tidak lagi memiliki peran politis di level masyarakat dan negara. Agama harus dibersihkan dan dijauhkan dari politik dan pengaturan urusan
publik.Akibatnya, ulama tidak lagi memiliki peran signifikan di dalam masyarakat dan negara, terutama untuk mempengaruhi kebijakan dan aturan-aturan publilk.
Ketiga, ada upaya memarginalisasi peran ulama dari ranah politik dan negara. Cara orang-orang kafir untuk memarginalisasi peran ulama di sini cukup banyak, di antaranya adalah menutup akses ulama yang menyerukan diterapkannya syariah Islam dalam kehidupan negara dan masyarakat dan berusaha dengan serius membunuh karakter para ulama dengan berbagai propaganda hitam agar umat menjauhi ulama.
Keempat, orang-orang kafir berusaha keras memecah-belah kesatuan dan kesatuan para ulama melalui isu khilafiyyah (perbedaan pendapat), perbedaan mazhab dan isu-isu yang lainnya.
Fakta memang akhirnya berbicara, banyak ulama yang kurang menyadari peran dan fungsi politiknya karena hanya memahami Islam sebatas agama ritual bukan Islam sebagai ideologi. Terlalu cinta dunia dan takut pada penguasa.
Dan tak kalah pentingnya, banyak ulama yang gagal memahami fakta dan realitas ideologi kufur dan pemikiran kufur, malah mempromosikan sistem kufur demokrasi, sekularisme, pluralisme, nasionalisme dan menganggap syariah dan khilafah sebagai ancaman.
Sehingga ulama tidak hadir sebagai pembela umat, tapi justru berdiri di seberang jalan. Tentunya kita tidak berharap ulama-ulama kita seperti itu. Kita berharap para ulama menjadi motor perubahan dan penggerak kebangkitan umat untuk meraih kemuliaannya kembali sebagai “Khoiru Ummah”.
Bukan ulama yang menjadi alat penguasa dalam mendzalimi rakyatnya. Semoga Sang Kyai yang saat ini menjadi cawapres tidak menjadi ulama tipe yang kedua. Aamiin. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!