Rabu, 27 Jumadil Awwal 1446 H / 27 Juni 2018 08:19 wib
4.960 views
Gaji BPIP, Sudahkah Pancasilais?
Oleh: Rizky D. Iswari (Pengajar dan Aktivis Mahasiswa)
Sejak di terbitkannya Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada 23 Mei lalu, banyak bermunculan tanggapan negatif dari masyarakat.
Pasalnya, gaji pemimpin BPIP yang dipegang oleh Megawati Soekarnoputri, yang diputuskan dalam Perpres tersebut sangat fantastis, yaitu Rp 112.548.000 per bulan.
Sementara itu, jajaran Anggota Dewan Pengarah yang berjumlah delapan orang, masing-masing mendapatkan Rp 100.811.000 per bulan. (kompas.com)
Polemik gaji tersebut menurut beberapa tokoh dianggap sudah sesuai dengan kinerja BPIP. Wapres Jusuf Kalla menyatakan bahwa gaji BPIP terlihat lebih besar karena gaji pokok dan tunjangannya langsung digabung menjadi satu, di mana jumlah tersebut sudah mencakup biaya transportasi, rumah, komunikasi, dll.
Di sisi lain, menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Asman Abnur, menyatakan bahwa gaji itu sudah sesuai dengan beban kinerjanya yang tergolong berat karena menyangkut masalah ideologi negara, dasar negara, dan hal itu adalah perkara yang sangat substantif sekali. (kompas.com).
Jika dilihat lebih lanjut, tugas BPIP dijelaskan dalam Perpres No 7 tahun 2018 pada pasal 3 dan 4. Beberapa diantaranya yang penting untuk disoroti karena berkaitan dengan beban kinerja dan gaji yaitu:
“BPIP mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan...”.
Inilah yang kemudian dijadikan acuan ‘beratnya’ tugas BPIP yang layak mendapatkan gaji yang besar pula. Padahal, jika melihat tugas lembaga tersebut, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tugas yang diemban oleh seorang guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di sekolah-sekolah formal.
Dalam susunan kurikulumnya, tidak diragukan lagi bahwa mereka pun juga turut menjaga ideologi pancasila dengan berkontribusi memberikan pembinaan dan pemahaman kepada para peserta didik. Hanya saja kemudian, gaji yang diterima oleh guru dengan yang didapatkan oleh pegawai BPIP sangatlah jauh berbeda.
Dengan demikian, jelaslah bahwa gaji pegawai BPIP yang sangat fantastis di tengah-tengah kondisi ekonomi Indonesia yang carut marut sangat tidak etis. Masih banyakanya rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, menumpuknya hutang luar negeri, polemik THR, rendahnya gaji guru dan lain sebagainya menunjukkan bukti bahwa pemerintah terkesan lebih mementingkan kepentingan pejabat dibandingkan kesejahteraan rakyat kecil.
Jikalau BPIP adalah lembaga yang bertugas menjalankan nilai-nilai dari pancasila, maka hal ini justru tidak mencerminkan hal tersebut. Sila ke-5 yang menyatakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, nyatanya tercoreng dengan adanya kasus ini. Maka patut dipertanyakan kembali, sudah pancasilais kah gaji BPIP?
Pernyataan menarik yang disampaikan oleh Koordinator Aliansi Lembaga Analisis Kebijakan dan Anggaran (Alaska) Adri Zulpianto, yang menyatakan bahwa pemerintah saat ini selalu tidak sanggup membebani anngaran kepentingan dan keperluan rakyat setiap tahunnya tetapi, besarnya anggaran negara malah selalu ada untuk para pejabat di kepemerintahan (politik.rmol.co).
Memang hal itu terbukti, dicabutnya subsidi BBM, subsidi listrik, penambahn utang luar negeri menjadi contoh nyata penambahan beban rakyat. Inikah yang disebut bahwa pemerintah dan lembaga BPIP yang dibentuk itu sudah mencerminakan pancasilais?
Betapapun kuat mereka mengklaim dirinya sebagai pancasilais nomer satu namun fakta menunjukkan sebaliknya. Dengan jelas yang terjadi di negeri ini, keadilan bagi seluruh rakyat belum tercapai, kesejahteraan sosial juga masih belum terlihat, kemanusiaan yang adil dan beradab pun semakin samar.
Para pemimpin dan pejabat negeri ini masih jauh dari nilai-nilai pancasila itu sendiri. Kurangnya ketakwaan, rasa keadilan dan tanggung jawab nya sebagai pengurus urusan umat, menjadikan umat makin hidup sengsara sementara para penguasa semakin sejahtera. Inilah bedanya dalam sistem yang diatur oleh wahyu Tuhan. Sistem yang berlandasakan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sudah jelas teruji kebenaran dan mampu membawa kesejahteraan.
Dalam naungan sistem islam, maka syarat utama dari seorang pemimpin adalah ia seorang muslim yang adil dan mampu dalam mengemban tugasnya, dan pastinya adalah orang yang mampu memimpin dengan dasar takwa. Bahwa kewajiban sebagai seorang pemimpin adalah kewajiban yang mulia dan nantinya akan dimintai pertanggungjwaban oleh Allah swt.
Dengan landasan kepemimpinan itulah keadilan bagi masyarakat dapat terwujud karena penguasa tidak lagi memimpin dengan asas manfaat melainkan asas ketakwaan.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!