Kamis, 27 Jumadil Awwal 1446 H / 26 Juli 2018 22:02 wib
5.715 views
Sistem Pendidikan Islam Tidak Membutuhkan Sistem Zonasi
Oleh: Ririn Umi Hanif (Gresik)
Meski sistem zonasi sudah diberlakukan sejak tahun lalu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ari Santoso menjelaskan, penerapan zonasi secara menyeluruh baru terjadi pada tahun ini dan menimbulkan banyak kontroversi.
Sistem zonasi untuk PPDB ini diterapkan dengan landasan hukum Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 14 Tahun 2018. (www.cnnindonesia.com 12/7/2018).
Masih dari cnnindonesia, Pengamat Pendidikan Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen menilai terdapat dua akar masalah dari sistem zonasi PPDB tahun ini. Masalah pertama adalah terkait dasar penerapan zonasi sekolah. Menurutnya, pemerintah daerah berbeda-beda dalam mengartikan zonasi.
Dia mencontohkan yang terjadi di Yogyakarta, pemda di sana menerapkan zonasi sekolah berdasarkan radius jarak antara sekolah dengan tempat tinggal calon peserta didik. Sementara, di Kota Tangerang, pemdanya menerapkan zonasi berdasarkan wilayah kecamatan tempat sekolah tersebut.
Penerapan zonasi macam itu, kata dia, tentunya tidak bisa diterapkan di semua daerah. Mengingat jumlah sekolah negeri antara satu wilayah dengan lainnya tidak sama. Bisa saja, misalnya, dalam satu zona terdapat banyak sekolah, sementara di zona lain kekurangan.
Sementara itu, kalangan orang tua siswa yang putra/putrinya terdaftar sebagai calon siswa tahun ini, banyak yang mengeluhkan kebijakan zonasi. Karena putra/putri mereka yang seharusnya berpotensi untuk lebih maju, harus terlempar ke sekolah – sekolah yang minim sarana serta kualitas guru yang kurang standart, karena tidak berada di zonasi sekolah favorit.
Kalau kita mau jujur, penerapan sistem kapitalislah yang membuat kekacauan di negeri ini, salah satunya di bidang pendidikan. Dalam sistem kapitalis, setiap kebijakan diatur berdasarkan pertimbangan untung dan rugi. Apapun yang tidak menguntungkan bagi penguasa, meski itu terkait dengan masa depan bangsa, maka akan sangat sulit terealisasi.
Sehingga kita bisa melihat, hal penting seperti sekolah sekalipun, tidak mendapatkan perhatian seserius kampanye pilkada atau pilpres misalkan. Dana yang dikucurkan untuk dunia pendidikan sangatlah minim. Bukan hal yang sulit didapatkan, berita tentang sekolah yang sangat minim fasilitas, kualitas guru yang tidak standar dan lain sebagainya.
Maka akan menjadi wajar, jika banyak orang tua yang akhirnya memilih sekolah – sekolah yang dianggap memiliki fasilitas dan kualitas guru yang lebih baik meski itu harus keluar jauh, menembus jarak yang cukup jauh. Sementara sistem zonasi ini telah membatasi siswa untuk mendapatkan sekolah yang dimaksud.
Maka, ketika penguasa masih terus mempertimbangkan setiap kebijakannya hanya mengacu kepada “untung – rugi”, setiap penyelesaikan masalah akan meninggalkan masalah baru yang sama – sama sulit untuk diselesaikan.
Kalau kita mau menundukan hati, melihat secara obyektif, ada alternatif solusi yang ditawarkan islam dalam mengatur pendidikan. Pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki: (1) Kepribadian Islam; (2) Menguasai pemikiran Islam dengan handal; (3) Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK); (4) Memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. bersabda:
Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Setiap kegiatan pendidikan harus dilengkapi dengan sarana-sarana fisik yang mendorong terlaksananya program dan kegiatan tersebut sesuai dengan kreativitas, daya cipta, dan kebutuhan. Sarana itu dapat berupa buku-buku pelajaran, sekolah/kampus, asrama siswa, perpustakaan, laboratorium, toko-toko buku, ruang seminar-audiotorium tempat dilakukan aktivitas diskusi, majalah, surat kabar, radio, televisi, kaset, komputer, internet, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, majunya sarana-sarana pendidikan dalam kerangka untuk mencerdaskan umat menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya.
Berdasarkan sirah Nabi saw. dan tarikh Daulah Khilafah Islam (Al-Baghdadi, 1996), negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban negara yang diambil dari kas Baitul Mal.
Sistem pendidikan bebas biaya tersebut didasarkan pada Ijma Sahabat yang memberikan gaji kepada para pendidik dari Baitul Mal dengan jumlah tertentu. Contoh praktisnya adalah Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah al-Muntahsir Billah di kota Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas).
Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian. Begitu pula dengan Madrasah an-Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad 6 H oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan, serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi.
Sehingga seandainya sistem islam mau diadopsi oleh negara dalam mengelola pendidikan, maka tidak akan lagi ada orang tua maupun siswa yang akan pilih – pilih sekolah. Karena setiap sekolah sudah memiliki standar yang sama. Negara memastikan semuanya dengan harta negara. Sungguh, Indonesia sebenarnya mampu.
Sumber daya alam yang telah diberikan Allah untuk negeri ini sangat banyak. Seandainya negara mau mengelola sendiri, pasti hasilnya lebih dari sekedar cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan di negeri ini. Wallahu a’lam bi ash showab. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!