Rabu, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 11 Juli 2018 17:55 wib
3.865 views
Masjidku Dikata Radikal
Oleh:
Astia Putriana, SE
Anggota Komunitas Penulis “Pena Langit”
TAK HABIS-HABISNYA umat Islam dibuat geleng-geleng kepala dengan berbagai fenomena yang terjadi belakangan. Tak perlu dibahas lagi mirisnya hati atas fenomena tiktok dan bowo, ditambah kenaikan BBM sebagai kado, kini hadir lagi sebuah survei yang menyatakan 41 masjid di lingkungan pemerintahan terpapar radikal. Kok iso?
Sebagaimana dirilis berbagai media, Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan melakukan penelitian mengangkat isu radikalisme, yang mengejutkan memang penelitian ini dilakukan di masjid di lingkungan pemerintahan dengan merekam secara audio dan video khutbah Jumat selama periode 29 September-21 Oktober 2017. Hasilnya dinyatakan 41 dari 100 masjid kantor pemerintahan di Jakarta terindikasi berpaham radikal, dengan berbagai kategorisasi dari rendah hingga tinggi. (Tempo.co, 8/7).
Paham radikal yang dimaksud dalam penelitian ini dihubungkan dengan topik seputar khilafah, sikap negatif terhadap agama lain, gender dan minoritas (intoleransi dalam memilih pemimpin kafir dan/atau pemimpin perempuan) dan ujaran kebencian (mudah mengkafirkan orang lain). Pemerintah pun diharapkan turut aktif dalam aksi pencegahan dan pengawasan terhadap masjid. Masjid didorong untuk menyampaikan pesan-pesan yang ramah, toleran dan moderat.
Stigmatisasi Menyesatkan
Memang, berbagai survei sejenis bukanlah barang baru. Penggorengan isu radikalisme merupakan hal yang amat nampak. Poin penting yang dapat diamati dari survei demikian adalah kecenderungan pembentukan kesan buruk atas satu atau beberapa ajaran Islam. Hal ini terbukti dengan parameter yang digunakan sebagaimana dibahas sebelumnya. Parameter ini seolah menggambarkan bahwa umat Islam harusnya mengingkari ajaran Islam sendiri. Inilah stigmatisasi yang menyesatkan.
Stigmatisasi berbasis survei inipun masih dapat diteropong kecacatannya. Bagaimana tidak, masjid dinilai radikal dengan parameter yang sangat subjektif. Ditambah lagi penelitian yang dilakukan dalam waktu sebulan dengan sekedar mengamati khutbah Jumat seolah cukup untuk memberi label radikal pada sebuah masjid. Ibarat bertandang ke sebuah hunian sejenak dan hanya duduk di ruang tamu lantas pulang, kemudian berkoar telah paham isi dan seluk beluk keseluruhan rumah.
Membumikan sikap positif terhadap ajaran Islam nyatanya adalah bentuk ketakwaan kepada Allah SWT dan kesadaran politis umat akan urgensitas kebangkitan pemahaman Islam diantara pemeluknya. Sikap ini terlihat menjadi keresahan bagi pengusung ide sekularisme yang tak ingin kuku hegemoninya di negeri muslim tercerabut jika umat Islam bangkit dengan penerapan Syariah dan Khilafah. Maka wacana Islam moderat sebagai solusi penangkal radikalisme pun nampak terus digembar-gemborkan.
Satu hal yang terlupa bahwa upaya stigmatisasi buruk ajaran Islam dengan narasi radikalisme tak ayal pasti akan menemui titik akhir perjalanannya. Mengapa? Karena semakin kuat upaya menolak ajaran Islam termasuk didalamnya khilafah hanya akan semakin meningkatkan keingintahuan umat terhadap Islam Kaffah. Tak sekedar tahu, sebuah kebenaran akan selalu menemukan jalannya dan kesadaran serta kegigihan perjuangan akan meretas tak terbendung dari mereka yang telah tersentuh pemikiran dan perasaannya.
Segala bentuk pengawasan terhadap masjid yang dianggap sebagai solusi pamungkas radikalisme bukan hanya menunjukkan sebuah ego, namun juga cerminan lemahnya para penjegal dakwah Islam Kaffah dalam upaya menahan kebangkitan Islam. Jangan lupa mereka mungkin bisa mengawasi masjid, tapi sesungguhnya ada Allah yang lebih mengawasi mereka. Dan sungguh mekanisme Allah tidak main-main. Wallahu a’lam bis shawab.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!